Selasa, 27 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Larangan Jual Beli yang Memisahkan Induk Hewan dari Anaknya


Larangan Jual Beli yang Memisahkan Induk Hewan dari Anaknya

Islam mengatur segala bentuk jalinan hubungan persaudaraan. Berbagai aturan penyelesaian perkara dalam fiqih pada dasarnya ditujukan untuk menjaga jalinan harmonis hubungan persaudaraan itu. 

Syariat Islam diturunkan adalah dimaksudkan untuk menjaga harmonisasi kehidupan. Perintah menjaga keharmonisan ini sering kita temukan dalam nash kitab suci Al-Qur’an, seperti: QS Al-Baqarah: 11-12, 83, QS Asy-Syu’arâ’: 151-152, QS Al-Anfâl: 73, dan masih banyak lagi ayat lain. Termasuk salah satu tindakan menjaga harmoni kehidupan ini adalah tidak memisahkan anak dan induk hewan, baik dalam bentuk praktik jual beli atau hanya sekedar tindakan main-main.

Dalam sebuah hadits disampaikan bahwa beliau Baginda Rasulillah melarang tindakan memisahkan hewan dari induknya untuk tindakan main: 

عن الحسن بن سعد عن عبد الرحمن بن عبد الله عن أبيه قال كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فانطلق لحاجته فرأينا حمرة معها فرخان فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال من فجع هذه بولدها ردوا ولدها إليها

Artinya: “Dari Al Hasan bin Sa’d dari (Abdurrahman bin Abdullah) dari (ayahnya), ia berkata: Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, kemudian beliau pergi untuk suatu keperluannya, kemudian kami melihat seekor burung bersama kedua anaknya. Lalu kami mengambil kedua anaknya, kemudian burung tersebut datang dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Kemudian Nabi datang dan berkata: “Siapakah yang menyakiti (mempermainkan) burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikan anaknya kepadanya.” (Lihat: Muhammad Syamsu al-Haq al-Adhim Abady, Syarhu al-Hadits ‘Auni al-Ma’bud, Daru al-Fikr, 1995: 14/138)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda: 

ﻣﻦ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻭﺍﻟﺪﺓ ﻭﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﺮﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺃﺣﺒﺘﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ,ﻭﺣﺴﻨﻪ, ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ

Artinya: “Barangsiapa memisahkan orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkan ia dan orang yang dikasihinya di hari kiyamat kelak.” Hadits Hasan Riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim menshahihkannya. (Lihat: Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Minhâju al-Thâlibin, Juz 1, Surabaya: Al Hidayah, tt.: 47!)

Rasulullah juga bersabda: 

ﻣﻠﻌﻮﻥ ﻣﻦ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻭﺍﻟﺪ ﻭﻭﻟﺪﻩ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ

Artinya: “Akan dilaknat, yaitu orang yang memisahkan induk dari anaknya.” HR. Abu Dawud. (Lihat: Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Minhâju al-Thâlibin, Juz 1, Surabaya: Al Hidayah, tt.: 47!)

Hadits-hadits di atas menjelaskan soal larangan dan sekaligus ancaman melakukan pemisahan hewan dari induknya. Dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam memisahkan hewan, tergantung dari tujuan. Adakalanya karena tujuan agar segera bereproduksi lagi, namun juga adakalanya karena tujuan ingin disembelih, dihibahkan atau bahkan dijualbelikan. Bagaimana syariat memandang hukum masing-masing dari tindakan ini? Berikut disampaikan sejumlah pendapat para ulama’ berkaitan dengan hal tersebut.

1. Menurut Imam Nawawi dan jumhur ashabu al-Syafii (mayoritas ulama pengikut mazhab Syafi'i), tindakan memisahkan induk hewan dengan anaknya setelah selesai masa menyusu untuk tujuan (gharadl) disembelih, hukumnya adalah boleh. Namun ada catatan bahwa bila tidak terdapat tujuan yang dibenarkan oleh syariah (disembelih), maka hukumnya adalah makruh, akan tetapi menurut Imam Al-Rafii, hukumnya adalah haram.

قال أصحابنا التّفريق بين البهيمة وولدها بعد استغنائه عن اللّبن إن كان لغرضٍ مقصودٍ كالذّبح جاز وإلّا فهو مكروه ولا يحرم على المذهب وبه قطع جماهير الأصحاب وحكى الصّيمريّ وصاحب البيان والرافعي فيه وجها شاذا أنه حرام

Artinya: “Para ashabu al-Syafi’i berkata: tindakan memisahkan induk hewan dari anaknya setelah cukupnya menyusu, adalah jika terdapat tujuan untuk disembelih, maka hukumnya adalah boleh, namun jika tidak, maka makruh serta tidak haram menurut madzhab Syafi’i. Ini adalah pendapat jumhur ashabu al-Syafii. Imam Al-Shaimiry dan pengarang kitab Al-Bayan serta Imam al-Rafii dalam kasus ini memiliki sebuah pendapat yang dinilai Syadz yakni hal tersebut adalah haram.” (Lihat: Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawy, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al- Mathba’ah al-Munîrah, tt.,: 9/362!). 

2. Status kebolehan memisah induk dan anak hewan yang sudah cukup usia dan lepas dari menyusu, dengan gharadl disembelih, sifatnya adalah mutlak bolehnya. Hal ini dilandaskan pada pendapat pengarang Kitab I’anatu al-Thalibin, antara lain: 

وقوله: (إن استغنى عن أمه) قيد في جواز التفريق، لكن النسبة لما إذا كان بنحو البيع له أو لها أو بالذبح لها، أما إذا كان بالذبح له فلا يحتاج إلى هذا التقييد، لأنه يجوز ذبحه مطلقا

Artinya: “Kalam mushannif: “jika telah cukup dari induknya”. Qaul ini merupakan qayyid (batasan hukum) di dalam kebolehan memisahkan induk dan anaknya. Namun, hubungan untuk hal seumpama akan dijual, atau akan disembelih, maka untuk hal seumpama disembelih adalah tidak butuh penerapan taqyiid ini karena menyembelih tersebut hukumnya adalah boleh secara mutlak.” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha’ al-Dimyathy, Hasyiyah I’ânatu al-Thâlibîn ‘ala Hilli Alfadhi Fathu al-Mu’in, Juz. 3, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 29!)

3. Menjual induk hewan atau anaknya dalam kondisi anaknya masih menyusu sehingga terpaksa harus dipisah, hukumnya adalah haram dan batal akadnya. Bila hal itu terjadi pada jual beli, maka menurut pendapat para ulama yang paling dhahir adalah menyatakan batalnya transaksi yang dilakukan. Dengan demikian jual belinya tidak sah. Pendapat ini disamakan (di-ilhaq-kan) dengan kasus menjual perempuan amat dan anaknya ketika dalam kondisi sang anak belum mencapai usia mumayyiz, yaitu usia anak mulai bisa membedakan hal yang baik bagi dirinya dan tidak.

ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﻡ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﻤﻴﺰ , ﻭﻓﻲﻗﻮﻝ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﻠﻎ , ﻭﺇﺫﺍ ﻓﺮﻕ ﺑﺒﻴﻊ ﺃﻭ ﻫﺒﺔ ﺑﻄﻼ ﻓﻲﺍﻷﻇﻬﺮ

Artinya: “Haram memisahkan induk dan anak sehingga mumayyiz. Dalam sebuah pendapat disebutkan ‘sehingga dewasa’. Jika pemisahan itu disebabkan transaksi jual beli atau hibah, maka batal akadnya menurut qaul yang paling adhar.” (Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Minhâju al-Thâlibin, Juz 1, Surabaya: Al Hidayah, tt.: 47)

Ada catatan terkait dengan status hukum terakhir di atas, karena dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan memisahkan induk itik atau ayam dari anak-anaknya dengan menggunakan media oven. Biasanya untuk kasus ini diterapkan pada industri penyediaan bibit ayam potong dan itik potong guna memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat akan daging yang semakin besar. 

Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada industri ayam dan itik dalam kasus terakhir, biasanya pemisahan terjadi saat kondisi telur belum menetas, sehingga tidak menimbulkan efek gejala stress pada indukannya. Oleh karena itu, maka status hukum pemisahan ini adalah dibolehkan karena adanya hajat serta tidak menimbulkan hal yang merugikan pada induknya.

Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah bahwa jual beli yang memisahkan induk hewan dengan anaknya dibagi menjadi dua:

1. Haram apabila dilakukan sebelum lepas masa menyusunya, dan akad jual belinya adalah batal menurut pendapat yang paling adhar. Namun, tindakan ini masih dibolehkan manakala untuk maksud penyembelihan. 

2. Boleh apabila dilakukan setelah masa lepas dari menyusunya anak terhadap induknya. Demikian juga, untuk kasus ayam pedaging dan petelur serta itik pedaging, hukumnya adalah boleh memisahkannya secara mutlak karena pemisahan dengan induk sudah terjadi semenjak masa bertelur. 

Wallahu a’lam bish shawab []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar