Virus Corona Splinter Agama (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Fenomena pandan praktik splinter di kalangan umat beragama
terdapat bukan hanya di antara Muslim, melainkan juga di kalangan penganut
Kristianitas, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Gejala semacam ini di kalangan
umat beragama pada dasarnya bersumber dari pemahaman literal, sumbu pemikiran
pendek (shortsighted),
dan tidak mau mendengar pendapat arus utama umat beragama (mainstream believers).
Sudah menjadi pengetahuan umum, penyebaran wabah corona secara
cepat dan luas di luar Wuhan, Cina Daratan, berawal di Korea Selatan. Jumlah
korban meninggal akibat virus corona di Negeri Ginseng ini pernah menduduki
posisi kedua setelah Cina, sebelum dilewati Italia, Iran, Spanyol, Amerika
Serikat, Prancis, dan Inggris.
Wabah corona di Korea Selatan bersumber dari Gereja Shincheonji Yesus di bawah pimpinan Lee-Man Hee. Sekte kultus individu ini terkenal sebagai gereja splinter yang penuh rahasia. Hee percaya dia adalah 'pendeta yang dijanjikan' sebagaimana disebutkan dalam Alkitab; dia mengeklaim mewakili kebangkitan kedua Yesus untuk membawa penganutnya ke surga.
Menurut Kementerian Kesehatan Korsel, sekitar 60 persen korban Covid-19 adalah jemaat gereja ini. Penyebaran bermula dari seorang perempuan berusia 62 tahun anggota sekte ini yang sedang demam— kemudian terbukti positif mengidap virus Covid-19-- lalu menyebarkan ke jemaat lain yang selanjutnya membawa wabah corona ke tempat asal masing-masing di berbagai tempat di Korsel. Hasilnya, sejak 20 Januari 2020, Korea Selatan dinyatakan secara nasional terlanda wabah corona.
Gereja Shincheonji Yesus pimpinan Lee-Man Hee, yang diperkirakan
memiliki penganut sekitar 120 ribu orang menolak tes Covid-19 karena menurut
keimanan mereka, Yesus melalui Hee menjaga mereka dari virus corona atau
penyakit apa pun sehingga mereka semua dapat aman dan selamat masuk surga.
Gereja Shincheonji ini dinyatakan lebih daripada splinter, tapi heretical
(sesat) oleh gereja mainstream lainnya.
Pandangan atau sikap teologis splinter juga cukup dominan di AS, yaitu yang mayoritas penduduknya adalah penganut Kristen Protestan. Sementara gereja mainstream Episkopal Protestan dan Gereja Katolik mem batalkan misa dan kebaktian di gereja, Gereja First Baptist yang berpusat di Dallas memutuskan tetap menyelenggarakan ritual dengan jemaat di gereja. Pendeta Robert Jeffres, loyalis Presiden Donald Trump, menyatakan Gereja First Baptist juga tetap menyelenggarakan 'Sekolah Minggu'.
Apa alasannya? Para pendeta Gereja First Baptist menyatakan: "Tuhan menjanjikan perlindungan bagi kita dari semua hal ini [bahaya virus]". Reverend Jerry Falwell Jr., tokoh Protestan terkemuka di AS, menyatakan tidak ada alasan kuat untuk menutup misa di gereja juga kelas di sekolah dan kampus. Dia malah mencurigai adanya 'motif politik' di tengah gegap gempita pemberitaan media tentang wabah Covid-19.
Di Indonesia juga ada gereja-gereja, khususnya yang berafiliasi ke
Amerika yang berpandangan serupa. Pendeta dan jemaatnya mereka yakin Tuhan
melindungi mereka sepenuhnya dari wabah virus corona; dan karena itu tidak
perlu mengalihkan misa dari gereja ke rumah. Fenomena yang sama juga terjadi di
kalangan umat Yahudi Ortodoks.
Rabbinical Council of America (RCA), badan rabbi ortodoks terbesar di Amerika menyatakan, tidak membatalkan ibadah Purim bagi kaum Yahudi ortodoks untuk menyimak bacaan Megillah atau Buku Esther di sinagog. Hanya mereka yang benar-benar sakit boleh absen ibadah di sinagog. Sedangkan di Israel, pemerintah lebih keras melarang ibadah yang melibatkan banyak umat Yahudi, Muslim, dan Kristiani.
Gejala semacam itu juga ada di kalangan pemeluk Hindu di India, yaitu gerakan fundamentalis Hindu terus menemukan momentumnya di bawah partai nasionalis Hindu, BJP di bawah pimpinan PM Narendra Modi. Kaum fundamentalis Hindu menyatakan, "Virus corona adalah avatar untuk menghukum orang non-vegetarian. Penganut Hindu India yang patuh pada ajaran Hindu imun dari virus corona".
Dengan keyakinan seperti itu, kaum fundamentalis Hindu India
hari-hari ini tetap ramairamai merayakan Hari Holi. Ini adalah perayaan agama
untuk merayakan kemenangan mengalahkan kejahatan, sekaligus menyambut musim
semi. PM Modi sendiri tidak ikut merayakan Hari Holi, sebaliknya dia menyerukan
agar kaum Hindu merayakan secara terbatas.
Mempertimbangkan bahwa virus corona tidak mengenal agama, bangsa, dan wilayah negara, upaya membendung penyebaran Covid-19 jelas memerlukan dukungan dan partisipasi umat beragama. Di sinilah perlunya peningkatan tanggung jawab dan peran setiap serta seluruh fungsionaris dan kepemimpinan agama untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya penyesuaian pandangan dan praksis keagamaan menghadapi wabah yang sangat membahayakan jiwa manusia. []
REPUBLIKA, 15 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar