Tidak Bayar Zakat Sekian
Tahun karena Belum Tahu Kewajiban (2)
Sebelumnya telah disinggung bahwa mengqadha
zakat di masa lalu karena faktor ketidaktahuan (jahl) adalah sebuah kewajiban. Pada
kesempatan ini hal yang dibahas adalah tentang nominal yang harus dibayar
sebagai zakat atas kewajiban zakat di masa lampau.
Dalam membahas tentang hal ini terdapat dua
perincian. Pertama, ketika seseorang mengetahui secara pasti atau mencatat
seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di masa lalu. Dalam
keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase yang wajib
dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan harta benda
yang dimilikinya.
Kedua, ketika seseorang tidak mengetahui
secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk
dizakati. Dalam keadaan demikian yang wajib dibayar adalah hitungan yang
diyakini telah memenuhi atau bahkan melampaui kewajiban zakat yang harus
dikeluarkannya, sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada
sesuatu yang diyakininya).
Dengan demikian jika seseorang
memperhitungkan bahwa ketika ia membayar seluruh zakat dari harta bendanya di
masa lalu senilai 20 juta (dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan
membayar zakat dengan uang, seperti dalam mazhab hanafi) dan nominal tersebut
sudah diperhitungkan secara matematis sesuai ketentuan zakat dan diyakini
secara mantap dalam hatinya bahwa nominal tersebut telah sesuai atau bahkan melampaui
kewajiban zakatnya di masa lalu, maka pengeluaran nominal tersebut dianggap
mencukupi sebagai wujud qadha zakatnya di masa lalu.
Berbeda halnya ketika hitungan tersebut masih
menyisakan keraguan dalam hatinya, maka ia harus menambahkan kembali nominal
uang yang harus dikeluarkan sebagai zakatnya di masa lalu, sampai ia meyakini
bahwa nominal uang yang dikeluarkan telah mencukupi kewajiban zakatnya di masa
lalu.
Penjelasan tentang hal ini dijelaskan secara
panjang lebar dalam Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:
قاعدة من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم
يفعله ويدخل فيها قاعدة أخرى من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على
القليل لأنه المتيقن اللهم إلا أن تشتغل الذمة بالأصل فلا تبرأ إلا بيقين وهذا
الاستثناء راجع إلى قاعدة ثالثة ذكرها الشافعي رضي الله عنه وهي أن ما ثبت بيقين
لا يرتفع إلا بيقين –إلى أن قال-
Artinya, “Terdapat kaedah bahwa barang siapa
yang ragu apakah telah melakukan seseuatu atau belum maka hukum asalnya dia
belum melakukan sesuatu tersebut. Termasuk dalam kategori kaidah ini, kaidah
yang lain yaitu barang siapa telah yakin melakukan sesuatu dan ia ragu dalam
banyak sedikitnya, maka diarahkan pada sesuatu yang sedikit karena hitungan
sedikitlah yang diyakini. Kecuali dalam permasalahan ini, sebuah tanggungan
bersinggungan dengan konsep hukum asal, maka tanggungan tersebut tidak menjadi
terbebas kecuali dengan keyakinan. Pengecualian ini merujuk pada kaidah yang
ketiga yang disebutkan oleh Imam As-Syafi’i yaitu sesuatu yang tetap atas dasar
keyakinan, maka tidak akan menjadi hilang kecuali dengan keyakinan pula.
ومنها
عليه دين وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإمام إلا أن تشتغل
ذمته بالأصل فلا يبرأ إلا مما تيقن أداءه كما لو نسي صلاة من الخمس تلزمه الخمس
ولو كان عليه زكاة بقرة وشاة وأخرج أحدهما وشك فيه وجبا قاله ابن عبدالسلام قياسا
على الصلاة وصرح به القفال في فتاويه فقال لو كانت له أموال من الإبل والبقر
والغنم وشك في أن عليه كلها أو بعضها لزمه زكاة الكل لأن الأصل بقاء زكاته.
Artinya, “Sebagian dari cabang permasalahan
kaidah ini adalah ketika seseorang memiliki tanggungan dan ia ragu dalam kadar
tanggungan itu maka wajib baginya untuk membayar kadar tanggungan yang
diyakininya, seperti halnya ketentuan hukum yang telah dipastikan oleh Imam
Haramain. Kecuali ketika tanggugan tersebut bersinggungan dengan hukum asal
maka tidak akan terbebas kecuali dengan melakukan sesuatu yang diyakini akan
membebaskan tanggungannya, seperti halnya ketika seseorang lupa melakukan salah
satu shalat dari kelima shalat fardhu, maka wajib baginya untuk melaksanakan
kelima shalat tersebut.
Permasalahan lain ketika seseorang memiliki
tanggungan zakat sapi dan kambing, lalu ia membayar zakat salah satu dari
keduanya dan ia ragu hewan mana yang belum dizakati, maka wajib baginya
membayar zakat untuk keduanya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh imam
Ibnu Abdis Salam dengan menganalogikan permasalahan tersebut pada permasalahan
shalat. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Qaffal dalam himpunan fatwanya. Lalu
ia berkata, ‘Jika seseorang memiliki harta benda berupa onta, sapi, dan kambing
dan ia ragu apakah zakat yang wajib baginya adalah seluruh jenis hewan tersebut
atau hanya sebagian saja, maka wajib baginya untuk menzakati keseluruhan jenis
hewan, sebab hukum asal dalam permasalahan ini adalah tetapnya zakat
keseluruhannya,” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir,
halaman 55).
Sedangkan yang dimaksud dengan yakin dalam
permasalahan ini adalah ketika terdapat dugaan kuat bahwa harta benda yang
dikeluarkan atas nama zakat tidak kurang dari kewajiban yang harus
dikeluarkannya seperti penjelasan dalam Kitab Hasyiyatul Jamal:
والظاهر
أن المراد باليقين ما يغلب على الظن أن الواجب لا ينقص عنه وإن تصرف المالك فيما
زاد على ما يغلب على ظنه أنه الواجب صحيح لأن الأصل عدم الوجوب ا ه
Artinya, “Hal yang jelas bahwa sunguh yang
dimaksud dengan yakin adalah sesuatu yang di duga kuat bahwa perkara yang wajib
tidak kurang dari hitungan tersebut. penasarufan (pembayaran zakat) lebih dari
hitungan yang diduga kuat oleh pemilik harta sebagai hal yang wajib tetap
dianggap benar karena hukum asalnya adalah tidak wajib,” (Lihat Syekh Sulaiman
Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz IV, halaman 155).
Demikian penjelasan tentang materi ini,
secara umum dapat disimpulkan bahwa qadha zakat yang tidak dibayar di masa lalu
adalah perkara wajib. Sedangkan harta benda yang dikeluarkan adalah harta
benda yang diyakini tidak kurang dari kewajiban zakat yang harus dikeluarkan.
Wallahu a’lam. []
(Selesai…)
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar