Virus Corona dan
Pembelajaran Kaidah Fiqih bagi Publik
Merebaknya wabah virus Corona yang hingga kini di Indonesia telah menelan korban jiwa lebih dari 590 orang membawa hikmah tersendiri bagi publik berkaitan dengan pembelajaran kaidah fiqih. Hal ini disebabkan imbauan peniadaan shalat Jumat di masjid dan shalat maktubah berjamaah untuk sementara waktu sebagaimana difatwakan para ulama terkemuka mendapat tanggapan pro dan kontra di tingkat bawah atau umat. Pro dan kontra itu memunculkan artikel-artikel yang mengulas dan mendukung fatwa ulama tersebut.
Pada umumnya kaidah fiqih hanya dipelajari
oleh mereka yang menekuni ilmu agama di lembaga-lembaga tertentu seperti
pesantren, madrasah, atau prodi studi Islam di PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam ) seperti UNU, IAIN, UIN, dan sebagainya. Namun dengan dipublikasikannya
artikel-artikel yang mengulas dan mendukung fatwa ulama tersebut lewat berbagai
media terutama media sosial menjadikan publik mengetahui setidaknya tiga kaidah
fiqih yang mendasari fatwa ulama itu. Ketiga kaidah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya
mengambil kemaslahatan).
Kaidah ini digunakan sebagai argumentasi
dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukungnya seperti
dalam fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU, MUI dan Ikatan Ulama Besar al-Azhar
Kairo Mesir dan sebagainya. Fatwa itu sebagaimana disebutkan di atas berisi
imbauan umat Islam meniadakan shalat Jumat di masjid untuk sementara waktu dan
mengggantinya dengan shalat dzuhur di rumah. Argumentasinya adalah bahwa upaya
melindungi keselamatan jiwa manusia agar terhindar dari wabah virus Corona yang
sangat berbahaya itu harus diutamakan daripada upaya untuk terlaksananya
kewajiban shalat Jumat.
Kedua hal tersebut, yakni menghindari wabah
virus Corona demi keselamatan jiwa dan terlaksananya perintah shalat Jumat di
masjid sama-sama merupakan perintah agama yang bertemu secara bersamaan dalam
situasi yang sama sehingga menjadi dilema. Oleh karena itu harus ada solusi
yang benar menurut syariat. Dalam situasi seperti ini upaya melindungi jiwa
manusia harus diutamakan karena bersifat mendesak dibandingkan dengan
pelaksanaan shalat Jumat yang bisa diganti dengan shalat dzuhur karena
terhalang adanya uzur, yakni ancaman wabah virus Corona itu sendiri yang sangat
berbahaya.
Kaidah ini sangat penting untuk dipahami oleh
publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan
urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan
duniawi seperti sosial, ekonomi, hingga politik. Contoh lain, jika seseorang
menghadapi dua masalah sekaligus seperti antara tuntutan memperbaiki rumah yang
hampir roboh dengan keinginan beribadah umrah ke Tanah Suci. Dalam situasi
seperti ini tentu saja upaya memperbaiki rumah yang hampir roboh itu wajib
didahulukan karena mendesak dan bisa menimbulkan korban jiwa bagi seluruh
penghuni rumah daripada berangkat ke Tanah Suci yang hukumnya sunnah dan bisa
diundur waktunya.
Kedua, لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ (Tidak boleh
melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain)
Kaidah ini juga digunakan sebagai salah satu
landasan argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan
mendukungnya. Kaidah ini mengandung maksud bahwa seseorang harus berhati-hati
baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Dalam kaitan dengan
wabah virus Corona orang sehat tidak boleh dekat-dekat dan melakukan kontak
langsung dengan orang lain yang telah terjangkiti virus itu karena bisa
membahayakan dirinya sendiri. Disamping itu kaidah ini juga mengandung maksud
bahwa orang yang sudah terjangkiti virus Corona haram hukumnya menghadiri
shalat Jumat di masjid karena bisa membahayakan orang-orang yang telah melakuan
kontak langsung dengannya.
Kaidah ini juga sangat penting untuk dipahami
oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan
urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan
duniawi seperti sosial, ekonomi hingga politik. Contoh lain adalah ketika
berkendara atau mengemudi. Setiap orang yang mengendarai sepeda motor atau
bahkan sepeda onthel atau mengemudi mobil, bus, atau truk harus berhati-hati
dalam melaju kendaraannya. Ia tidak boleh mengendara atau mengemudi dengan
kecepatan sangat tinggi terutama saat lalu lintas padat atau sedang turun hujan
deras sebab hal ini bisa membahayakan diri sendiri, misalnya jatuh, selip atau
rem blong. Juga ia bisa membahayakan orang lain karena bisa menabraknya dan
mengancam keselamatan jiwa kedua belah pihak.
Ketiga, المَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ (Kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan)
Kaidah ini juga digunakan sebagai salah satu
landasan argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan
mendukungnya. Kaidah ini mengandung maksud bahwa kesulitan yang ditimbulkan
oleh suatu keadaan tertentu bisa menjadikan seseorang mendapatkan kemudahan
hukum. Contoh konkret adalah di tengah cengkraman wabah virus Corona ini
berkerumun dalam jumlah besar dan saling berdekatan tidak dianjurkan atau
dilarang karena membahayakan keselamatan jiwa. Dalam istilah medis ini disebut
social distancing.
Shalat Jumat di masjid sulit dihindarkan dari
adanya kerumunan banyak orang karena shalat wajib 2 rakaat di siang hari ini
justru mengharuskan adanya jumlah orang tertentu yang menurut Imam Syafi’i
minimal 40 orang. Ketentuan ini berbenturan dengan aturan social distancing di
tengah ancaman wabah virus Corona sehingga menimbukan dilema apakah akan
mengutamakan social distancing atau mengutamakan shalat Jumat.
Dalam situasi seperti itu, mematuhi aturan
social distancing demi menghindari bahaya yang dapat mengancam jiwa harus
diutamakan sehingga kewajiban shalat Jumat itu sendiri bisa ditiadakan.
Alasannya dalam situasi sulit atau bahaya seperti ini kita mendapatkan
kemudahan atau rukhshah (keringanan hukum) dari Allah subhanahu wata’ala, yakni
diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jumat namun harus menggantinya dengan
shalat dzuhur di rumah.
Kaidah ini juga sangat penting untuk dipahami
oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan
urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan
duniawi seperti sosial, ekonomi hingga politik. Contoh lain adalah orang sakit
luka di wahjahnya dan oleh dokter dilarang terkena air sebab dikhawatirkan akan
memperparah sakitnya atau setidak-tidaknya akan menghambat proses penyembuhan.
Dengan adanya larangan itu, maka orang tersebut mendapatkan kemudahan hukum
atau rukhshah untuk tidak berwudhu ketika hendak melaksanakan shalat tetapi ia
harus bertayamun agar dapat memenuhi syarat sahnya shalat.
Kemudahan hukum atau rukhshah yang diberikan
Allah merupakan salah satu wujud kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya.
Rukhshah itu sendiri hukumnya bermacam-macam dari wajib, sunnah, mubah hingga
makruh. Rukhshah yang terkait dengan ancaman wabah virus Corona untuk daerah yang
sudah dinyatakan zona merah oleh pihak yang berwenang hukumnya wajib. Karena
bersifat wajib maka rukhshah dalam hal ini bukan lagi pilihan untuk
dimanfaatkan atau tidak, tetapi sudah menjadi taklif (kewajiban) yang harus
dilaksanakan demi menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa manusia
karena menghindari bahaya itu sendiri hukumnya wajib.
Demkianlah tiga kaidah fiqih yang umum
dijumpai dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukung
fatwa itu berkaitan dengan imbauan meniadakan shalat Jumat dan jamaah shalat
maktubah di masjid untuk sementara watu selama masih ada ancaman nyata wabah
virus Corona untuk daerah yang sudah dinyatakan zona merah. Ketiga kaidah
tersebut sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh publik karena dapat
diterapkan juga dalam kehidupan sehari-hari lepas dari persoalan wabah virus
Corona. Inilah sisi lain, yakni sisi positif atau hikmah yang muncul dari kasus
wabah virus Corona yang telah menjadi fenomena global di abad ini. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar