Kamis, 23 April 2020

(Ngaji of the Day) Kajian Hadits Mursal dan Pembagiannya


Kajian Hadits Mursal dan Pembagiannya

Mursal adalah hadits yang hilang atau tidak disebutkan perawi dari golongan sahabat. Ciri hadits mursal adalah sebuah hadits yang disampaikan oleh tabi’in (baik tabi’in kecil maupun besar) tanpa menyebutkan nama sahabat, dan langsung menyebut nama Rasulullah SAW.

Jika ada tabiin yang menyebutkan hadits langsung dari Rasul, maka hadits tersebut adalah hadits mursal karena secara teknis seorang tabi’in tidak akan mendapatkan hadits tanpa sahabat.

Contoh hadits mursal bisa kita lihat dalam Ṣaḥīḥ Muslim, dalam pembahasan jual-beli (Kitābul Buyū’) berikut:

حدثني محمد بن رافع، ثنا حجين، ثنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب أن رسول الله نهى بيع عن المزابنة

Dalam hadits tersebut, Saʽid bin Musayyab adalah seorang tabi’in kabir, namun meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW. Padahal seorang tabi’in tidak mungkin bertemu dengan Rasul. Ia pasti mendengar hadits tersebut dari sahabat. Sayangnya, sahabat tersebut tidak disebutkan.

Sebagaimana hadits muʽallaq, mursal juga tergolong hadits yang tertolak (mardūd) karena hilangnya salah satu syarat hadits sahih, yakni ittiṣālus sanad (tersambungnya sanad). Namun para ulama berbeda pendapat, karena yang hilang dari hadits mursal adalah rawi sahabat, sedangkan para sahabat sudah divonis adil sehingga tidak disebutkannya nama sahabat dalam sanad tersebut tidak menjadikan hadits tersebut tertolak.

Maka dari itu, menyikapi hal ini, ulama terbagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, dhaif mardud: pendapat ini dipegang teguh oleh para ahli ushul serta mayoritas ahli hadits. Alasannya, karena tidak diketahui ciri dan kredibilitas rawi yang dibuang, karena bisa jadi yang tidak disebutkan/dibuang tersebut adalah bukan golongan sahabat.

Kedua, sahih dan bisa dijadikan argumentasi: pendapat ini dianut oleh tiga ulama besar, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, dengan syarat, orang yang melakukan kemursalan (mursil) adalah orang yang tsiqqah (kredibel). Pada prinsipnya, orang yang tsiqqah tidak akan dengan mudah menyebutkan hadits langsung dari Rasul, jika tidak melalui orang yang tsiqqah juga.

Ketiga, diterima dengan beberapa syarat: pendapat ini diikuti oleh Imam As-Syafi’i dan beberapa ulama.

Syarat-syarat tersebut adalah: 1) orang yang memursalkan hadits (mursil) termasuk golongan tabi’in tua (kibārut tabi’īn). 2) ketika mursil tersebut ditanya terkait nama perawi yang dibuang, ia menyebutkan nama orang yang tsiqqah. 3) riwayat rawi mursil tersebut tidak bertentangan dengan riwayat rawi lain yang terpercaya dan kuat hafalannya. Artinya, rawi mursil tersebut adalah rawi yang tsiqqah. 4) hadits tersebut memiliki jalur sanad yang berbeda. Jika sanad lain tersebut juga mursal, sanad tersebut bukan dari mursil yang sama. 5) Sesuai dengan kaul para sahabat. 6) Hadits tersebut digunakan sebagai hujjah oleh para ulama dalam fatwanya. (Lihat Mahmūd At-ṭhaḥḥān, Taysīru Muṣṭalahil Ḥadīts, [Riyadh, Maktabah Maʽārif: 2004 M], halaman 89-90).

Selain mursal sebagaimana penjelasan di atas, dalam kategori pembagian mursal ini juga ada yang dinamakan dengan mursal sahabī. Mursal ini sebagaimana hadits mursal biasa, hanya saja pelaku (mursil) adalah seorang sahabat.

Biasanya sahabat tersebut adalah sahabat kecil yang meriwayatkan hadits dari sahabat besar, namun ia tidak menyebutkan nama sahabat besar tersebut, dan langsung menyebutkan Rasulullah SAW.

Tidak seperti mursal biasa, mursal sahabī ini tidak tergolong hadits yang tertolak, karena rawi yang dihilangkan bisa dipastikan sebagai sahabat. Wallahu a’lam. []

Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar