Enam Etika saat Berpuasa
Melanjutkan tujuh faedah puasa pada tulisan
sebelumnya, di bab berikutnya dari kitab Maqâshid al-Shaum, Imam
Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami membahas tentang adab atau etika yang harus
dijaga bagi orang yang berpuasa. Imam Izzuddin al-Sulami mengelompokkannya
dalam enam bagian, yaitu:
(1) Hifdh al-Lisân wa al-Jawârih ‘an
al-Mukhâlafah (Menjaga Lisan dan Seluruh Tubuh dari Ketidaktaatan)
Pertimbangan puasa seharusnya tidak sekedar
soal sah dan tidak sah, tapi juga harus mempertimbangkan segala aspek etika
ibadah dalam melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya dalam
meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR. Imam Bukhari)
Imam Izzuddin al-Sulami menjadikan hadis
tersebut sebagai landasan logis pentingnya adab dalam menjalankan puasa, bahwa
puasa tidak melulu soal lapar dan haus, tapi juga soal menjaga lisan dan
seluruh anggota tubuh dari perbuatan jahat, dusta dan lain sebagainya.
(2) Mengatakan “Saya Berpuasa” ketika
Diundang atau Ditawari Makan
Mengucapkan, “anâ shâ’imun—saya
berpuasa,” ketika diundang atau ditawari makanan mengandung makna yang dalam,
meski terkesan ringan, perkataan tersebut dapat menyelamatkan kedua belah pihak
sekaligus; orang yang menawari dan orang yang ditawari. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا
دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
“Jika salah satu dari kalian diundang makan
padahal tengah berpuasa, hendaklah katakan “saya berpuasa.” (HR. Imam Muslim)
Imam Izzuddin memandang perkataan “anâ
shâ’imun” sebagai bentuk “i’tidzâr”, yaitu permohonan maaf dengan
mengemukakan alasan tertentu. Tujuannya untuk menjaga perasaan orang yang
mengundang (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20).
Jika orang yang diundang diam saja (tidak mengiyakan dan menolak), atau tidak
hadir tanpa memberi alasan, atau langsung menolak tanpa mengemukakan alasannya,
bagaimana perasaan orang yang mengundangnya itu. Dalam hal ini, Rasulullah SAW
seakan-akan hendak mengajarkan, “jangan jadikan ibadahmu menjadi sebab sakitnya
perasaan saudaramu.”
Selain itu, Imam Izzuddin al-Sulami juga
membolehkan solusi lain jika takut terjadi riya, “fain khâfar riyâ’ warra bi
‘udzrin âkhar—jika takut terjadi riya, maka sembunyikan dengan mencari
alasan lainnya.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum,
hlm 20). Tentunya dengan cara tidak berbohong.
(3) Berdoa ketika Berbuka
Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami
memberikan tiga alternatif doa Rasulullah bagi orang yang hendak berbuka puasa
(Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 20).
Berikut tiga doa pilihan beliau:
ذَهَبَ
الظّـَمَأُ وَابْتَلّـَتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga, basahlah kerongkongan,
semoga ada pahala yang ditetapkan jika Allah menghendaki.” (HR. Imam Abu Dawud
dan Imam al-Nasai)
اللهمَّ
لكَ صُمْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ
“Untukmulah aku berpuasa, dan atas rizkimu
aku berbuka.” (HR. Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Ibnu Abi Syaibah, Imam Abu
Dawud dan Imam al-Baihaqi)
الحَمْدُ
للهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
“Segala puji milik Allah yang menolongku maka
aku dapat berpuasa dan memberiku rizki maka aku bisa berbuka.” (HR. Imam Sunni
dan Imam al-Baihaqi)
Berdoa itu sangat penting, karena bisa
menyegarkan kembali kesadaran kita sebagai makhluk yang tidak berdaya apa-apa.
Doa adalah bukti dari kemakhlukan kita. Dengan meminta, kita sedang
mengikrarkan ketidakberdayaan kita kepadaNya. Doa juga berfungsi untuk
memastikan pahala puasa kita, karena selama berpuasa kita pasti pernah berbuat
salah, paling tidak menggerutu atau tidak senang terhadap sesuatu. Dengan
berdoa (doa pertama), kita memohon agar Allah menerima amal kita dan
membalasnya dengan pahala.
(4) Mengawali Buka dengan Makanan Tertentu
Imam Izzuddin al-Sulami membuat daftar urut
makanan yang paling baik untuk berbuka. Beliau menyarankan untuk berbuka dengan
memakan “ruthab” (kurma matang basah), atau “tamr” (kurma matang kering), jika
tidak ada awalilah buka dengan air (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid
al-Shaum, hlm 21). Daftar urut ini beliau ambil dari kebiasaan Nabi
Muhammad SAW. Dalam satu riwayat dikatakan:
كَانَ
يَفْطرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّي علي رُطَبَات, فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَتَمرَات, فإِنْ
لَمْ يَكُنْ حسا حُسْوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Nabi SAW berbuka dengan berberapa butir
kurma basah sebelum shalat, jika tidak ada maka berbuka dengan kurma kering,
dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Imam Ahmad,
Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi)
Dalam riwayat lain dikatakan:
إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ عَلي التَّمْرِ فَإِنْ لَمْ يَجْدْ فَعلي
الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ
“Jika salah satu dari kalian berpuasa,
berbukalah dengan kurma kering, jika tidak menemukannya, berbukalah dengan air,
sesungguhnya air itu mensucikan.” (HR. Imam Abu Dawud, Imam al-Nasa’i, dan Imam
Ibnu Majah)
Ada beberapa tanaman dan buah-buahan yang
tidak bisa tumbuh di semua tempat, termasuk kurma. Tidak semua orang dapat
menyediakan kurma di saat berbuka dan sahur. Inilah menariknya, karena
Rasulullah menjadikan air sebagai standar akhirnya. Air ada di mana-mana,
sekedar volumenya saja yang berbeda-beda. Karena air adalah sumber kehidupan,
dan manusia tidak bisa hidup tanpa air.
Di samping itu, Rasulullah memberikan
penjelasakan bahwa “air” itu menyucikan (thahûrun) dan menggunakan kata,
“fa in lam yakun—jika tidak ada” dan “fa in lam yazid—jika tidak
menemukannya.” Ini berarti bahwa berbuka dengan makanan dan minuman apapun
selama halal dan suci bisa juga termasuk dalam kategori sunnah. Karena itu
tadi, selain tidak semua tempat dapat ditumbuhi kurma, ada juga faktor
kemampuan ekonomi dalam menyediakan makanan.
(5) Ta’jîl al-Fithr (Menyegerakan Berbuka)
Dasar dari memasukkan “ta’jîl al-fithr” dalam
adab-adab berpuasa adalah hadis qudsi yang mengatakan:
قَالَ
الله عزّ وَجلّ: أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
“Hambaku yang paling kucintai adalah yang
paling menyegerakan berbuka.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi)
Menyegerakan berbuka sangat dianjurkan
(sunnah) untuk orang yang berpuasa. Setelah setengah hari memenuhi hak ruhani
(makanan spiritual) dengan berpuasa, maka menyegerakan berbuka sebagai
pemenuhan hak jasmani (tubuh) merupakan ibadah yang disunnahkan. Menunda
pemenuhan hak terhadap sesuatu adalah hutang. Orang yang menunda pembayaran hak
meskipun dia mampu telah berbuat aniaya terhadap tubuhnya sendiri.
Imam Izzuddin al-Sulami bercerita bahwa ada
ulama zaman dulu yang makan di pasar (berbuka), beberapa orang bertanya kenapa
tidak makan di rumah saja. Ulama itu menjawab dengan hadis (HR. Imam Bukhari):
“mathl al-ghinâ dhulmun—penundaan pembayaran hutang oleh orang yang kaya/mampu
adalah kezaliman.” (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid
al-Shaum, hlm 23). Artinya, menunda-nunda berbuka yang dipandang sebagai
utang jasmani ketika dia mampu adalah kezaliman.
(6) Ta’khîr al-Sahûr (Mengakhirkan
Sahur)
Salah satu riwayat dari ‘Amr bin Maimun
rahimahu Allah mengatakan:
كان
أصحب مُحَمَّدٍ صلي الله عليه وسلم أَعجل النَّاس إِفْطارًا وَأَبْطأهم سَحورًا
“Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah orang
yang paling menyegerakan buka puasa dan yang paling mengakhirkan sahur.” (HR.
Imam Baihaqi dan Imam al-Thabrani)
Imam Izzuddin berpendapat bahwa mengakhirkan
sahur dapat memperkuat puasa (innamâ akhkharas sahûr li yutaqawwa bihi ‘alâs
shaum) dan waktu sebelum sahur bisa digunakan untuk memperbanyak ibadah (fatuq’idahu
‘an katsîr minat thâ’ât) (Syekh Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid
al-Shaum, hlm 22). Selain itu, mengakhirkan sahur dapat mengamankan
kewajiban lainnya, yaitu shalat shubuh. Tidak sedikit orang yang sahur jauh
sebelum waktunya memilih tidur kembali dan melewatkan shalat shubuh. Semoga
kita tidak ya. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar