Selasa, 14 April 2020

(Ngaji of the Day) Anjuran Mengikuti Pemerintah soal Awal Puasa dan Hari Raya


Anjuran Mengikuti Pemerintah soal Awal Puasa dan Hari Raya

Perbedaan waktu memulai dalam melaksanakan puasa dan hari raya sudah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia. Perbedaan metode dan standar penetapan bulan hijriyah menjadi faktor utama dalam perbedaan tersebut. Bagaimanapun dalam tradisi kenabian belum pernah ada perbedaan. Begitu juga pada masa sahabat, kecuali perbedaan yang timbul karena perbedaan daerah lantaran perbedaan visibilitas hial. Belum pernah terjadi perbedaan memulai puasa atau hari raya dalam satu daerah pada masa Nabi dan sahabat.

Persolan ini juga menjadi perhatian seorang ahli fiqih terkenal, yaitu Ahmad Ibn Rajab al-Hanbali. Dikisahkan bahwa pada tahun 784 H terjadi perbedaan terkait penetapan awal bulan Dzulhijjah. Ketika beberapa orang saksi mengaku melihat hilal, pemerintah (hakim) tidak menerima kesaksian tersebut. Maka terjadilah kekacaun dalam masyarakat. Maka Ibn Rajab berinisiatif menulis sebuah tulisan kecil berjudul Ahkam Ikhtilaf fi Ru’yah Hilal Dzilhijjah.

Terkait perbedaan terkait penetapan awal bulan hijriyah, menurut Ibn Rajab, persoalan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua model kasus. 

Kasus pertama,  hilal dilihat oleh satu orang saja atau orang tersebut tidak dapat diterima kesaksiannya. Para ulama berpendapat hukum berpuasa pada hari meragukan (yawm al-syakk) di akhir Sya’ban hukumnya makruh. Sedangkan puasa pada hari ketiga puluh bulan Ramadan hukumnya wajib, karena hilal Syawal meragukan. 

Kasus kedua, hilal terlihat dengan meyakinkan tetapi pemerintah (hakim) tidak menerima kesaksian tersebut karena adanya udzur atau karena kelemahan pemerintah. Terdapat perbedaan pendapat. Pertama, tidak berhari raya kecuali dengan orang banyak (pemerintah). Ini adalah pendapat ‘Atha’, al-Tsauri, al-Layts, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan juga ada riwayat dari Umar bin al-Khattab radliyallahu ‘anh. Kedua,berhari raya sendiri bagi orang yang melihat hilal tersebut. Ini adalah pendapat al-Hasan bin Shalih, al-Syafi’i, Abu Tsaur, sebagian ulama Hanabilah, dan salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik.  

Ibnu Rajab al-Hanbali selanjutnya memilih pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh berbeda dengan imam dalam hal puasa dan hari raya. 

Ketika ada yang membantah dengan berargumen dengan hadits yang mana Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk shalat sendiri ketika imam shalat dengan sengaja mengakhirkan waktu, walaupun mereka tetap dianjurkan shalat lagi beserta imam sebagai amalan sunnah. Dengan hadits ini orang-orang berpendapat bahwa jika imam melanggar sesuatu yang benar maka tidak boleh diikuti. Kalaupun diikuti hanya untuk menyelamatkan diri dari bahayanya (taqiyyah), sebagaimana Rasulullah memerintahkan untuk shalat lagi bersama imam meskipun diniati sebagai shalat sunnah. 

Terkait penyataan tersebut Ibnu Rajab menjawab bahwa waktu shalat bersifat jelas karena itu jelas terlarang mengubah waktu shalat karena imam. Sedangkan awal bulan hijriyah bersifat kurang pasti karena bergantung pada kesaksian seseorang. Hal yang meragukan ini bersifat ijtihadi sebab kesaksian seseorang bisa saja salah. Maka hakim (pemerintah) ketika menerima atau menolak kesaksian saksi merupakan suatu bentuk ijtihad hakim. Dalam konteks ini tidak boleh bagi seseorang menampakkan perbedaan dengan hakim

Pendapat Ibnu Rajab ini dikuatkan dengan beberapa hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari di mana kalian semua berpuasa. Hari Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari di mana kalian semua melakukan Hari Raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari di mana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR.al-Tirmidzi)

Terkait hadits tersebut imam al-Tirmidzi berkomentar:

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa puasa dan berhari raya dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia.” (Sunan al-Tirmidzi) 

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا , قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ الإِمَامُ , وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي الإِمَامُ , وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الإِمَامُ

Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Rasulullah bersabda: Arafah adalah hari di mana pemimpin melaksanakan arafah, qurban dilakukan pada saat pemimpin berkurban, Idul Fitri adalah pada saat pemimpin berhari raya Idul Fitri. (HR al-Bayhaqi). 

Selanjutnya Ibnu Rajab mengakhiri tulisannya dengan mengutip sebuah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Mereka (para imam memimpin) shalat untuk kalian. Jika mereka benar maka (pahala) untuk kalian, dan jika mereka salah maka (pahala) untuk kalian dan (dosa) atas mereka. (HR. al-Bukhari) 

Hadits ini menunjukkan bahwa bagaimanapun keadaan imam maka umat Islam harus mengikuti imam. Dalam konteks Indonesia, imam (pemerintah) tampak dalam sosok Menteri Agama yang dikelilingi oleh para ahli di berbagai bidang terutama di bidang fiqih dan astronomi. Sehingga kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Agama dapat diminimalisasi. Untuk itu seharusnya umat Islam di Indonesia mengikuti menteri agama sebagai perwujudan ulil amr yang harus ditaati. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ    

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kalian.” (QS an-Nisa’:59) []

Ahmad Musonnif, Pengurus Lembaga Falakiyah PCNU Tulungagung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar