Jual Beli Barang yang
Digadaikan Menurut Hukum Islam
Gadai (rahn) dalam pandangan syara’
hukumnya adalah boleh (ja’iz). Akad ini dilaksanakan dengan jalan
pemilik barang (râhin) menyerahkan barang yang akan digadaikan (marhun)
kepada orang yang menerima gadai (murtahin) dengan akad akan ditebus
pada waktu yang telah ditentukan dengan tebusan sebesar uang yang dipinjamkan
oleh murtahin kepada râhin (marhûn bihi). Sebagaimana Syekh
Zakaria al-Anshary mendefinisikan sebagai berikut:
وشرعا
جعل عين مال وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر وفائه
Artinya: “Secara syara’, (gadai adalah)
menjadikan barang/harta sebagai kepercayaan akan dilunasinya utang dengannya
ketika ditemui adanya udzur dalam pelunasan.”(Lihat: Syekh Zakaria al-Anshory, Fathu
al-Wahâb ‘bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt.:
192)
Berdasarkan definisi ini, maka syarat dari
gadai adalah sama dengan syarat barang dalam jual beli, yaitu:
1. Ada barang wujud yang berupa harta sebagai
jaminan kepercayaan
2. Sebagai jaminan, maka harta harus memiliki
nilai manfaat
3. Syarat barang harus berupa barang yang
suci
4. Barang yang digadaikan merupakan hak kuasa
/ milik dari orang yang menggadaikan
5. Barangnya bisa diserahterimakan
Dengan demikian maka rukun gadai juga menjadi
mirip dengan rukun jual beli, yaitu:
1. Adanya orang yang berakad (‘âqid),
yang terdiri atas râhin (orang yang menggadaikan) dan murtahin
(pegadaian)
2. Adanya barang yang digadaikan (marhûn)
berupa harta
3. Besaran uang yang dipinjamkan dan masa
jatuh tempo (marhûn bih)
4. Adanya shighat atau lafadh gadai.
Sebagian ulama ada yang menambahkan rukun
yang kelima, yaitu adanya saksi. Namun keberadaan saksi ini dianggap sebagai
yang tidak mutlak sehingga boleh ada dan boleh tidak ada tergantung kepada
kemaslahatan akad.
Objek bahasan kita kali ini adalah jual beli
barang yang tengah dalam masa digadaikan. Untuk itu mari kita fokuskan kembali
pada kasus jual beli barang yang digadaikan.
Sudah menjadi ketetapan bahwa syarat utama
boleh menjual barang yang digadaikan adalah harus seidzin orang yang
menggadaikan, yaitu râhin. Syarat ini ditetapkan berdasarkan
kesepakatan yang sudah dibangun oleh pegadaian dan orang yang menggadaikan
ketika awal menggadaikan barang. Syarat didasarkan pada pilihan cara bagaimana
orang yang mengambil akad gadai akan melunasi tanggungannya. Apakah ia akan
menebusnya dengan cara tunai, atau mencicilnya dengan hasil penjualan barang
yang digadaikan? Oleh karena itu, ditetapkan wajib adanya khiyar (pilihan)
dari pihak orang yang mengajukan gadai (râhin). Apabila orang yang
menggadaikan memilih pelunasan utang dengan jalan hasil penjualan, maka pihak
pegadaian boleh melakukan pelelangan terhadap barang yang dijaminkan.
Selanjutnya, hasil dari pelelangan tersebut diberitahukan kepada pihak pencari
gadai, dan berikutnya sebagian dari hasil tersebut digunakan untuk pelunasan
utang (istifa’ dain). Namun, apabila orang yang menggadaikan memilih pelunasan
dengan dibayar tunai, maka pihak pegadaian tidak boleh melakukan pelelangan
terhadap aset/barang milik orang yang menggadaikan. Dengan demikian, penting
artinya memperhatikan khiyar syarat ini.
Biasanya, untuk melakukan antisipasi terhadap
kemungkinan nakalnya orang yang menggadaikan atau sebaliknya nakalnya pihak
pegadaian, maka ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh pegadaian dan wajib
dimuat dalam shighat akad gadai.
Menurut Syekh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi,
atau yang lebih dikenal dengan panggilan Imam Nawawi - salah seorang ulama yang
mendapatkan gelar mujtahid muharrir madzhab - beberapa kriteria syarat yang
wajib diperhatikan oleh pegadaian antara lain sebagai berikut:
شرط
فيها ما في البيع فإن شرط فيه مقتضاه كتقدم مرتهن به أو مصلحة له كإشهاد أو ما لا
غرض فيه صح لا ما يضر أحدهما كأن لا يباع وكشرط منفعته لمرتهن أو أن تحدث زوائده
مرهونة
Artinya: “Disyaratkan dalam shighat akad gadai,
syarat-syarat sebagaimana di dalam jual beli. Jika di dalam gadai disyaratkan
ketentuan seperti barang gadai yang didahulukan oleh pegadaian, atau semisal
disyaratkan perlunya kesaksian untuk kemaslahatan akad, atau disyaratkan
pernyataan tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan, maka akad gadai
tersebut adalah sah. Akad gadai dipandang “tidak sah” apabila disyaratkan
sesuatu yang dapat membahayakan salah satu dari dua pihak yang berakad, contoh:
tidak boleh dijual, atau syarat manfaat barang yang digadaikan adalah milik
pegadaian, dan/atau syarat bahwa hal baru yang dihasilkan oleh barang yang
digadaikan adalah bagian yang digadaikan.” (Lihat: Syekh Muhyiddin bin Syaraf
al-Nawawi, Manhaju al-Thullab, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 192!)
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa pegadaian dapat menetapkan syarat atas barang yang digadaikan
dengan beberapa hal:
1. Barang yang digadaikan harus diserahkan ke
pegadaian dan disetujui oleh pegadaian
2. Untuk jenis barang tertentu, pegadaian bisa
meminta agar dihadirkan saksi bagi terlaksananya akad gadai
3. Pegadaian boleh menetapkan syarat bahwa
untuk barang-barang tertentu, seperti binatang dan lain sebagainya, maka
perawatan terhadap barang yang digadaikan sepenuhnya adalah hak orang yang
menggadaikan. Jika pegadaian yang dibebani perawatannya, maka pegadaian boleh
meminta ujrah (imbalan) atas perawatan yang dilakukan.
4. Pegadaian boleh menetapkan batas jatuh
tempo pembayaran gadai kepada orang yang menggadaikan (râhin)
5. Jika pada waktu jatuh tempo ternyata
pihak râhin tidak bisa melunasi, maka pihak pegadaian bisa
memanggil râhin untuk menetapkan pilihan, apakah utangnya akan
dilunasi dengan dibayar tunai, atau barang yang digadaikannya dilelang.
6. Pegadaian tidak boleh menetapkan syarat
bahwa apabila barang yang digadaikan adalah barang produktif, maka hasilnya
adalah milik pegadaian. Karena perawatan adalah tanggung jawab orang yang
menggadaikan, maka hasil dari barang yang digadaikan adalah tetap milik orang
yang menggadaikan. Jika perawatan merupakan tanggungan pihak pegadaian, maka
pihak pegadaian berhak untuk meminta upah saja kepada orang yang menggadaikan.
7. Pihak Pegadaian juga tidak boleh
menetapkan syarat bahwa segala hal yang baru yang dihasilkan oleh barang yang
digadaikan, maka harus turut pula digadaikan. Hal ini disebabkan alasan bahwa
apa yang berlaku dalam jual beli adalah juga berlaku dalam gadai. Jika “hukum
jual beli kandungan” adalah dilarang dan diharamkan, maka menggadaikan sesuatu
yang ada masih ada dalam kandungan tanggungan juga turut dilarang dan
haram.
Sebagaimana diketahui bahwa pegadaian pada
dasarnya adalah sebuah akad meminjam uang dengan jaminan harta sebagai wujud
kepercayaan orang yang meminjami kepada yang dipinjami. Artinya, jika pada
suatu kesempatan ada kendala dalam melakukan pelunasan pinjaman, maka pihak
pegadaian boleh melelangnya. Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas,
maka ketentuan bolehnya pihak pegadaian melelang barang yang digadaikan adalah
sebagai berikut:
1. Harus sudah tiba masa jatuh tempo. Jika
belum sampai masa jatuh tempo, ternyata rahin mengajukan agar dilelang
barang yang digadaikan, maka pihak pegadaian bisa melakukan pelelangan atas
dasar idzin tersebut. Pelelangan sebelum jatuh tempo tanpa seidzin pihak yang
menggadaikan, adalah tidak sah dari sisi akadnya
2. Jika sudah jatuh tempo pembayaran,
ternyata pihak râhin belum bisa melunasi utangnya, maka
pegadaian harus meminta pertimbangan kepada orang yang mengajukan gadai tentang
cara pelunasan (khiyar). Apabila di awal telah disepakati bersama sebuah
kesepakatan bahwa bila setelah jatuh tempo pihak râhin belum
bisa melunasi utangnya, maka pihak pegadaian bisa melelang barang yang
digadaikan tersebut atas dasar kesepakatan yang dibangun. Namun ada catatan
bahwa, apabila ada kelebihan sisa pelunasan, maka pihak pegadaian wajib
mengembalikan sisa tersebut kepada pihak yang menggadaikan.
3. Selanjutnya pihak pegadaian bisa melakukan
kalkulasi jumlah biaya perawatan barang kepada râhin apabila
barang tersebut membutuhkan perawatan khusus, seperti: binatang yang harus
diberi makan, dan lain sebagainya. Seluruh hasil kalkulasi ini merupakan ujrah
dan menjadi hak bagi pegadaian.
Wallahu a’lam bish shawab.
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar