Kisah Imam Abu Thayyib dan Tukang Sepatu
Dalam kitab Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, Imam
al-Dzahabi memasukkan hikayat menarik Imam Abu Thayyib dan tukang sepatu.
Berikut riwayatnya:
قيل: إنّ أَبَا الطَّيِّبِ دفَع خُفّاً له إلى من يُصْلحه،
فَمطَله، وَبَقِي كلما جاء نقعه في الْماءِ، وقال: الآنَ أُصلحه, فلمَّا طَال ذلك
عليه، قال: إنّما
دفعتُه إليْك لتُصلِحَه، لا لتُعلِّمه السِّباحَة
Dikisahkan, (suatau hari) Imam Abu Thayyib
menyerahkan sepatunya pada tukang sepatu untuk diperbaiki. Tukang sepatu itu
tidak langsung (memperbaiki)nya. (Akhirnya) ia tinggal (sepatunya di situ).
Setiap kali ia datang, sepatunya masih terendam di dalam air, dan tukang sepatu
itu berkata: “Sekarang akan kuperbaiki.”
Ketika ia telah lama menunggu (dan sepatunya
masih berada di tempat air), Imam Abu Thayyib berkata: “Aku menyerahkan
sepatuku padamu untuk diperbaiki, bukan untuk diajari berenang.” (Imam
al-Dzahabi, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985, juz 17,
hlm 669)
****
Ternyata tidak hanya sekarang, dari dulu
sudah ada pelayanan tidak profesional seperti ini. Padahal pelanggannya bukan
orang sembarangan, seorang hakim (qadli), ahli fiqih besar mazhab Syafi’i, tapi
tetap saja. Untungnya, Imam Abu Thayyib al-Thabari (348-450 H), meresponsnya
dengan asyik, “Aku menyerahkan sepatuku padamu untuk diperbaiki, bukan untuk
diajari berenang.” Lalu, di mana letak hikmahnya?
Begini, bicara hikmah itu enak sebenarnya. Di
mana saja, di benda apa saja, dan dalam kejadian apa saja, hikmah bisa diambil.
Masalahnya seberapa ingin kita bertafakkur dan mengenali hikmah itu tadi. Tapi
tunggu dulu, keinginan saja belum cukup lho, ada seni untuk mengenalinya juga.
Di sini kita akan mengupasnya satu persatu.
Kisah di atas itu termasuk kisah yang
multi-tafsir. Perkataan Imam Abu Thayyib bisa dipersepsikan dalam banyak hal.
Bisa berarti kemarahan; bisa berarti kelembutan; bisa berarti kritik santun;
bisa berarti humor, dan lain sebagainya. Kenapa begitu? Karena intonasi
bicaranya tidak bisa kita dengar, di samping tidak ada tanda baca yang jelas di
dalamnya. Ini persoalannya.
Contoh umumnya begini. Ketika seorang suami
sedang bertamu di rumah temannya, ponselnya berbunyi, ada Whatsapp masuk dari
istrinya: “Mas, pulang”. Tanpa tanda baca dan intonasi, persepsi makna dari
“Mas, pulang” menjadi beragam. Jika sang suami membacanya dengan intonasi
tinggi, ia akan mengira istrinya marah. Jika membacanya dengan santai, maknanya
akan berubah menjadi sekadar permintaan. Jika membacanya dengan nada kemesraan,
ia akan mengartikannya sebagai kerinduan. Dan, tiga makna itu mempunyai
konsekuensi yang berbeda-beda satu sama lainnya. “Marah” membuatnya bergegas
pulang karena takut. “Permintaan” membuatnya tidak tergesa-gesa. “Kerinduan”
membuatnya buru-buru pulang karena cinta.
Hal yang sama juga terjadi dalam kisah di
atas, kita tidak benar-benar tahu intonasi bicara Imam Abu Thayyib al-Thabari.
Kita tidak tahu jika ia sedang marah, bercanda, kritik mendidik, atau
bagaimana. Semua ekspresi yang disebutkan tadi bisa masuk dalam kisah di atas.
Untuk memahaminya, kita butuh cara pembacaan teks yang indah.
Cara pembacaan teks yang dimaksud di sini
bukan cara pembacaan yang metodologis dan sistematik. Itu ada ilmunya sendiri.
Kita hanya akan membicarakan aspek spiritualnya saja, atau lebih tepatnya
‘bagaimana seharusnya seseorang mengolah jiwanya ketika membaca sebuah teks’.
Ingat ya, ini bukan metodologi, sekadar refleksi saja. Maka, penyebutannya saja
“cara pembacaan teks yang indah”, bukan cara pembacaan teks yang ilmiah. Mari
kita simak uraiannya.
Syekh Syamsuddin al-Tabrizi (592-645 H), guru
Maulana Rumi, mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah “book of love—kitab cinta” atau
“a love letter—surat cinta” dari Tuhan. Ketika seseorang memandang Al-Qur’an
sebagai surat cinta dari Tuhan, hatinya terhidupi asmara; pipinya berulangkali
merona; jantungnya berpacu kencang; bibirnya tersenyum-senyum sendiri, dan
darahnya menggelora bahagia di saat ia membacanya. Kekasih mana yang tak
bahagia ketika menerima surat cinta dari kekasihnya. Ia perlakukan
ayat-ayat-Nya dengan penuh cinta. Ketika membaca ayat-ayat ancaman, ia memeluknya
sebagai kecemburuan. Ketika bertemu ayat-ayat perintah, ia bergegas dengan
senyum kerelaan. Berbeda dengan orang yang hatinya diliputi kebencian.
Dan, menjalin cinta dengan Tuhan itu enak
lho, aman dari “bertepuk sebelah tangan”. Di samping Tuhan teramat sangat
memahami diri kita, mengabulkan doa yang belum pernah kita minta, menunda
pengabulan doa untuk waktu yang tepat, dan mendewasakan kita dengan cobaan. Itu
karena Tuhan sangat memahami kita, meski seringkali kita berprasangka
kepada-Nya. Bagaimana tidak, tanpa minta pun kita diberikan udara untuk
bernafas; tanpa minta pun kita diberikan bumi untuk berpijak, dan matahari
untuk menghangatkan. Lalu kenapa kita lalai berdoa tentang mereka, apakah doa
hanya diperlukan untuk yang tiada, dan yang tidak kita miliki saja? Entahlah,
meski semuanya tergantung pada cara pembacaan kita tentang semuanya.
Yang hendak disampaikan di sini adalah,
dengan pembacaan yang indah, hikmah dalam peristiwa terburuk pun, seperti kisah
Fir’aun, dapat dipahami, apalagi kisah tukang sepatu dan Imam Abu Thayyib,
sebuah kisah yang sisi buruknya masih tidak jelas (samar-samar). Menggunakan
cara tersebut, perkataan Imam Abu Thayyib dapat diartikan sebagai kritik santun
yang mendidik dan lucu. Seakan-akan di benak kita tergambar, ia mengucapkannya
dengan penuh tawa dan wajah ceria, bergaya asyik dan cool, tanpa beban
kemarahan sama sekali. Tapi, jika membacanya dengan hati yang marah, kesan yang
akan ditangkap adalah, Imam Abu Thayyib sedang meluapkan kemarahannya, wajahnya
merah, suaranya tinggi, matanya melotot, ia berdiri mendekati tukang sepatu itu
dengan menunjuk-nunjuk wajahnya.
Dengan kata lain, keadaan hati bisa
berpengaruh pada cara pandang kita terhadap sesuatu. Karena itu, kita harus
belajar mengolahnya, bila perlu semayamkan cinta dan kasih sayang di hati kita,
pandang segala sesuatu dengan indah. Jika kita sungguh-sungguh mencari
keindahan, ia akan kita temui, bahkan dari kotoran kerbau sekalipun. Paling
tidak, kesadaran kita tentang keindahan membuat kita membersihkannya, agar
tidak ada orang lain yang menginjak atau terganggu oleh baunya. Lalu kita
bayangkan berapa banyak orang yang selamat darinya, itu akan menebarkan
kebahagiaan di hati kita.
Jadi, kita perlu belajar menanamkan perasaan
itu di hati kita, seperti di kasus kotoran kerbau. Bila perlu, ketika
menginjaknya, kita bersyukur bahwa kita yang menginjaknya, bukan orang lain.
Artinya Tuhan memberi kita kesempatan beramal sekaligus kesempatan melatih
diri. Pola pandang dan pola pikir seperti ini rasanya perlu dikembangkan, agar
dunia terlihat lebih seksi dan penuh harapan. Mungkinkah dilakukan? Wallahu
a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen, dan Pondok Pesantren al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar