Bulan Sya’ban dalam
Tinjauan Lahiriah dan Batiniah Manusia
Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang amat mulia. Ia terletak di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Rasulullah sendiri berdoa memohon keberkahan di bulan Rajab, kemudian bulan Sya’ban, dan memohon usia hingga dapat menemui bulan Ramadhan. Tiga bulan ini tampak satu paket, yang kemuliaan dan orientasinya bermuara pada satu tujuan, yakni kesempurnaan diri setelah menjalankan puasa di bulan Ramadhan.
Syekh Yahya bin Mu’adz, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Duratun Nashihin, memaknai bulan Sya’ban dari
masing-masing huruf penyusun katanya. Kata “Sya’ban” (شعبان) terdiri atas lima huruf:
●ش (syin) berarti asy-syafa’ah wasy syarafah
(pertolongan dan kemuliaan)
● ع (‘ain) berarti al-‘izzah wal karamah
(kemuliaan dan kehormatan)
●ب (ba’) berarti al-birr (kebajikan)
● ا (alif) berarti al-ulfah (kecondongan atau
kasih sayang)
●ن (nun) berarti an-nur (cahaya atau
menerangi)
Berangkat dari pengertian tersebut, dikatakan
bahwa bulan Rajab adalah pembersihan badan, Sya’ban pembersihan hati, dan
Ramadhan adalah pembersihan ruh. Inilah dimensi yang menjadi fokus pendidikan
dalam rangkaian tiga bulan secara berurutan. Lantas, bagaimana cara mendidik
dimensi-dimensi tersebut?
Sebagian ulama ahli hikmah mengatakan:
إن
رجب للاستغفار من الذنوب وشعبان لإصلاح القلب من العيوب ورمضان لتنوير القلوب
وليلة القدر للتقرب إلى الله تعالى
“Bulan Rajab adalah bulan untuk memperbanyak
istighfar (memohon ampun) dari dosa-dosa, bulan Sya’ban untuk memperbaiki hati
dari cela/keburukan, bulan Ramadhan untuk menerangi hati dan Lailatul Qadar
sebagai media mendekat kepada Allah” (Syekh Utsman Bin Hasan, Duratun Nashihin,
Semarang: Toha Putra, hal. 207).
Pengertian tersebut senada dengan istilah
takhalli, tahalli, dan tajalli dalam dunia tasawuf. Ketiga istilah ini
merupakan fase-fase yang harus ditempuh oleh siapa saja dalam mencapai
kesempurnaan dan kesucian jiwa.
Pertama, takhalli, yakni pengosongan diri
dari sifat-sifat tercela. Oleh karenanya dalam maqamat (tingkatan-tingkatan
spiritual), tobat diletakkan di bagian yang paling awal. Bagaimanapun mulianya
niat seseorang, tanpa mendahulukan diri bertobat maka ia tidak akan bisa
menempuh pada maqam (tingkatan) berikutnya. Tobat berarti menyesali perbuatan
dosa yang telah lalu, bertekad tidak akan mengulanginya kembali, dan
menggantinya dengan yang lebih baik. Salah satu bentuk penyesalan seorang hamba
atas dosa-dosanya adalah selalu memohon ampun kepada Allah yang maha pemberi
tobat.
وَمَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدِ اللهَ
غَفُورًا رَحِيمًا (١١٠)
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS An-Nisa: 110).
Kedua, tahalli, yakni menghiasi diri dengan
sifat-sifat terpuji. Setelah melewati tahap pertama yaitu tobat, selanjutnya
adalah menghiasi diri dengan amal-amal yang baik. Ibarat rumah, untuk dapat
ditempati secara layak dan nyaman tentu harus melewati tahap pengosongan atau
pembersihan, baru setelah itu dihias sebagaimana umumnya rumah hunian. Kebaikan
pulalah yang dapat menghapus segala keburukan yang pernah dilakukan.
Sebagaimana sabda Rasululullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
اتق
الله حيثما كنت وأتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن. (رواه الترمذي)
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu
berada dan ikutilah perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti (kebaikan itu) akan
menghapuskannya, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik”
(HR At-Tirmidzi).
Daan dalam firman Allah dijelaskan
وَأَقِمِ
الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (١١٤)
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua
ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.
Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah)” (QS Hud: 114).
Ketiga, tajalli, yakni terungkapnya nur ghaib
bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan (Syamsul
Munir, Ilmu Tasawuf, 2012: 209).
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa momentum bulan Sya’ban , termasuk Rajab dan Ramadhan bukan
sekadar pesta panen pahala dengan berbagai bentuk ibadah. Esensi dari aktivitas
di dalamnya tidak lain adalah menggapai kesempurnaan hidup. Harapannya selepas
Ramadhan nanti benar-benar menjadi golangan orang-orang yang kembali dan
membawa kemenangan, minal âidîn wal fâizîn.
Beberapa kesunnahan di bulan Sya’ban di
antaranya adalah memperbanyak puasa. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu
‘anh:
فَمَا
رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ اِلَّا
رَمَضَانَ وَمَارَاَيْتُهُ اَكْثَرَ صِيَامُا مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ (رواه البخاري)
Sayyidah aisyah berkata: “Saya tidak pernah
melihat Rasulullah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh kecuali di bulan
Ramadhan, dan tidak pernah melihat Rasulullah memperbanyak puasa dalam satu
bulan selain bulan Sya’ban” (HR. Bukhari).
Selain mengandung nilai pahala, puasa juga
memiliki hikmah yang besar terhadap kesalehan dan kesucian jiwa. Pertama, puasa
merupakan media latihan bersabar. Selama satu hari penuh seseorang dilatih
menahan diri dari segala keinginan jasmani dan rohani. Hal ini memungkinkan
seseorang memiliki sifat penyabar. Karena inti dari kesabaran adalah ketika
seseorang dapat menahan diri dari segala tuntutan hawa nafsunya.
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى)
“Wahai pemuda barang siapa di antara kamu
telah memiliki cukup bekal untuk menikah, maka menikahlah, karena yang demikian
itu dapat menjaga pandangan, dan farji (alat kelamin). Dan barangsiapa yang
tidak mampu maka baginya berpuasa, karena hal itu dapat menjadi tameng” (HR.
Bukhari).
Kedua, puasa melatih seseorang untuk
mensyukuri nikmat Allah. Manusia biasanya baru akan merasakan nikmatnya sesuatu
ketika nikmat itu sudah dicabut oleh Allah. Nikmat sehat akan sangat terasa
ketika mengalami sakit. Kebahagiaan akan terasa nikmatnya ketika mengalami
kesusahan. Makan dan minum adalah nikmat yang luar biasa ketika merasakan lapar
dan dahaga.
Ketiga, menumbuhkan rasa cinta kepada sesama
terutama orang-orang fakir dan miskin. Berpuasa berarti mengalami bagaimana
rasanya menahan lapar dan dahaga selama sehari penuh. Badan lemah tak berdaya
karena kekuarangan energi. Itulah yang dialami orang-orang yang tak berpunya
dalam kehidupan sehari-hari. Puasa mendorong munculnya rasa cinta, kasih dan
sayang kepada setiap yang membutuhkan. Menumbuhkan sifat dermawan, suka
menolong, simpati, dan empati terhadap sesama.
Keempat, puasa merupakan latihan keikhlasan.
Ibadah puasa tidak dapat digambarkan, apalagi dipamerkan kepada orang lain.
Batal tidaknya hanya diri dan Allah yang tahu. Ketulusan seseorang diuji ketika
ibadah mereka tak terlihat oleh orang lain.
Kelima, menjadikan pribadi yang takwa.
Semoga kita semua dijadikan golongan
orang-orang yang istiqamah lagi khusyuk dalam beribadah, sehingga dapat meraih
kebahagian lahir dan batin. Mencapai derajat terbaik di hadapan Allah subhanahu
wata’ala. Âmîn. []
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU
Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar