Kajian Hadits Mursal dan
Pembagiannya
Mursal adalah hadits yang hilang atau tidak
disebutkan perawi dari golongan sahabat. Ciri hadits mursal adalah sebuah
hadits yang disampaikan oleh tabi’in (baik tabi’in kecil maupun besar) tanpa
menyebutkan nama sahabat, dan langsung menyebut nama Rasulullah SAW.
Jika ada tabiin yang menyebutkan hadits
langsung dari Rasul, maka hadits tersebut adalah hadits mursal karena secara
teknis seorang tabi’in tidak akan mendapatkan hadits tanpa sahabat.
Contoh hadits mursal bisa kita lihat dalam Ṣaḥīḥ
Muslim, dalam pembahasan jual-beli (Kitābul Buyū’) berikut:
حدثني
محمد بن رافع، ثنا حجين، ثنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب أن رسول
الله ﷺ نهى بيع
عن المزابنة
Dalam hadits tersebut, Saʽid bin Musayyab
adalah seorang tabi’in kabir, namun meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW.
Padahal seorang tabi’in tidak mungkin bertemu dengan Rasul. Ia pasti mendengar
hadits tersebut dari sahabat. Sayangnya, sahabat tersebut tidak disebutkan.
Sebagaimana hadits muʽallaq, mursal juga
tergolong hadits yang tertolak (mardūd) karena hilangnya salah satu syarat
hadits sahih, yakni ittiṣālus sanad (tersambungnya sanad). Namun para ulama
berbeda pendapat, karena yang hilang dari hadits mursal adalah rawi sahabat,
sedangkan para sahabat sudah divonis adil sehingga tidak disebutkannya nama
sahabat dalam sanad tersebut tidak menjadikan hadits tersebut tertolak.
Maka dari itu, menyikapi hal ini, ulama
terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, dhaif mardud: pendapat ini dipegang
teguh oleh para ahli ushul serta mayoritas ahli hadits. Alasannya, karena tidak
diketahui ciri dan kredibilitas rawi yang dibuang, karena bisa jadi yang tidak
disebutkan/dibuang tersebut adalah bukan golongan sahabat.
Kedua, sahih dan bisa dijadikan argumentasi:
pendapat ini dianut oleh tiga ulama besar, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan Imam Ahmad ibn Hanbal, dengan syarat, orang yang melakukan kemursalan
(mursil) adalah orang yang tsiqqah (kredibel). Pada prinsipnya, orang yang
tsiqqah tidak akan dengan mudah menyebutkan hadits langsung dari Rasul, jika
tidak melalui orang yang tsiqqah juga.
Ketiga, diterima dengan beberapa syarat:
pendapat ini diikuti oleh Imam As-Syafi’i dan beberapa ulama.
Syarat-syarat tersebut adalah: 1) orang yang
memursalkan hadits (mursil) termasuk golongan tabi’in tua (kibārut tabi’īn). 2)
ketika mursil tersebut ditanya terkait nama perawi yang dibuang, ia menyebutkan
nama orang yang tsiqqah. 3) riwayat rawi mursil tersebut tidak bertentangan
dengan riwayat rawi lain yang terpercaya dan kuat hafalannya. Artinya, rawi mursil
tersebut adalah rawi yang tsiqqah. 4) hadits tersebut memiliki jalur sanad yang
berbeda. Jika sanad lain tersebut juga mursal, sanad tersebut bukan dari mursil
yang sama. 5) Sesuai dengan kaul para sahabat. 6) Hadits tersebut digunakan
sebagai hujjah oleh para ulama dalam fatwanya. (Lihat Mahmūd At-ṭhaḥḥān,
Taysīru Muṣṭalahil Ḥadīts, [Riyadh, Maktabah Maʽārif: 2004 M], halaman 89-90).
Selain mursal sebagaimana penjelasan di atas,
dalam kategori pembagian mursal ini juga ada yang dinamakan dengan mursal sahabī.
Mursal ini sebagaimana hadits mursal biasa, hanya saja pelaku (mursil) adalah
seorang sahabat.
Biasanya sahabat tersebut adalah sahabat
kecil yang meriwayatkan hadits dari sahabat besar, namun ia tidak menyebutkan
nama sahabat besar tersebut, dan langsung menyebutkan Rasulullah SAW.
Tidak seperti mursal biasa, mursal sahabī ini
tidak tergolong hadits yang tertolak, karena rawi yang dihilangkan bisa
dipastikan sebagai sahabat. Wallahu a’lam. []
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat
kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar