Belajar Qanaah dalam Menu Makan di Bulan
Puasa
Di hari ketiga bulan puasa, suasana sahur di
rumahku berbeda dari dua hari sebelumnya. Ada sedikit kerewelan. Hari pertama
kami makan sahur dengan martabak. Hari kedua dengan oseng brokoli. Hari ini
dengan sayur asem. Tapi si bungsuku tak mau makan sahur dengan sayur asem. Ia
minta dibuatkan telor ceplok dan mie goreng.
Ya, kami makan sahur hari ini dengar sayur
asem.
“Sahur kok pakai sayur asem. Anyep lagi,”
kataku penuh keheranan.
“Sayur itu dari tetangga,” jawab
istriku.
“Kapan dia ke sini?
“Ya kemarin menjelang buka,” lanjut istriku.
Istriku memang tidak suka rewel soal menu
makan. Aku mencoba mengikuti agar sama-sama biasa dengan apa yang ada.
Qanaah!
Sambil sedikit cekikikan istriku menikmati
makan sahur dini hari itu. Ternyata ia merasa geli melihat piringku berisi nasi
dan mie goreng yang basah dengan kuah sayur asem. Si bungsu memberiku sedikit
mie goreng yang menjadi haknya. Mungkin ia tidak tega melihatku.
“Ini luar biasa,” kataku sambil tertawa
lebar.
“Matur nuwun Jo... atas menu sahur hari ini,”
lanjutku kepada bojo (sang istri).
***
Itulah ringkasan cerita kegiatan sahur di
keluargaku lima tahun lalu, atau tepatnya pada tanggal 3 Ramadhan 1435 H/1 Juli
2014. Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan harian berjudul “Dari
Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” (2016).
Qanaah adalah salah satu akhlak terpuji.
Sebaliknya sikap tamak dan tak puas dengan apa yang ada merupakan akhlak yang
buruk sebab tidak mencerminkan rasa syukur kepada Allah subhanu wataála.
Apa yang dilakukan istri saya pada saat sahur
di atas terkait sayur asem dari tetangga adalah mengajak untuk sama-sama
belajar berqanaah, apalagi di bulan Puasa yang tentu hikmahnya sangat besar.
Qanaah dalam hal makan memang ada rujukannya, yakni hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sebagai berikut:
وكل
مما يليك
Artinya, “Makanlah dari apa-apa yang ada di
dekamu.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Banyak ulama menjelaskan bahwa hadits
tersebut mengajarkan kepada kita untuk berqanaah. Hadits itu tidak saja
bermakna bahwa kita tidak sebaiknya menginginkan makanan yang berada jauh dari
jangkauan kita, lalu meminta orang lain mengambilkan, tetapi juga bermakna
bahwa kita sebetulnya tidak perlu mencari apa yang tidak ada. Cukuplah
menyantap apa yang sudah tersedia di meja.
Hal seperti itulah yang ingin dicoba istri
saya pada hari itu supaya kami sebagai orang tua memberikan contoh kepada
anak-anak agar terbiasa berqanaah dalam menu makan. Istri saya tentu tidak
salah sebab seperi itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan:
وكن
قنعًا تكن أشكر الناس
Artinya, “Dan jadilah seorang yang qanaah,
niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur.” (HR. Ibnu Majah)
Jadi bagi kami menerima kiriman sayur asem
dari tetangga sebagai sedekah di bulan Ramadhan merupakan sesuatu yang harus
kami syukuri. Bahwa kemudian sayur itu oleh istri saya disajikan untuk makan
sahur yang mungkin kurang pas dari segi waktu, justru itulah relevansinya
dengan belajar berqanaah. Maka di akhir sahur saya mengucapkan terima kasih
kepada istri saya atas ajakannya untuk menjadi orang bersyukur. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar