KH Ahmad Dahlan Ahyad
dan Tashwirul Afkar
KH Ahmad Dahlan Ahyad merupakan salah seorang generasi awal Nahdlatul Ulama (NU). Ia bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Tashwirul Afkar (potret pemikiran, diterjemahkan oleh KH Abdul Mun’im Dz sebagai kebangkitan pemikiran) pada tahun 1918. Tashwirul Afkar adalah sebuah forum diskusi untuk merespons berbagai isu aktual yang dihadapi masyarakat waktu itu. Khususnya di kota Surabaya dan sekitarnya.
Pada masa itu, Wahabi
sedang agresif melakukan gerakan antimazhab, bid’ah, syirik, khurafat terhadap
praktik-praktik keagamaan Ahlussunah wal Jamaah di masyarakat yang sudah
berlangsung sejak berabad-abad. Padahal praktik-praktik tersebut ada dalilnya.
Sementara dalam konteks kebangsaan waktu itu adalah masa penjajahan Belanda.
Penjajahan yang tentu saja menyengsarakan masyarakat dalam berbagai hal.
Tashwirul Afkar,
sesuai namanya, di dalam forum tersebut berkumpul para kiai pesantren. Tidak
hanya yang muda, melainkan tua yang memiliki semangat sama yaitu menjaga
Ahlussunah wal Jamaah. Salah satu kegiatannya adalah menjawab
persoalan-persoalan yang dituduh kelompok modernis sebagai bid’ah, syirik,
khurafat tersebut.
Sejak didirikan pada
tahun 1918 hingga tahun 1929, nama yang tertulis di papan pengenal adalah Suryo
Sumirat Afdeeling Taswirul Afkar. Ini menunjukkan bahwa, secara organisatoris
pada awal mula Taswirul Afkar tidak berdiri sendiri. Tapi, merupakan bagian dari
Suryo Sumirat.
Sementara Suryo
Sumirat sendiri adalah sebuah perkumpulan yang didirikan oleh anggota
perhimpunan Budi Utomo yang ada di Surabaya. Hal ini sekadar untuk mempermudah
mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda. Sehingga cara ini ditempuh
dengan menjadikan Taswirul Afkar bagian dari Suryo Sumirat. Karena itu, tidak
heran jika Dr. Soetomo, seorang nasionalis pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908),
kemudian Indonenesische Studieclub (1924), justru banyak bergaul dengan
ulama-ulama muda seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur.
Pada perkembangan
selanjutnya, Tashwirul Afkar tidak hanya sekadar forum diskusi, tapi lembaga
pendidikan. Menurut Ensiklopedi NU, pada tahun 1919,Tashwirul Afkar menjadi
madrasah yang bertempat di Ampel. KH Ahmad Dahlan Ahyad ini yang kemudian
dipercaya sebagai ketuanya. Madrasah ini merekrut para murid di Surabaya bagian
utara. Sementara itu, kegiatan forum diskusi antara kiai muda dan kiai tua yang
membahas masalah keagamaan waktu itu tetap berlangsung.
Peran KH Ahmad Dahlan
Ahyad dalam pengembangan Tashwirul Afkar kurang mendapat tempat dalam sejarah.
Padahal menurut Wasid Mansyur (Biografi KH Ahmad Dahlan Ahyad; Aktivis
Pergerakan dan Pembela Ideologi Aswaja, 2017, Pustaka Idea, Surabaya) di
samping tokoh-tokoh lain, ia adalah kiai yang mengupayakan izin dari pemerintah
Hindia Belanda tersebut agar bisa beroperasi secara resmi. Para santrinya di
Kebondalem diizinkan menjadi murid Tashwirul Afkar sehingga memancing para
orang tua di sekitarnya untuk belajar di madrasah tersebut.
Masih menurut Wasid
Mansyur, pada tahun 1920-an, Tashwirul Afkar merupakan satu-satunya madrasah
yang didirikan kalangan pesantren di Kota Surabaya yang menggunakan sistem
berjenjang. Perkembangan ini merupakan prestasi awal dari para kiai yang kelak
bakal mendirikan NU di kota sama pada 1926.
Sekilas KH Ahmad
Dahlan Ahyad
KH Ahmad Dahlan Ahyad
lahir di pada 30 Oktober 1885 bertepatan dengan 13 Muharam 1303 H di Kebondalem
Surabaya, sebelah timur makam Sunan Ampel, Raden Rahmat. Ia adalah putra
keempat dari enam bersaudara dari pasangan KH Muhammad Ahyad dengan Hj Nyai
Mardliyah.
Dari garis ayahnya,
silsilah KH Ahmad Dahlan Ahyad merupakan turunan ketujuh dari Syekh Sulaiman
Mojoagung. Dengan demikian silsilahnya terhubung kepada Sunan Gunung Jati
Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah. Pasalnya Syekh Sulaiman merupakan putra
dari Syekh Abdurrahman Asy-Syaibani yang menikah dengan Nyai Syarifah Khadijah
yang merupakan putri dari Sultan Hasanuddin Banten. Sementara dari pihak
ibunya, KH Ahmad Dahlan Ahyad, Hj Nyai Mardliyah, merupakan adik kandung
pengusaha KH Abdul Kahar, seorang kiai yang merupakan saudagar yang dekat
dengan kiai-kiai pendiri NU. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar