Selasa, 14 April 2020

Zuhairi: Asa Iran Melawan Corona di Tengah Embargo


Asa Iran Melawan Corona di Tengah Embargo
Oleh: Zuhairi Misrawi

Apa yang dihadapi Iran saat wabah corona ini berlipat-lipat dari apa yang dihadapi negara lain. Bayangkan, lebih dari 45.000 warganya positif corona, dan lebih dari 3.000 orang meninggal dunia, Iran harus menghadapi musibah ini di tengah embargo Amerika Serikat yang sudah mencekik ekonomi dalam 41 tahun terakhir.

Meskipun demikian, Iran tidak mau menyerah. Iran berusaha bangkit dari problem yang tidak mudah ini. Beberapa negara sudah berusaha mendesak AS agar mencabut embargo, seperti Inggris, Pakistan, China, dan Rusia tetapi sepertinya AS tidak mempunyai hati nurani. Hati AS tertutup, bahkan membusuk.

Di tengah krisis kemanusiaan, sejatinya AS dapat membuktikan dirinya secara sungguh-sungguh untuk menjadi penjaga dan contoh tegaknya nilai-nilai kemanusiaan secara global. Tapi nyatanya, AS tidak terketuk hati nuraniya sedikit pun untuk mencabut embargo terhadap Iran. Padahal beberapa anggota Senat AS, seperti Bernie Sanders dan Ilhan Omar sudah mendesak Presiden Donald Trump agar mencabut embargo di tengah merebaknya wabah corona.

Alih-alih mendengarkan suara kebenaran dari berbagai dunia dan para senator, Mike Pompeo justru berdalih bahwa embargo AS tidak termasuk di dalamnya suplai barang-barang sektor kesehatan.

AS seolah-olah menutup mata bahwa upaya Iran menghadapi wabah corona membutuhkan sumber daya ekonomi yang besar. Tanpa merebaknya wabah corona saja, Iran harus memutar otak dalam mengelola ekonomi dalam negeri. Apalagi di tengah wabah corona yang membutuhkan insentif lebih besar untuk menyembuhkan pasien dan memberikan perlindungan ekonomi terhadap warga.

Dampaknya, Iran tidak bisa memberlakukan karantina wilayah secara ketat, sebagaimana negara-negara lain. Sebab mereka tidak bisa memberikan jaminan perlindungan ekonomi kepada warga secara maksimal. Yang bisa dilakukan Iran saat ini adalah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan penanganan semaksimal mungkin terhadap warga yang positif corona.

Di tengah kondisi krisis seperti itu, Iran terus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Ilmuwan Iran sebenarnya ditengarai telah menemukan obat yang dapat menyembuhkan corona, yang dikonfirmasi oleh para ilmuwan China. Tetapi sekali lagi, embargo AS telah menghambat Iran untuk mendapatkan suplai bahan-bahan kesehatan.

Hingga saat ini, Iran merupakan salah satu negara yang terbanyak berhasil menyembuhkan warga positif corona. Ada sekitar 11.000 warga yang dinyatakan sembuh dengan prosentase sekitar 30 persen. Artinya, Iran sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menghadapi wabah corona. Tetapi embargo yang diberlakukan AS kepada Iran dalam beberapa dekade terakhir telah menyebabkan situasi semakin buruk.

Iran telah mengajukan pinjaman sebesar 5 miliar dolar AS untuk pertama kalinya kepada IMF dalam rangka memaksimalkan penanganan wabah corona dan dampaknya secara ekonomi. Iran merupakan negara yang selama ini tidak punya utang luar negeri. Mereka bisa membangun negaranya melalui skema investasi dari Eropa, China, dan Rusia, serta pengetatan ekonomi di berbagai sektor kehidupan.

Wabah corona menyebabkan Iran harus mengambil langkah yang tidak biasa itu. Tetapi sekali lagi, langkah Iran untuk mendapatkan pinjaman dari IMF sepertinya juga akan kandas. Karena AS tidak akan memberikan persetujuan pada IMF untuk memenuhi permintaan negara para mullah itu. AS akan terus menekan Iran dengan berbagai cara dan akal bulusnya.

Maka dari itu, Javad Zarif dalam akun Twitter-nya mengkritik keras langkah kejam AS terhadap Iran. Ia menulis, wabah mestinya menyadarkan dunia internasional perihal pentingnya kerja sama, solidaritas, dan pengharapan melalui doa. Tapi sayang, kita melihat sebuah pemandangan yang sangat tidak elok, di mana dendam, kebencian, dan kedengkian dieksploitasi secara politis, sebagaimana dipertontonkan oleh Trump dan sekutunya.

Zarif memandang sikap AS yang bebal itu terkait dengan pemilihan presiden yang akan berlangsung akhir tahun ini. Trump memilih untuk tidak mencabut embargo terhadap Iran karena ia khawatir kehilangan dukungan politik dari para pendukungnya, kubu konservatif yang mempunyai pandangan ekstrem terhadap Iran.

Padahal AS saat ini juga sedang menghadapi krisis penanganan korban wabah corona yang sudah mencapai 213.000 warga positif, dan lebih dari 4.000 warga meninggal dunia. AS mestinya mempunyai empati yang sama terhadap Iran, karena faktanya mereka membuka uluran bantuan dari Rusia dan China. Bahkan, apa yang dihadapi oleh AS saat ini tidak kalah rumit dari apa yang dihadapi Iran. Dua minggu yang akan datang bisa menjadi situasi yang pelik bagi AS.

Tapi sayang beribu sayang, itulah AS yang songong dan pongah. Mereka tidak mau menggunakan hati nurani untuk melapangkan jalan kemanusiaan bagi Iran dengan mencabut embargo. Dan dunia pun tahu, bahwa apa yang terjadi pada Iran akan menjadi rapor merah bagi AS dalam diplomasi mereka di tengah krisis kemanusiaan.

Sikap AS yang bebal itu akan menjadi catatan sejarah bahwa AS pada hakikatnya ingin menjadi penguasa dunia dengan cara menjerumuskan negara lain, khususnya Iran. Bahkan di tengah krisis yang membutuhkan solidaritas, persaudaraan, dan kerja sama, mereka justru mengedepankan dendam dan kebencian.

Dan Iran tidak menyerah. Mereka terus menghadapi wabah ini dengan memberikan pelayanan terbaiknya bagi para korban dengan membangun rumah sakit yang layak, membuat masker gratis bagi jutaan warganya, membangun spirit kemartiran dan kebersamaan, serta bersama-sama melawan hoaks yang bertebaran di tengah-tengah masyarakat.

Wabah ini mungkin saja berlangsung lama, dalam satu dan dua tahun yang akan datang, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Hasan Rouhani. Tetapi api revolusi yang mendarah daging dalam hati warga Iran pada akhirnya yang akan memenangkan perlawanan terhadap wabah mematikan ini.

Di samping itu, keyakinan warga Iran terhadap Nabi Muhammad SAW dan keluarganya yang akan menyelamatkan mereka dari wabah yang mematikan ini. Li khamsatun uthfi biha harral wabail hathimah, al-musthafa wal murtadha wa ibnahuma wa Fathimah. []

DETIK, 02 April 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar