Melawan Virus Corona dengan
Uzlah
Dunia mendadak mencekam. Bumi pada puncak lelahnya: terasa ingin sekali rehat sejenak. Manusia dituntut untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk, uzlah dari ruang publik. Corona yang baru saja membuat nyali umat manusia pucat pasi, bergidik, bergetar, gentar.
Virus yang perkasa masih digdaya, belum
ditemukan antivirus sebagai lawan tanding yang dapat melumpuhkannya. Di tangan
virus corona, banyak nyawa manusia melayang. Virus yang oleh WHO divonis
sebagai pandemi, mudah menyebar, mudah menular, mudah menelan korban secara
massal.
Di zaman dulu, tercatat dalam sejarah dan
hadits nabi, pandemi virus yang mematikan pernah ada. Nama virus boleh berbeda,
dan kadar kedahsyatannya boleh tidak sama. Tapi substansinya sama, yaitu virus
pandemi, mudah menular dan mematikan. Di Abad Ke-14, ada virus pandemi bernama
'maut hitam' yang menelan korban mencapai sekitar 75-200 juta jiwa. Ada juga
virus berbentuk cacar. Di zaman Nabi Muhamad dan sahabat, terdapat virus
pandemi bernama tha'un dan judzam (kusta, lepra).
Mari kita simak hadits ini;
عن
أسامة بن زيد -رضي الله عنهما- مرفوعاً: «إذا سمعتم الطاعونَ بأرض فلا تدخلوها
وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فلا تخرجوا منها».
Artinya, “Dari Usamah bin Zaid RA-hadits
marfu' ‘Jika kalian mendengar ada wabah tha'un (wabah mematikan) dalam
satu tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya. Jika kalian ada di
dalamnya maka janganlah kalian keluar darinya.’” (HR Bukhari-Muslim).
Nabi memberikan solusi cara menyikapi tha'un;
yaitu isolasi. Dalam skala makro, wilayah yang terkena pandemi mengisolasi
diri. Dalam skala mikro, masing-masing mengisolasi diri diam di dalam rumah,
keluar rumah jika sangat butuh saja, dan menghindari kerumunan. Dengan kata
lain, melakukan uzlah nasional. Melawan corona dengan uzlah. Agar menghindari
penularan, tak menelan korban, dan corona membunuh dirinya sendiri. Sirnah.
Hidup kembali normal tanpa bayang-bayang corona.
Syahdan, Umar bin Al-Khatthab beserta sahabat
lain berjalan dari Madinah ke Syam-sekarang Suriah. Di tengah perjalanan, baru
sampai wilayah Syargh, mendapat informasi bahwa penduduk Syam sedang dilanda
pandemi, virus mematikan. Setelah bermusyawarah apakah lanjut perjalanan atau
balik lagi. Umar memutuskan untuk kembali lagi ke Madinah, artinya memilih
menghindar dari wilayah yang sedang dilanda pandemi, dan berkata, "Kami
menghindar dari satu takdir Allah ke takdir Allah yang lain."
Islam pun adalah agama yang memiliki semangat
mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mencari kemaslahatan, dar’ul
mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih.
Berbagai ikhtiar dalam menghadapi virus
corona dengan isolasi dan uzlah nasional, menghidari kerumunan, hidup dan makan
sehat, menjaga kebersihan khususnya cuci tangan, olahraga agar imunitas tubuh
lebih prima dan kuat selaras dengan maqashidus syari'ah (tujuan-tujuan syariat
Islam) sebagaimana yang dikatakan oleh kubbarl 'ulama Al-Azhar As-Syarif Mesir,
yaitu hifdzhun nufus, menjaga, merawat jiwa raga manusia dari segala sesuatu
yang mengkhawatirkan dan membahayakan.
Bahkan hifdzhun nufus adalah maqashid syariat
Islam yang paling agung yang harus diprioritaskan. Saat ini ada pendemi virus
corona yang menurut ahli kesehatan, kedokteran, dan ahli virus, merupakan virus
yang mudah menyebar dan menular. Karena itu, berkerumun harus dihindari untuk
mencegah potensi terjadinya penyebaran virus corona.
Ulama Al-Azhar dan bahkan ulama Kuwait pun
berfatwa agar shalat di rumah, tidak berjamaah di masjid, dan meniadakan
Jumatan dan menggantinya dengan shalat Zhuhur di rumah demi menghindari
berkerumun yang nantinya akan dikhawatirkan terjadinya penyebaran virus corona.
Video azan seorang muazin di Timur Tengah
yang menyelipkan kata-kata "shalluu fi rihalikum" (shalatlah kalian
di rumah masing-masing) di dalam azannya menjadi viral. Tentu saja ini hanya
berlaku pada masa dharurat. Segala jenis acara berkerumun dihindari demi
menjaga jiwa raga kita dari penyebaran virus corona.
Allah mengingatkan agar umat manusia
berikhtiar, tak terkecuali dalam menyikapi virus corona. Dalam firman-Nya;
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya, "Sungguh Allah tidak merubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri." (Surat Ar-Ra'du ayat 11).
Semua negara melakukan uzlah nasional--tak
terkecuali Indonesia, pun sembari ikhtiar hidup sehat, makan sehat, dan
olahraga. Menghindari kontak fisik. Salaman tidak dengan berjabat tangan; ada
yang bersalaman dengan tabik menempelkan telapak tangan ke dada, ada yang
salaman dengan berjabat atau beradu siku, ada yang dengan cara membungkukkan
kepala, dan ada yang bersalaman dengan berjabat atau beradu kaki. Intinya
adalah simbol penghormatan.
Seiring dengan para pakar kedokteran,
obat-obatan, dan ahli virus terus melakukan kajian, dan penelitian mencari anti
virus coronan. Sebab, kata Nabi, setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali
pikun.
Ikhtiar sambil berdoa. Bersandar pada Allah
yang maha menciptakan hidup dan mati, sehat dan sakit. Berbagai doa
dipanjatkan. Menengadahkan tangan seraya mengiba kepada Allah, memohon agar
corona dihilangkan dari peradaban manusia. Nabi memanjatkan doa;
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ
الأَسْقَامِ
Artinya, "Ya Allah, aku mencari
perlindungan kepadamu dari kusta, kegilaan, kaki gajah, dan penyakit jahat. (HR
Abu Daud)
Umat manusia pasti bisa menemukan antivirus
corona dan bangsa kita yang besar ini pasti bisa melewatinya dan kembali pada
hidup normal. []
KH Mukti Ali Qusyairi, Ketua Lembaga Bahtsul
Masail PWNU DKI Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar