Plafon Belanja Penduduk
Terjangkit Covid-19 dalam Kajian Fiqih
Di antara permasalahan fiqih yang mengemuka seiring pandemi Sars-Cov-2 atau Covid-19 adalah urusan harta dan pembelajaannya. Semisal apakah orang di daerah pandemi Covid-19 sah membelanjakan hartanya secara gratis (menyumbangkan) melebihi sepertiga? Atau ia bebas menyumbangkannya meski melebihi sepertiga?
Dalam kasus yang hampir mirip, permasalahan
seperti ini pernah terjadi dan dibahas oleh para ahli fiqih.
Menurut ulama Syafi'iyah, orang yang tinggal
di daerah wabah tha'un meskipun sehat dan tidak terjangkit hukumnya sama dengan
orang yang sakit dan dikhawatirkan meninggal. Sebab wabah Tha'un merupakan
penyakit ganas yang mengancam keselamatan jiwa.
Oleh karenanya di masa terjadinya wabah
tha'un seluruh penduduknya baik yang sehat apalagi yang sakit, tidak sah
(nufudz) menyumbangkan hartanya secara cuma-cuma melebihi dari kadar
sepertiganya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
memfatwakan:
ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﻮﻥ
ﻣﻦ ﺍﻟﺄﻣﺮﺍﺽ ﺍﻟﻤﺨﻮﻓﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺑﻞ ﺃﻫﻞ ﻣﺤﻠﺘﻪ
ﻛﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ﻣﺮﺿﺎ ﻣﺨﻮﻓﺎ ﻓﻠﺎ
ﻳﻨﻔﺬ ﺗﺒﺮﻋﻬﻢ ﻓﻲ ﺯﻣﻨﻪ ﺇﻟﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻠﺚ, ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺼﺒﻪ.
Artinya, “Tha'un termasuk penyakit yang
mengancam keselamatan jiwa menurut kalangan kita ulama Syafi'iyah. Bahkan semua
penduduk daerah terjangkit dihukumi dengan hukum orang sakit yang sudah
dikhawatirkan kematiannya. Karenanya sumbangan harta mereka pada masa wabah
tha'un hukumnya tidak sah kecuali dari sepertiga hartanya, meskipun penyumbang
termasuk orang sehat yang tidak terjangkit." (Ibnu Hajar Al-Haitami,
Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun], juz IV,
halaman 28).
Demikian pula orang yang pergi dari daerah
wabah tha'un ke daerah lain yang tidak terjangkit, maka ia tetap dihukumi
dengan hukum orang daerah asal. Sebab mungkin saja wabah thaun telah
menjangkitinya.
Imam Az-Zarkasyi menegaskan:
الثاني
الواردون من بلد الطاعون إلى بلد ليس بها، والظاهر أن حكمهم حكم البلد الذي
انتقلوا عنه. لأنهم بصدد أن يقع بهم ذلك لما قد علق بأجسادهم منه كما شاهدنا ذلك
كثيرا. فيحسب تبرعه من الثلث إذا حصل الموت بذلك الداء بعد التبرع.
Artinya "Permasalah kedua, orang-orang
yang datang dari daerah terjangkit wabah tha’un ke daerah lain yang tidak
terjangkit, jelasnya hukum mereka sama dengan hukum daerah asal yang
ditinggalkannya. Sebab mereka bisa jadi sedang terjangkit wabah thaun itu,
karena penyebabnya sudah terbawa (menempel) pada tubuh mereka, sebagaimana
sering sekali kita saksikan. Sebab itu tabarru' atau sumbangan sukarela harta
mereka diitung (tidak boleh lebih) dari sepertiganya, ketika ia kemudian mati
karena wabah tersebut setelah mengeluarkan sumbangan," (Al-Haitami,
Al-Fatawa, juz IV, halaman 14).
Nah, sekarang tinggal dinilai, apakah pandemi
Sars-Cov-2 dapat diidentikan dengan wabah tha'un seperti yang disinggung oleh
Imam Az-Zarkasyi dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami atau tidak.
Melihat penyebarannya yang sangat cepat,
luas, dan mengakibatkan angka mortalitas atau kematian yang sangat tinggi,
layak kiranya bila pandemi Sars-Cov-2 diidentikkan dengan wabah tha’un sehingga
hukum pembelanjaan harta secara cuma-cuma orang daerah terjangkit tidak boleh
lebih dari sepertiga dari total hartanya.
Beberapa bahtsul masail di lingkungan
Nahdlatul Ulama tentang Covid-19 juga mengidentikkannya dengan kasus wabah
tha'un yang ada dalam khazanah literatur fiqih Islam. Wallahu a'lam. []
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga
Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar