Gagap Menghadapi Wabah Corona
Oleh: Azyumardi Azra
Wabah pandemi secara global sampai pertengahan pekan ini
(8/4/2020) sudah menjangkiti sekitar satu setengah juta warga dunia dan
menewaskan lebih 80 ribu orang. Penyebarannya tidak bisa terbendung; tampaknya
perjalanan waktu saja yang membuat kurva penyebaran wabah corona ini sedikit
demi sedikit menjadi landai.
Menghadapi pandemi corona, kebanyakan pemerintah di berbagai negara gagap dan megap-megap untuk menemukan cara yang mereka anggap efektif mengatasi wabah corona. Sementara itu, korban terus berjatuhan, mereka masih saja tetap gagap menghadapi wabah corona.
Bagaimana Pemerintah Indonesia? Semula ketika mencermati perkembangan cepat wabah corona dari Wuhan, Cina Daratan yang kemudian segera menyebar ke Korea Selatan sepanjang Januari-Februari, kalangan pejabat tinggi Indonesia mengeluarkan berbagai pernyataan yang bernada mengabaikan dan memandang enteng Covid-19.
Tidak perlu mengulangi berbagai pernyataan mengentengkan dan bernada takabur itu di sini. Yang jelas sikap meremehkan membuat Pemerintah Indonesia lalai mempersiapkan negara dan warganya menghadapi wabah korona. Indonesia kehilangan waktu dua bulan sebelum akhirnya Presiden Jokowi pada 2 Maret mengumumkan adanya dua warga Indonesia yang positif mengidap virus corona.
Sejak pengakuan itu, Pemerintah Indonesia terlihat gagap menghadapi musibah wabah korona yang menyebar cepat ke seluruh penjuru Tanah Air. Bukan hanya itu, Indonesia seolah kehilangan kepemimpinan; hampir tidak terlihat ekspresi kepemimpinan kuat yang diperlukan pada masa krisis; yang mampu membawa negara dan bangsa keluar dari bencana lebih parah.
Sebaliknya, yang terjadi adalah silang pendapat di antara para pejabat tinggi: antara Presiden dan menteri, antara sesama menteri, antara jubir presiden dan menteri; antara pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten.
Semua ini menciptakan apa yang disebut Wijayanto sebagai 'blunder' Pemerintahan Jokowi. Ada 13 pernyataan blunder pada masa prakrisis; empat blunder pada awal krisis; dan 20 pernyataan blunder pada masa krisis (Center for Media and Democracy, LP3ES: 7/4/2020). Fenomena ini menyebabkan peningkatan sentimen negatif (66,3 persen) terhadap pemerintah seperti diungkap Riset Big Data Indef (31/3/2020).
Lockdown
Perbedaan pendapat terus berlarut-larut di kalangan kepemimpinan
pemerintah pusat dalam menentukan kebijakan membendung penyebaran wabah korona:
apakah menerapkan 'penguncian ketat' (lockdown)
atau 'karantina wilayah' atau 'karantina daerah'.
Tanpa menunggu 'arahan' pemerintah pusat, beberapa daerah, seperti Papua atau Kota Tegal menerapkan semacam lockdown atau 'karantina wilayah'. Daerah lain semacam Aceh dan Bekasi menerapkan 'jam malam'.
Di tengah ketidakjelasan, Presiden Jokowi sempat menyinggung tentang kemungkinan pemberlakuan 'darurat sipil' jika keadaan negara dan bangsa memburuk akibat wabah korona. Banjir protes muncul dari berbagai sektor masyarakat yang melihat 'darurat sipil' sebagai berlebihan dan berbahaya bagi kehidupan publik.
Setelah berada dalam ketidakpastian sepanjang Maret, barulah pada akhir bulan (31/3/2020), Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah (PP). PP ini berisi pemberlakuan 'Pembatasan Sosial Berskala Besar' (PSBB).
Namun, PP tentang PSBB ini tampak tidak mencerminkan respons cepat terhadap keadaan krisis—tidak terlihat 'sense of crisis'. Ada macam-macam syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi daerah sebelum permintaan pemberlakuan PSBB dapat disetujui Kementerian Kesehatan.
Di sini terlihat cara pandang dan perilaku business as usual dengan memberlakukan birokratisasi dan administrasi yang menyulitkan. Terlihat prinsip yang diberlakukan adalah: "Jika bisa dipersulit kenapa dipermudah".
Ketiadaan kepemimpinan yang jelas, tegas, dan bisa bergerak cepat itulah yang membuat gubernur atau wali kota atau bupati mengambil jalan sendiri. Menjelang PP PSBB terbit, pemda-pemda harus menghadapi mudiknya warga dalam jumlah besar yang potensial membawa virus korona ke kampung masing-masing; mereka menetapkan kebijakan sendiri.
Pemerintah pusat terlihat seolah tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap kebijakan pemda-pemda tertentu. Presiden Jokowi hanya meminta kepada Mendagri Tito Karnavian menertibkan daerah yang mengambil langkah masing-masing. Menghadapi fenomena ini, tak ada alternatif lain kecuali konsolidasi kepemimpinan pemerintah pusat; dan pada saat yang sama tidak lagi membuat blunder. []
REPUBLIKA, 14 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar