Senin, 27 April 2020

(Ngaji of the Day) Pencegahan Covid-19 dan Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (2)


Pencegahan Covid-19 dan Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (2)

Pembacaan ulang atas manifestasi prinsip hifzhun nafs juga dilakukan oleh Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki. Ia memberikan cacatan kritik atas perwujudan prinsip hifzhun nafs yang dilakukan ulama terdahulu melalui pembatasan manifestasi prinsip hifzhun nafs pada dimensi represif-kuratif hukum semata.

Ia tidak menafikan dimensi tersebut, tetapi mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs itu sendiri.

ومعنى حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس

Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa) adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman 89).

Menurut Thahir bin Asyur, jaminan atas keselamatan jiwa manusia terlalu kecil untuk diwujudkan dalam penerapan sanksi atas tindakan pembunuhan semata yang juga bersifat zhanni dan individual, tetapi juga perlu manifestasi preventif-antisipatif dan kolektif seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Umar RA dalam konteks thaun Amawas.

An-Nawawi mengatakan, hadits Sayyidina Umar RA riwayat Bukhari dan Muslim tersebut mengandung pesan agar umat Islam waspada, menjauhkan diri, dan mengantisipasi dari sebab-sebab yang dapat mengancam keselamatan jiwanya, termasuk wabah dan tha’un. (An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz VII, halaman 466-470).

Sargh adalah sebuah desa di ujung Syam yang berbatasan dengan Hijaz. Sayyidina Umar menghentikan perjalanannya sampai di sini dan berbalik arah. Sedangkan Amawas adalah sebuah desa di dalam negeri Syam. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: VII/466).

Wabah thaun Amawas terjadi pada Muharram/Shafar 17 H. Sahabat terkemuka yang wafat karena wabah ini adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah RA, Muadz bin Jabal RA, Yazid bin Abi Sufyan RA, Syurahbil bin Hasanah RA, Harits bin Hisyam RA, dan lain-lain. Wabah penyakit ini menelan korban sedikitnya 25.000 jiwa (sebagian riwayat menyebut 30.000 korban jiwa). (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul Ashimah: tanpa tahun], halaman 222).

Guru besar di Universitas Az-Zaitunah dan Menteri Agama Tunisia, Prof Nuruddin bin Muhktar Al-Khadimi (1963 M-…) dalam Kitab Fiqhuna Al-Mu’ashir memasukkan perspektif lingkungan dalam memaknai hifzhun nufus sebagai salah satu ushulus syariah atau ad-dharuruyyatul khams.

“Kemaslahatan dasar (dharuriyyah) menyarankan adanya pemenuhan kebutuhan dasar lazim kehidupan yang hanya terwujud dengan lingkungan yang sehat dari wabah dan penyakit berbahaya, terlebih lagi penyediaan makanan yang layak dan obat-obatan pokok dalam rangka melestarikan kehidupan (iqamatul hayah) dan menjamin keselamatan jiwa (hifzhun nufus).” (Al-Khadimi, Fiqhuna Al-Mu’ashir, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 32).

Al-Khadimi juga memaknai konsep hifzhun nufus dari perspektif peradaban. Ia mengutip pandangan Ibnu Khaldun yang menyebut gotong royong dalam menyempurnakan kehidupan sosial yang terdiri atas individu, perlindungan manusia dari bahaya yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri dan spesiesnya, serta jaminan perlindungan fisik manusia dari sengatan cuaca panas dan iklim dingin sebagai bentuk konkret prinsip hifzhun nufus. (Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur, Ru’yah Maqashidiyyah [Kairo, Darus Salam: 2014 M/1435 H], halaman 50-51).

Adapun langkah preventif dan antisipatif dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 ini kemudian diwujudkan dalam bentuk social distancing atau jaga jarak fisik melalui pelaksanaan shalat Zuhur pada hari Jumat di rumah masing-masing, pergeseran shalat berjamaah dari masjid ke rumah, pemindahan aktivitas pembelajaran sekolah, kampus serta perkantoran ke rumah, dan menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang. Langkah ini diambil sebagai manifestasi atas prinsip hifzhun nufus atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia.

Saya menduga ada beberapa alasan kenapa pendekatan represif-kuratif hifzhun nufus tidak dapat diterapkan pada saat menghadapi Covid-19. Pendekatan represif-kuratif tidak tepat diterapkan pada kasus Covid-19. Pendekatan ini terbilang berisiko dan telat karena menunggu jatuh banyak korban baru melakukan kuratif di Indonesia. Sementara kasus Covid-19 memiliki referensi dari negara lain yang sebelumnya mengalami.

Sebagian ustadz, pengurus masjid, dan juga dai mungkin menolak pendekatan preventif-antisipatif dengan tetap menggelar pertemuan akbar, tabligh, Jumatan, dan shalat berjamaah khususnya pada zona merah Covid-19. Mereka mengatakan seperti pada sebagian video yang tersebar bahwa masjid adalah tempat yang aman, kumpul di masjid adalah anjuran, dan Jumat adalah kewajiban. Tetapi mereka tidak dapat memberikan jaminan atas keselamatan jiwa para jamaah yang hadir termasuk diri mereka sendiri yang menjadi pijakan atau prinsip syariat mereka dalam beragama.

Al-Asqalani menceritakan wabah tha’un yang awalnya terjadi pada 27 Rabi’ul Awwal 833 H di Kairo, Mesir. Pada saat itu korban awalnya hanya berjumlah kurang dari 40 jiwa. Pada tanggal 4 Jumadil Ula 833 H, masyarakat berkumpul setelah sebelumnya diimbau untuk berpuasa tiga hari seperti Shalat Istisqa. Mereka berkumpul, berdoa, dan berdiam selama satu jam sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya belum lewat sebulan jumlah korban wabah berjatuhan hingga setiap hari mencapai di atas 1000 korban jiwa bahkan terus bertambah. (Al-Asqalani, tanpa tahun: 329).

Kalau menunggu korban berjatuhan terlebih dahulu dalam jumlah besar karena wabah lalu menetapkan Covid-19 sebagai wabah sebagai uzur Jumat, berjamaah dalam jumlah besar, atau berkumpul karena alasan lain, siapa yang bertanggung jawab dan dapat mengembalikan nyawa mereka yang telah gugur sebagai korban Covid-19? Wallahu a’lam. []

(Selesai…)

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar