Asa Iran
Melawan Corona di Tengah Embargo
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Apa yang
dihadapi Iran saat wabah corona ini berlipat-lipat dari apa yang dihadapi
negara lain. Bayangkan, lebih dari 45.000 warganya positif corona, dan lebih
dari 3.000 orang meninggal dunia, Iran harus menghadapi musibah ini di tengah
embargo Amerika Serikat yang sudah mencekik ekonomi dalam 41 tahun terakhir.
Meskipun
demikian, Iran tidak mau menyerah. Iran berusaha bangkit dari problem yang
tidak mudah ini. Beberapa negara sudah berusaha mendesak AS agar mencabut
embargo, seperti Inggris, Pakistan, China, dan Rusia tetapi sepertinya AS tidak
mempunyai hati nurani. Hati AS tertutup, bahkan membusuk.
Di tengah
krisis kemanusiaan, sejatinya AS dapat membuktikan dirinya secara
sungguh-sungguh untuk menjadi penjaga dan contoh tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan secara global. Tapi nyatanya, AS tidak terketuk hati nuraniya
sedikit pun untuk mencabut embargo terhadap Iran. Padahal beberapa anggota
Senat AS, seperti Bernie Sanders dan Ilhan Omar sudah mendesak Presiden Donald
Trump agar mencabut embargo di tengah merebaknya wabah corona.
Alih-alih
mendengarkan suara kebenaran dari berbagai dunia dan para senator, Mike Pompeo
justru berdalih bahwa embargo AS tidak termasuk di dalamnya suplai
barang-barang sektor kesehatan.
AS
seolah-olah menutup mata bahwa upaya Iran menghadapi wabah corona membutuhkan
sumber daya ekonomi yang besar. Tanpa merebaknya wabah corona saja, Iran harus
memutar otak dalam mengelola ekonomi dalam negeri. Apalagi di tengah wabah
corona yang membutuhkan insentif lebih besar untuk menyembuhkan pasien dan
memberikan perlindungan ekonomi terhadap warga.
Dampaknya,
Iran tidak bisa memberlakukan karantina wilayah secara ketat, sebagaimana
negara-negara lain. Sebab mereka tidak bisa memberikan jaminan perlindungan
ekonomi kepada warga secara maksimal. Yang bisa dilakukan Iran saat ini adalah
berusaha sekuat tenaga untuk memberikan penanganan semaksimal mungkin terhadap
warga yang positif corona.
Di tengah
kondisi krisis seperti itu, Iran terus berupaya memberikan pelayanan yang
terbaik bagi warganya. Ilmuwan Iran sebenarnya ditengarai telah menemukan obat
yang dapat menyembuhkan corona, yang dikonfirmasi oleh para ilmuwan China.
Tetapi sekali lagi, embargo AS telah menghambat Iran untuk mendapatkan suplai
bahan-bahan kesehatan.
Hingga
saat ini, Iran merupakan salah satu negara yang terbanyak berhasil menyembuhkan
warga positif corona. Ada sekitar 11.000 warga yang dinyatakan sembuh dengan
prosentase sekitar 30 persen. Artinya, Iran sebenarnya mempunyai kemampuan
untuk menghadapi wabah corona. Tetapi embargo yang diberlakukan AS kepada Iran
dalam beberapa dekade terakhir telah menyebabkan situasi semakin buruk.
Iran
telah mengajukan pinjaman sebesar 5 miliar dolar AS untuk pertama kalinya
kepada IMF dalam rangka memaksimalkan penanganan wabah corona dan dampaknya
secara ekonomi. Iran merupakan negara yang selama ini tidak punya utang luar
negeri. Mereka bisa membangun negaranya melalui skema investasi dari Eropa,
China, dan Rusia, serta pengetatan ekonomi di berbagai sektor kehidupan.
Wabah
corona menyebabkan Iran harus mengambil langkah yang tidak biasa itu. Tetapi
sekali lagi, langkah Iran untuk mendapatkan pinjaman dari IMF sepertinya juga
akan kandas. Karena AS tidak akan memberikan persetujuan pada IMF untuk
memenuhi permintaan negara para mullah itu. AS akan terus menekan Iran dengan
berbagai cara dan akal bulusnya.
Maka dari
itu, Javad Zarif dalam akun Twitter-nya mengkritik keras langkah kejam AS
terhadap Iran. Ia menulis, wabah mestinya menyadarkan dunia internasional
perihal pentingnya kerja sama, solidaritas, dan pengharapan melalui doa. Tapi
sayang, kita melihat sebuah pemandangan yang sangat tidak elok, di mana dendam,
kebencian, dan kedengkian dieksploitasi secara politis, sebagaimana
dipertontonkan oleh Trump dan sekutunya.
Zarif
memandang sikap AS yang bebal itu terkait dengan pemilihan presiden yang akan
berlangsung akhir tahun ini. Trump memilih untuk tidak mencabut embargo
terhadap Iran karena ia khawatir kehilangan dukungan politik dari para
pendukungnya, kubu konservatif yang mempunyai pandangan ekstrem terhadap Iran.
Padahal AS
saat ini juga sedang menghadapi krisis penanganan korban wabah corona yang
sudah mencapai 213.000 warga positif, dan lebih dari 4.000 warga meninggal
dunia. AS mestinya mempunyai empati yang sama terhadap Iran, karena faktanya
mereka membuka uluran bantuan dari Rusia dan China. Bahkan, apa yang dihadapi
oleh AS saat ini tidak kalah rumit dari apa yang dihadapi Iran. Dua minggu yang
akan datang bisa menjadi situasi yang pelik bagi AS.
Tapi
sayang beribu sayang, itulah AS yang songong dan pongah. Mereka tidak mau
menggunakan hati nurani untuk melapangkan jalan kemanusiaan bagi Iran dengan
mencabut embargo. Dan dunia pun tahu, bahwa apa yang terjadi pada Iran akan
menjadi rapor merah bagi AS dalam diplomasi mereka di tengah krisis
kemanusiaan.
Sikap AS
yang bebal itu akan menjadi catatan sejarah bahwa AS pada hakikatnya ingin
menjadi penguasa dunia dengan cara menjerumuskan negara lain, khususnya Iran.
Bahkan di tengah krisis yang membutuhkan solidaritas, persaudaraan, dan kerja
sama, mereka justru mengedepankan dendam dan kebencian.
Dan Iran
tidak menyerah. Mereka terus menghadapi wabah ini dengan memberikan pelayanan
terbaiknya bagi para korban dengan membangun rumah sakit yang layak, membuat
masker gratis bagi jutaan warganya, membangun spirit kemartiran dan
kebersamaan, serta bersama-sama melawan hoaks yang bertebaran di tengah-tengah
masyarakat.
Wabah ini
mungkin saja berlangsung lama, dalam satu dan dua tahun yang akan datang, sebagaimana
dinyatakan oleh Presiden Hasan Rouhani. Tetapi api revolusi yang mendarah
daging dalam hati warga Iran pada akhirnya yang akan memenangkan perlawanan
terhadap wabah mematikan ini.
Di
samping itu, keyakinan warga Iran terhadap Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
yang akan menyelamatkan mereka dari wabah yang mematikan ini. Li khamsatun uthfi biha harral wabail
hathimah, al-musthafa wal murtadha wa ibnahuma wa Fathimah. []
DETIK, 02
April 2020
Zuhairi
Misrawi
| Cendekiawan
Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East
Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar