Anjuran Mengikuti
Pemerintah soal Awal Puasa dan Hari Raya
Perbedaan waktu memulai dalam melaksanakan
puasa dan hari raya sudah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia. Perbedaan
metode dan standar penetapan bulan hijriyah menjadi faktor utama dalam perbedaan
tersebut. Bagaimanapun dalam tradisi kenabian belum pernah ada perbedaan.
Begitu juga pada masa sahabat, kecuali perbedaan yang timbul karena perbedaan
daerah lantaran perbedaan visibilitas hial. Belum pernah terjadi perbedaan
memulai puasa atau hari raya dalam satu daerah pada masa Nabi dan sahabat.
Persolan ini juga menjadi perhatian seorang
ahli fiqih terkenal, yaitu Ahmad Ibn Rajab al-Hanbali. Dikisahkan bahwa pada
tahun 784 H terjadi perbedaan terkait penetapan awal bulan Dzulhijjah. Ketika
beberapa orang saksi mengaku melihat hilal, pemerintah (hakim) tidak
menerima kesaksian tersebut. Maka terjadilah kekacaun dalam masyarakat. Maka
Ibn Rajab berinisiatif menulis sebuah tulisan kecil berjudul Ahkam Ikhtilaf
fi Ru’yah Hilal Dzilhijjah.
Terkait perbedaan terkait penetapan awal
bulan hijriyah, menurut Ibn Rajab, persoalan tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi dua model kasus.
Kasus pertama, hilal dilihat oleh satu
orang saja atau orang tersebut tidak dapat diterima kesaksiannya. Para ulama berpendapat
hukum berpuasa pada hari meragukan (yawm al-syakk) di akhir Sya’ban hukumnya
makruh. Sedangkan puasa pada hari ketiga puluh bulan Ramadan hukumnya wajib,
karena hilal Syawal meragukan.
Kasus kedua, hilal terlihat dengan meyakinkan
tetapi pemerintah (hakim) tidak menerima kesaksian tersebut karena
adanya udzur atau karena kelemahan pemerintah. Terdapat perbedaan pendapat.
Pertama, tidak berhari raya kecuali dengan orang banyak (pemerintah). Ini
adalah pendapat ‘Atha’, al-Tsauri, al-Layts, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan
juga ada riwayat dari Umar bin al-Khattab radliyallahu ‘anh. Kedua,berhari raya
sendiri bagi orang yang melihat hilal tersebut. Ini adalah pendapat al-Hasan
bin Shalih, al-Syafi’i, Abu Tsaur, sebagian ulama Hanabilah, dan salah satu
riwayat dari pendapat Imam Malik.
Ibnu Rajab al-Hanbali selanjutnya memilih
pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh berbeda dengan imam dalam hal puasa
dan hari raya.
Ketika ada yang membantah dengan berargumen
dengan hadits yang mana Rasulullah ﷺ memerintahkan para
sahabat untuk shalat sendiri ketika imam shalat dengan sengaja mengakhirkan
waktu, walaupun mereka tetap dianjurkan shalat lagi beserta imam sebagai amalan
sunnah. Dengan hadits ini orang-orang berpendapat bahwa jika imam melanggar sesuatu
yang benar maka tidak boleh diikuti. Kalaupun diikuti hanya untuk menyelamatkan
diri dari bahayanya (taqiyyah), sebagaimana Rasulullah memerintahkan
untuk shalat lagi bersama imam meskipun diniati sebagai shalat sunnah.
Terkait penyataan tersebut Ibnu Rajab
menjawab bahwa waktu shalat bersifat jelas karena itu jelas terlarang mengubah
waktu shalat karena imam. Sedangkan awal bulan hijriyah bersifat kurang pasti
karena bergantung pada kesaksian seseorang. Hal yang meragukan ini bersifat ijtihadi
sebab kesaksian seseorang bisa saja salah. Maka hakim (pemerintah)
ketika menerima atau menolak kesaksian saksi merupakan suatu bentuk ijtihad hakim.
Dalam konteks ini tidak boleh bagi seseorang menampakkan perbedaan dengan hakim.
Pendapat Ibnu Rajab ini dikuatkan dengan
beberapa hadits.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ
تُضَحُّونَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Hari
berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari di mana kalian semua berpuasa.
Hari Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari di mana kalian semua
melakukan Hari Raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari di mana kalian semua
merayakan Idul Adha.” (HR.al-Tirmidzi)
Terkait hadits tersebut imam al-Tirmidzi
berkomentar:
وَفَسَّرَ
بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ
الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa
puasa dan berhari raya dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia.” (Sunan
al-Tirmidzi)
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا , قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ الإِمَامُ ,
وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي الإِمَامُ , وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الإِمَامُ
Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: Arafah
adalah hari di mana pemimpin melaksanakan arafah, qurban dilakukan pada saat pemimpin
berkurban, Idul Fitri adalah pada saat pemimpin berhari raya Idul Fitri. (HR
al-Bayhaqi).
Selanjutnya Ibnu Rajab mengakhiri tulisannya
dengan mengutip sebuah hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ
وَعَلَيْهِمْ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda, “Mereka
(para imam memimpin) shalat untuk kalian. Jika mereka benar maka (pahala) untuk
kalian, dan jika mereka salah maka (pahala) untuk kalian dan (dosa) atas
mereka. (HR. al-Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa bagaimanapun
keadaan imam maka umat Islam harus mengikuti imam. Dalam konteks Indonesia,
imam (pemerintah) tampak dalam sosok Menteri Agama yang dikelilingi oleh para
ahli di berbagai bidang terutama di bidang fiqih dan astronomi. Sehingga
kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Agama dapat diminimalisasi. Untuk itu
seharusnya umat Islam di Indonesia mengikuti menteri agama sebagai perwujudan ulil
amr yang harus ditaati. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى
ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kalian.” (QS
an-Nisa’:59) []
Ahmad Musonnif, Pengurus Lembaga Falakiyah
PCNU Tulungagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar