Pencegahan Covid-19 dan
Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (2)
Pembacaan ulang atas manifestasi prinsip hifzhun nafs juga dilakukan oleh Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki. Ia memberikan cacatan kritik atas perwujudan prinsip hifzhun nafs yang dilakukan ulama terdahulu melalui pembatasan manifestasi prinsip hifzhun nafs pada dimensi represif-kuratif hukum semata.
Ia tidak menafikan dimensi tersebut, tetapi
mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif
berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs itu sendiri.
ومعنى
حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من
أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس
المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ
حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ
وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من
دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس
Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa)
adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun
kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki
keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau
hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang
sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis
terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan
setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya
penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit
menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke
negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah
Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman
89).
Menurut Thahir bin Asyur, jaminan atas
keselamatan jiwa manusia terlalu kecil untuk diwujudkan dalam penerapan sanksi
atas tindakan pembunuhan semata yang juga bersifat zhanni dan individual,
tetapi juga perlu manifestasi preventif-antisipatif dan kolektif seperti yang
dilakukan oleh Sayyidina Umar RA dalam konteks thaun Amawas.
An-Nawawi mengatakan, hadits Sayyidina Umar
RA riwayat Bukhari dan Muslim tersebut mengandung pesan agar umat Islam
waspada, menjauhkan diri, dan mengantisipasi dari sebab-sebab yang dapat mengancam
keselamatan jiwanya, termasuk wabah dan tha’un. (An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah
Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz VII,
halaman 466-470).
Sargh adalah sebuah desa di ujung Syam yang
berbatasan dengan Hijaz. Sayyidina Umar menghentikan perjalanannya sampai di
sini dan berbalik arah. Sedangkan Amawas adalah sebuah desa di dalam negeri
Syam. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: VII/466).
Wabah thaun Amawas terjadi pada
Muharram/Shafar 17 H. Sahabat terkemuka yang wafat karena wabah ini adalah Abu
Ubaidah Ibnul Jarrah RA, Muadz bin Jabal RA, Yazid bin Abi Sufyan RA, Syurahbil
bin Hasanah RA, Harits bin Hisyam RA, dan lain-lain. Wabah penyakit ini menelan
korban sedikitnya 25.000 jiwa (sebagian riwayat menyebut 30.000 korban jiwa).
(Ibnu Hajar Al-Asqalani, Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, [Riyadh, Darul
Ashimah: tanpa tahun], halaman 222).
Guru besar di Universitas Az-Zaitunah dan
Menteri Agama Tunisia, Prof Nuruddin bin Muhktar Al-Khadimi (1963 M-…) dalam
Kitab Fiqhuna Al-Mu’ashir memasukkan perspektif lingkungan dalam memaknai
hifzhun nufus sebagai salah satu ushulus syariah atau ad-dharuruyyatul khams.
“Kemaslahatan dasar (dharuriyyah) menyarankan
adanya pemenuhan kebutuhan dasar lazim kehidupan yang hanya terwujud dengan
lingkungan yang sehat dari wabah dan penyakit berbahaya, terlebih lagi
penyediaan makanan yang layak dan obat-obatan pokok dalam rangka melestarikan
kehidupan (iqamatul hayah) dan menjamin keselamatan jiwa (hifzhun nufus).”
(Al-Khadimi, Fiqhuna Al-Mu’ashir, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman
32).
Al-Khadimi juga memaknai konsep hifzhun nufus
dari perspektif peradaban. Ia mengutip pandangan Ibnu Khaldun yang menyebut
gotong royong dalam menyempurnakan kehidupan sosial yang terdiri atas individu,
perlindungan manusia dari bahaya yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri
dan spesiesnya, serta jaminan perlindungan fisik manusia dari sengatan cuaca
panas dan iklim dingin sebagai bentuk konkret prinsip hifzhun nufus.
(Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur, Ru’yah Maqashidiyyah [Kairo, Darus Salam: 2014
M/1435 H], halaman 50-51).
Adapun langkah preventif dan antisipatif
dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 ini kemudian diwujudkan dalam
bentuk social distancing atau jaga jarak fisik melalui pelaksanaan shalat Zuhur
pada hari Jumat di rumah masing-masing, pergeseran shalat berjamaah dari masjid
ke rumah, pemindahan aktivitas pembelajaran sekolah, kampus serta perkantoran
ke rumah, dan menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang. Langkah ini
diambil sebagai manifestasi atas prinsip hifzhun nufus atau jaminan atas keselamatan
jiwa manusia.
Saya menduga ada beberapa alasan kenapa
pendekatan represif-kuratif hifzhun nufus tidak dapat diterapkan pada saat
menghadapi Covid-19. Pendekatan represif-kuratif tidak tepat diterapkan pada
kasus Covid-19. Pendekatan ini terbilang berisiko dan telat karena menunggu
jatuh banyak korban baru melakukan kuratif di Indonesia. Sementara kasus
Covid-19 memiliki referensi dari negara lain yang sebelumnya mengalami.
Sebagian ustadz, pengurus masjid, dan juga
dai mungkin menolak pendekatan preventif-antisipatif dengan tetap menggelar
pertemuan akbar, tabligh, Jumatan, dan shalat berjamaah khususnya pada zona
merah Covid-19. Mereka mengatakan seperti pada sebagian video yang tersebar
bahwa masjid adalah tempat yang aman, kumpul di masjid adalah anjuran, dan
Jumat adalah kewajiban. Tetapi mereka tidak dapat memberikan jaminan atas
keselamatan jiwa para jamaah yang hadir termasuk diri mereka sendiri yang
menjadi pijakan atau prinsip syariat mereka dalam beragama.
Al-Asqalani menceritakan wabah tha’un yang
awalnya terjadi pada 27 Rabi’ul Awwal 833 H di Kairo, Mesir. Pada saat itu
korban awalnya hanya berjumlah kurang dari 40 jiwa. Pada tanggal 4 Jumadil Ula
833 H, masyarakat berkumpul setelah sebelumnya diimbau untuk berpuasa tiga hari
seperti Shalat Istisqa. Mereka berkumpul, berdoa, dan berdiam selama satu jam
sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya belum lewat sebulan
jumlah korban wabah berjatuhan hingga setiap hari mencapai di atas 1000 korban
jiwa bahkan terus bertambah. (Al-Asqalani, tanpa tahun: 329).
Kalau menunggu korban berjatuhan terlebih
dahulu dalam jumlah besar karena wabah lalu menetapkan Covid-19 sebagai wabah
sebagai uzur Jumat, berjamaah dalam jumlah besar, atau berkumpul karena alasan
lain, siapa yang bertanggung jawab dan dapat mengembalikan nyawa mereka yang
telah gugur sebagai korban Covid-19? Wallahu a’lam. []
(Selesai…)
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar