Bolehkah Pemerintah
Melarang Pasien Covid-19 Hadiri Shalat Jumat dan Keramaian Umum?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, pemerintah dituntut untuk
melakukan berbagai upaya untuk meredakan dan mencegah penyebaran virus corona
yang melanda dunia 2020 ini melalui antara lain social distancing atau jaga
jarak. Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah berhak mencegah warga yang
teridentivikasi korban virus Covid-19 dari ibadah wajib seperti shalat Jumat
yang melibatkan banyak orang? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu
‘alaikum wr. wb.
Bagus – Yogyakarta
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pemerintah berkewajiban untuk membasmi
dan mencegah penyebaran virus corona yang sangat cepat melalui kontak langsung.
Pemerintah bila perlu dapat menempuh kebijakan lockdown karena korban meninggal
semakin meningkat dan semakin tidak terkendali.
Pemerintah juga perlu mendorong social
distancing atau jaga jarak antarindividu sebagai salah satu bentuk pencegahan
penyebaran virus paling efektif. Pemerintah berhak melarang perkumpulan-perjumpaan
yang melibatkan banyak orang dalam kontak langsung.
Dalam situasi darurat penyebaran virus,
pemerintah dituntut untuk mencegah sedapat mungkin warga yang jelas
teridentifikasi mengidap penyakit menular melalui kontak langsung, seperti
pasien Covid-19, penderita kusta, pengidap lepra, untuk hadir dalam keramaian,
yaitu masjid, pasar, pusat perbelanjaan, ibadah Jumat, shalat berjamaah, tempat
wisata, dan tempat umum lainnya.
وبرص
وجذام يندب للإمام منع صاحبهما من المسجد ومخالطة الناس والجمعة والجماعات
Artinya, “Adapun terkait pengidap kusta dan
lepra, pemerintah dianjurkan untuk mencegah keduanya untuk hadir di masjid,
kontak langsung dengan orang lain (apalagi keramaian), ibadah jumat, dan shalat
jamaah,” (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo,
Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz I, halaman 228).
Tuntutan terhadap pemerintah ini dimaksudkan
untuk membatasi dan mencegah penyebaran dan penularan penyakit kusta dan lepra.
Hal demikian juga berlaku bagi pasien Covid-19 yang mewabah awal tahun 2020 ini
di Indonesia dan berbagai negara lain.
Menurut hemat kami, pemerintah juga harus
memfasilitasi pemeriksaan massal warga untuk mendeteksi serangan Covid-19.
Tampaknya, ini yang belum dilakukan. Pasalnya, pemeriksaan ini akan memperjelas
siapa pasien Covid-19 yang butuh penanganan medis yang memadai dan siapa warga
yang steril terbebas Covid-19 untuk tetap melangsungkan Jumat.
Namun demikian, pemerintah dalam menghadapi
bahaya nasional penyebaran Covid-19–bila penyebaran virus tidak
terkendali–dapat mencabut izin pelaksanaan ibadah Jumat yang melibatkan
pertemuan banyak orang untuk sementara waktu sebagaimana pandangan Mazhab
Hanafi.
نعم
يشترط عنده إذن السلطان في إقامتها…قوله (ولا يشترط عندنا إذن السلطان) عبارة الروض وشرحه ولا يشترط حضور السلطان الجمعة ولا إذنه
فيها كسائر العبادات لكن يستحب استئذانه فيها اه
Artinya, “Tetapi menurut Imam Abu Hanifah,
izin pemerintah menjadi syarat dalam pelaksanaan ibadah Jumat… (menurut kami
Mazhab Syafi’i, izin pemerintah bukan syarat) seperti ungkapan Raudhatut Thalib
dan syarahnya. Kehadiran pemerintah dan izinnya bukan syarat pelaksanaan Jumat
sebagaimana ibadah lainnya. Tetapi (kita mazhab Syafi’i) dianjurkan untuk
meminta izin pemerintah dalam pelaksanaan Jumat (untuk menghindari fitnah dan
keluar dari ikhtilaf ulama).” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha
Ad-Dimyathi, I'anatut Thalibin, [Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, tanpa tahun],
juz II, halaman 58).
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb. []
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar