Selasa, 28 April 2020

(Ngaji of the Day) Tidak Bayar Zakat Sekian Tahun karena Belum Tahu Kewajiban (2)


Tidak Bayar Zakat Sekian Tahun karena Belum Tahu Kewajiban (2)

Sebelumnya telah disinggung bahwa mengqadha zakat di masa lalu karena faktor ketidaktahuan (jahl) adalah sebuah kewajiban. Pada kesempatan ini hal yang dibahas adalah tentang nominal yang harus dibayar sebagai zakat atas kewajiban zakat di masa lampau.

Dalam membahas tentang hal ini terdapat dua perincian. Pertama, ketika seseorang mengetahui secara pasti atau mencatat seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di masa lalu. Dalam keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase yang wajib dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan harta benda yang dimilikinya.

Kedua, ketika seseorang tidak mengetahui secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk dizakati. Dalam keadaan demikian yang wajib dibayar adalah hitungan yang diyakini telah memenuhi atau bahkan melampaui kewajiban zakat yang harus dikeluarkannya, sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada sesuatu yang diyakininya).

Dengan demikian jika seseorang memperhitungkan bahwa ketika ia membayar seluruh zakat dari harta bendanya di masa lalu senilai 20 juta (dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan membayar zakat dengan uang, seperti dalam mazhab hanafi) dan nominal tersebut sudah diperhitungkan secara matematis sesuai ketentuan zakat dan diyakini secara mantap dalam hatinya bahwa nominal tersebut telah sesuai atau bahkan melampaui kewajiban zakatnya di masa lalu, maka pengeluaran nominal tersebut dianggap mencukupi sebagai wujud  qadha zakatnya di masa lalu.

Berbeda halnya ketika hitungan tersebut masih menyisakan keraguan dalam hatinya, maka ia harus menambahkan kembali nominal uang yang harus dikeluarkan sebagai zakatnya di masa lalu, sampai ia meyakini bahwa nominal uang yang dikeluarkan telah mencukupi kewajiban zakatnya di masa lalu.

Penjelasan tentang hal ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:

قاعدة   من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم يفعله  ويدخل فيها قاعدة أخرى من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن اللهم إلا أن تشتغل الذمة بالأصل فلا تبرأ إلا بيقين وهذا الاستثناء راجع إلى قاعدة ثالثة ذكرها الشافعي رضي الله عنه وهي أن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين إلى أن قال

Artinya, “Terdapat kaedah bahwa barang siapa yang ragu apakah telah melakukan seseuatu atau belum maka hukum asalnya dia belum melakukan sesuatu tersebut. Termasuk dalam kategori kaidah ini, kaidah yang lain yaitu barang siapa telah yakin melakukan sesuatu dan ia ragu dalam banyak sedikitnya, maka diarahkan pada sesuatu yang sedikit karena hitungan sedikitlah yang diyakini. Kecuali dalam permasalahan ini, sebuah tanggungan bersinggungan dengan konsep hukum asal, maka tanggungan tersebut tidak menjadi terbebas kecuali dengan keyakinan. Pengecualian ini merujuk pada kaidah yang ketiga yang disebutkan oleh Imam As-Syafi’i yaitu sesuatu yang tetap atas dasar keyakinan, maka tidak akan menjadi hilang kecuali dengan keyakinan pula.

ومنها عليه دين وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإمام إلا أن تشتغل ذمته بالأصل فلا يبرأ إلا مما تيقن أداءه كما لو نسي صلاة من الخمس تلزمه الخمس ولو كان عليه زكاة بقرة وشاة وأخرج أحدهما وشك فيه وجبا قاله ابن عبدالسلام قياسا على الصلاة وصرح به القفال في فتاويه فقال لو كانت له أموال من الإبل والبقر والغنم وشك في أن عليه كلها أو بعضها لزمه زكاة الكل لأن الأصل بقاء زكاته.

Artinya, “Sebagian dari cabang permasalahan kaidah ini adalah ketika seseorang memiliki tanggungan dan ia ragu dalam kadar tanggungan itu maka wajib baginya untuk membayar kadar tanggungan yang diyakininya, seperti halnya ketentuan hukum yang telah dipastikan oleh Imam Haramain. Kecuali ketika tanggugan tersebut bersinggungan dengan hukum asal maka tidak akan terbebas kecuali dengan melakukan sesuatu yang diyakini akan membebaskan tanggungannya, seperti halnya ketika seseorang lupa melakukan salah satu shalat dari kelima shalat fardhu, maka wajib baginya untuk melaksanakan kelima shalat tersebut.

Permasalahan lain ketika seseorang memiliki tanggungan zakat sapi dan kambing, lalu ia membayar zakat salah satu dari keduanya dan ia ragu hewan mana yang belum dizakati, maka wajib baginya membayar zakat untuk keduanya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh imam Ibnu Abdis Salam dengan menganalogikan permasalahan tersebut pada permasalahan shalat. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Qaffal dalam himpunan fatwanya. Lalu ia berkata, ‘Jika seseorang memiliki harta benda berupa onta, sapi, dan kambing dan ia ragu apakah zakat yang wajib baginya adalah seluruh jenis hewan tersebut atau hanya sebagian saja, maka wajib baginya untuk menzakati keseluruhan jenis hewan, sebab hukum asal dalam permasalahan ini adalah tetapnya zakat keseluruhannya,” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 55).

Sedangkan yang dimaksud dengan yakin dalam permasalahan ini adalah ketika terdapat dugaan kuat bahwa harta benda yang dikeluarkan atas nama zakat tidak kurang dari kewajiban yang harus dikeluarkannya seperti penjelasan dalam Kitab Hasyiyatul Jamal:

والظاهر أن المراد باليقين ما يغلب على الظن أن الواجب لا ينقص عنه وإن تصرف المالك فيما زاد على ما يغلب على ظنه أنه الواجب صحيح لأن الأصل عدم الوجوب ا ه

Artinya, “Hal yang jelas bahwa sunguh yang dimaksud dengan yakin adalah sesuatu yang di duga kuat bahwa perkara yang wajib tidak kurang dari hitungan tersebut. penasarufan (pembayaran zakat) lebih dari hitungan yang diduga kuat oleh pemilik harta sebagai hal yang wajib tetap dianggap benar karena hukum asalnya adalah tidak wajib,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz IV, halaman 155).

Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa qadha zakat yang tidak dibayar di masa lalu adalah perkara wajib. Sedangkan  harta benda yang dikeluarkan adalah harta benda yang diyakini tidak kurang dari kewajiban zakat yang harus dikeluarkan. Wallahu a’lam. []

(Selesai…)

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar