Kamis, 22 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Ini Cara Al-Iraqi Verifikasi Hadits di Kitab Ihya’ Ulumiddin


MUSTHALAH HADITS
Ini Cara Al-Iraqi Verifikasi Hadits di Kitab Ihya’ Ulumiddin

Kita sering mendengar selentingan orang-orang tertentu bahwa hadits-hadits dalam Kitab Ihya Ulumiddin banyak yang dhaif bahkan maudhu. Selentingan itu tetap terdengar meski Imam Al-Ghazali sendiri pernah menyebutkan bahwa hadits yang ia tulis selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW, baik melalui mimpi maupun terjaga (bertemu dalam keadaan sadar).

Pernyataan Al-Ghazali tersebut tidak bisa dijadikan parameter dalam memastikan kesahihan sebuah hadits. Karena secara prosedur, penelitian otentisitas hadits tidak bisa dilakukan melalui mimpi, atau bertemu langsung dengan orang yang sudah wafat. Ini tidak bisa diteliti kembali.

Melihat kesimpangsiuran hadits dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tersebut, muncullah seorang ulama kelahiran Mahran yang menulis sebuah kitab berjudul Al-Mughnī ‘an Ḥamlil Aṣfār fil Aṣfār yang merupakan kitab takhrij atas hadits-hadits yang ada dalam Ihya’ Ulumiddin.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Inba’il Ghumar bi Abna’il Umar menyebutkan bahwa ulama yang memiliki nama lengkap ‘Abdurrahim bin Al-Husain bin ‘Abdurrahman bin Abi  Bakr  bin  Ibrahim  Al-Kurdi  Ar-Raziyani ini merupakan keturunan  bangsa  ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i. Ia lahir pada tahun 725 H dan wafat pada tahun 806  H (81 Tahun).

Al-Iraqi merupakan pengajar di beberapa madrasah: Darul  Hadits, Al-Kamilah, Az-Zhairiyyah Al-Qadimah, Al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan Al-Fadhilah. Ia juga pernah  tinggal  di  dekat  Al-Haramain  dalam  beberapa waktu. Bahkan ia pernah  menjabat sebagai hakim di Madinah An-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.

Selain Al-Mughni, Al-Iraqi juga menulis beberapa karya dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Karyanya adalah Kitab Al-Marasil, Taqribul Isnad, At-Tabshirah wat Tadzkirah, Al-Alfiyah fi Gharibil Qur'an, At-Tafsir wal Idhah fi Mushthalahil Hadits, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Tatsrib, Syarah At-Tirmidzi, bahkan ia juga pernah membuat syair dan syarh ilmu hadits dari Ibnu Shalah.

Mengenal Kitab Al-Mughni

Imam Ahmad bin Muhammad bin As-Siddiq Al-Ghummari dalam Khuṣūlut Tafrīj bi Ūṣūlit Takhrīj menjelaskan bahwa Al-Mughni merupakan kitab takhrij hadits dari Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazaly (505 H). Selain itu kitab ini merupakan ringkasan dari kitab takhrij “Ihya” sebelumnya yang belum selesai.

Sebelum menulis Al-Mughni, Al-Iraqi terlebih dahulu menulis Kitab Al-Takhrījul Kabīr: Ikhbārul Aḥyā’ bi Akhbāril Iḥyā’ yang sama-sama merupakan takhrij dari kitab Ihya karangan Al-Ghazali. Namun kitab ini tidak sampai rampung. Kitab ini hanya ditulis Al-Iraqi hanya sampai bab haji dalam bab Ihya’.

Setelah menulis At-Takhrījul Kabīr: Ikhbārul Aḥyā’ bi Akhbāril Iḥyā’ yang tidak sampai usai, Al-Iraqi kembali mengarang takhrij Ihya yang lebih ringkas. Kitab ini ia bernama Al-Takhrījul Wasṭ: Al-Kasyful Mubīn fi Takhrīj Ahādīts Iḥyā’ Ulūmiddin. Sebagaimana pendahulunya, kitab ini juga tidak sampai selesai, bahkan ada beberapa hadits yang tawaqquf.

Baru setelah menulis dua kitab yang semuanya tidak sampai selesai, Al-Iraqi menulis kitab yang lebih ringkas dari pada dua kitab pendahulunya. Kitab ini diberi judul Al-Takhrījus Ṣāghīr: Al-Mughnī ‘an Ḥamlil Aṣfār fil Aṣfār. Tidak seperti kedua pendahulunya yang tak sampai selesai, kitab ini berhasil dirampungkan oleh Al-Iraqi. Kitab ini yang akan kita bahas metodenya nanti.

Rancang Bangun (Outline) Kitab Al-Mughni

Kitab ini ditulis menjadi bab per bab dan disesuaikan dengan bab-bab yang ditulis oleh Al-Ghazali dalam Kitab Ihya. Bahkan beserta sub-sub bab yang ditulis oleh Al-Ghazali. Setelah itu dikumpulkan semua hadits yang terdapat dalam bab tersebut beserta nomor juz dan halaman. Semua hadits yang dikumpulkan diberi nomor oleh Al-Iraqi. Baru setelah itu ia menakhrij hadits dengan hanya mencantumkan kitab-kitabnya dan juga justifikasinya.

Mengenai cara yang digunakan oleh Al-Iraqi dalam menulis kitab ini, Ahmad Al-Ghummari memberikan pendapat bahwa saat ini para pembaca terlalu rumit jika membaca sanad yang terlalu panjang sehingga cara yang digunakan oleh Al-Iraqi ini dianggap efektif.

Metode Takhrij Al-Iraqi dalam Kitab Al-Mughni

Dalam menyusun kitab Al-Mughni ini, Al-Iraqi menggunakan metode sebagaimana berikut:

Pertama, hanya menyebutkan ujung hadits, periwayat dari sahabat, mukharrij serta justifikasi (terkadang menyebutkan hadits versi lengkap dalam mukharrijnya). Ia tidak mentakhrij atsar kecuali ada faedah.

Kedua, jika sebuah hadits ditemukan di Shahihain maka ia cukup menisbatkan dan mempercayakan padanya terkait statusnya. Terkadang beberapa mukharrij lain juga sama.

Ketiga, jika hadits tersebut terdapat dalam kitab sittah, dan tidak dinisbatkan lagi dalam kitab lain, berarti hadits tersebut shahih dalam kitabnya sekiranya lafal yang digunakan mukharrij sama atau mendekati lafadz di Ihya.

Keempat, Menjelaskan shahih, hasan, dhaif atau bahkan hadits yang La aṣla lah, (tak ada sumbernya).

Kelima, Ia terkadang mengutip pendapat ulama dalam sebuah hadits seperti Ibnu Shalah dan An-Nawawi.

Keenam, terkadang ia menjelaskan hadits riwayat lain yang menyebutkan kata semakna walaupun ia telah menemukan dalam kitab tertentu.

Ketujuh, jika tidak menemukan hadits, ia akan mencari yang agak mendekati, jika masih tidak ketemu, ia cukup berkata “Lam ajidhu”.

Kedelapan, jika haditsnya sama, ia cukup menyebutkan (taqaddama fi...).

Beberapa Fakta yang Terdapat dalam Kitab Al-Mughni

Ada beberapa fakta menarik yang terdapat dalam karya Al-Iraqi ini.

Pertama, ternyata tidak semua hadits ditakhrij oleh Al-Iraqi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kitab takhrij yang muncul setelahnya, yaitu Al-Istidrak ala Takhrijil Ihya karya Al-Asqalani, Tuhfatul Ahya’ fi ma Fata min Takharijil Ihya karya Al-Qasim bin Qatlubghi; dan Ithaf Sadatil Muttaqin karya Az-Zubaidi.

Kedua, Al-Iraqi sering menyebut nama Ibnu Lahiah. Jika dalam sanad ada rawi tersebut dengan nama tersebut, artinya Al-Iraqi meragukan atau bahkan mendhaifkan hadits tersebut, mengingat Ibnu Lahiah merupakan perawi yang berubah menjadi tidak dhabt setelah kitab-kitabnya terbakar. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar