Puasa di
Timur-Tengah pada Masa Corona
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Puasa
tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh umat Islam akan
menjalani dalam suasana yang tidak seperti biasanya, di tengah wabah corona.
Timur-Tengah pun akan menjalani ibadah puasa pada bulan Ramadhan tahun ini
dengan suasana sunyi. Hal ini harus diambil untuk memastikan penyebaran corana
tidak meluas.
Tabloid Shawt al-Azhar, yang diterbitkan
oleh al-Azhar, Mesir secara khusus menyajikan kajian dan informasi seputar
corona, termasuk apa yang harus dilakukan selama di bulan Ramadhan. Al-Azhar
memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap para tenaga medis,
khsusunya dokter, perawat, dan para relawan. Al-Azhar menyampaikan rasa
solidaritas yang tinggi terhadap para martir yang telah berjuang di medan
penyembuhan pasien corona.
Bulan
Ramadhan di Timur-Tengah merupakan bulan yang penuh makna, sebagaimana di
belahan dunia Islam lainnya. Namun kekhasannya selalu memberikan kesan
tersendiri. Pada umumnya, hampir sebagian besar negara-negara di Timur-Tengah
menyambut bulan suci Ramadhan dengan suka cita, meriah, dan gegap-gempita.
Tidak hanya syiar agama, melainkan juga kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang
tidak ditemukan pada hari-hari lainnya.
Salah
satunya adalah tradisi Maidatur
Rahman, yaitu hidangan kasih-sayang. Hampir di seantero
Timur-Tengah mempunyai tradisi memberi dan berbagi, yang dilakukan secara
masif. Sebab itu, selama bulan Ramadhan ini kita akan menemukan masjid
menyuguhkan makanan buka puasa dan sahur bagi para jamaahnya. Tidak hanya itu,
pinggir jalan dan sudut-sudut kota dipenuhi dengan tenda-tenda yang disediakan
bagi orang-orang yang hendak berbuka puasa.
Filosofinya,
orang-orang yang tidak mampu selama bulan Ramadhan tidak perlu memikirkan apa
yang harus dimakan saat berbuka dan sahur. Orang-orang mampu sudah menyediakan
makanan bagi mereka. Tidak hanya itu, masih ada zakat harta bagi warga miskin
yang disalurkan melalui masjid dan lembaga-lembaga zakat.
Maka dari
itu, kasih-sayang Tuhan selama bulan suci Ramadhan melimpah ruah yang
disalurkan oleh mereka yang mampu kepada mereka yang tidak mampu. Inilah bulan
Ramadhan yang mempunyai kekhasan sebagai bulan berbagi di antara sesama. Setiap
orang yang mampu berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat).
Selama
kuliah di al-Azhar, Kairo, Mesir saya begitu takjub melihat fenomena tersebut.
Ramadhan tidak hanya menjadi bulan ketika umat Islam melaksanakan ibadah puasa,
tetapi juga menjadi bulan berbagi bagi sesama. Kasih-sayang Tuhan benar-benar
dibumikan di bulan puasa.
Orang-orang
yang tidak mampu akan menyambut bulan puasa dengan suka cita, karena mereka
sudah dijamin melalui Maidatur
Rahman. Sedangkan orang-orang yang mampu juga akan merasa senang
dan bahagia, karena mereka bisa membahagiakan orang lain, mereka yang selama
ini hidup tidak berkecukupan.
Kami para
mahasiswa yang biasa hidup dari beasiswa pas-pasan selalu berbahagia menyambut
bulan Ramadhan. Bagi kami, bulan Ramadhan adalah bulan penuh kebahagiaan,
karena kami akan mendapatkan makanan yang bergizi. Bahkan di antara kami ada
yang hafal jadwal menu yang disajikan setiap masjid.
Misalnya,
jika kami ingin makan daging sapi, maka kami biasanya mencari masjid yang biasa
menyajikan daging sapi. Jika kami ingin daging ayam, maka kami mencari tempat
yang biasa menyajikan daging ayam. Itulah pengalaman indah selama menimba ilmu
di Timur-Tengah. Ramadhan menjadi bulan meningkatkan gizi.
Dalam
suasana wabah seperti sekarang ini, pemandangan itu tidak akan terlihat
kembali. Pasalnya, masjid-masjid ditutup dan tidak ada lagi tempat yang
memperbolehkan kerumunan massa. Meskipun demikian, al-Azhar sudah mengeluarkan
pandangan atau fatwa agar Maidatur
Rahman pada tahun ini tetap digelar secara delivery.
Jika
biasanya makanan untuk berbuka disediakan di masjid-masjid dan tenda-tenda di
pinggir jalan, maka sekarang dapat disalurkan langsung dengan cara diantarkan
kepada mereka yang membutuhkan. Warga diperintahkan untuk terus menetap di
rumah. Nanti makanan yang akan mengunjungi orang-orang yang tidak mampu selama
berbuka dan sahur.
Saya
membayangkan jika tradisi ini juga berlangsung di negeri ini selama bulan
puasa, pasti akan meringankan beban mereka yang terdampak dari wabah corona.
Tradisi Maidatur Rahman dapat
menginspirasi kita semua agar berbagai kepada mereka yang tidak mampu. Saatnya
berlomba-lomba untuk berbagi kepada mereka yang tidak mampu.
Al-Azhar
juga mengingatkan agar Salat Tarawih dilaksanakan di rumah saja. Selama wabah
masih terus mengancam kita, maka Salat Tarawih di rumah merupakan pilihan yang
paling baik, bijak, dan membawa kemaslahatan bagi sesama. Sesuai protokol World
Health Organization (WHO), kita diminta agar terus menjaga jarak, baik secara
fisik maupun sosial.
Salat
Tarawih di rumah merupakan ikhtiar bersama agar wabah ini tidak menyebar dan
meluas. Kita ingin cepat-cepat agar wabah ini berlalu, dan caranya membatasi
penyebarannya dengan cara berdiam di rumah dan beribadah di rumah.
Seluruh
negara-negara di Timur-Tengah sepakat untuk menggelar Salat Tarawih di rumah
masing-masing untuk mengutamakan keselamatan jiwa umat. Salat Tarawih di rumah
pada hakikatnya sejalan dengan prinsip kemaslahatan dan keselamatan di dalam
Islam. Hendaklah apa yang kita lakukan tidak membahayakan diri kita dan
membahayakan orang lain. Prinsip ini dikenal dalam khazanah Islam dengan la dharar wa la dhirar.
Maka dari
itu, hendaklah kita belajar dari pengalaman dunia-dunia Islam, termasuk dari
Timur-Tengah. Spirit berbagi dan kasih-sayang selama bulan Ramadhan sejatinya
tidak kendor, melainkan harus lebih "cetar" lagi. Mari kita jadikan
bulan Ramadhan sebagai bulan berbagi dan menebarkan kasih-sayang di antara
sesama.
Mari kita
pastikan agar mereka yang tidak mampu dapat menjalankan puasa dengan tenang,
yaitu melalui kedermawanan dan keramahtamahan yang dilakukan oleh orang-orang
yang mampu. Jika kita dapat melakukan ini, pada hakikatnya kita sedang
benar-benar beragama dan benar-benar berpuasa. Marhaban Ya Ramadhan. []
DETIK, 23 April 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar