Konservatisme Agama (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Adanya kebangkitan konservatisme penganut agama atau kelompok umat
berbagai agama di Indonesia adalah fenomena yang sangat observable, tidak hanya
oleh ahli, tapi orang awam sekalipun. Sekali lagi fenomena itu paling terlihat
pada para penganut Islam; dan ini tak lain terkait dengan realitas demografis,
mayoritas penduduk Indonesia (menurut sensus 2010, 88,2 persen) adalah beragama
Islam.
Sebelum bicara lebih jauh tentang “kebangkitan konservatisme” di
kalangan umat Islam, penting ditekankan, fenomena ini pada dasarnya merupakan
bagian integral dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan, khususnya
sejak akhir 1970-an. Dinamika itu dapat disebut sebagai terus meningkatnya
“santrinisasi”—menjadi “santri” dengan menjadi Muslim yang menjalankan ajaran
Islam (practising Muslims).
Gejala peningkatan santrinisasi itu oleh sebagian Indonesianis,
seperti Profesor MC Ricklefs, ahli sejarah Indonesia, khususnya Jawa,
menyebutnya sebagai “Islamisasi”. Fenomena yang disebut penulis sebagai
“santrinisasi”, dalam pandangan Ricklefs adalah “Islamisasi”, yang di Jawa—dan
juga di Indonesia secara keseluruhan—telah berlangsung secara kontinu dan
intens lebih dari enam abad. Bisa dipastikan, proses itu terus berlanjut dewasa
ini dan pada masa depan.
Ricklefs dalam trilogi bukunya yang sangat monumental (Mystic
Synthesis in Java, Polarizing Javanese Society, dan Islamisation and Its
Opponents in Java) tentang enam abad Islamisasi di Jawa menggambarkan dalam
buku ketiga tentang proses Islamisasi yang berlangsung sangat intens dalam tiga
dasawarsa terakhir. Adanya pihak yang tidak menginginkan Islamisasi (opponents)
tidak mampu menghalangi. “Islamisasi yang ada tidak bisa dihentikan dan juga
tidak bisa dimundurkan”.
Kesimpulan Ricklefs ini hampir sama dengan refleksi akhir Harry J
Benda yang menulis buku penting The Crescent and the Rising Sun: Indonesian
Islam during the Japanese Occupation (1958). Berhadapan dengan berbagai
kesulitan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, sejarah Islam Indonesia, kata
Benda, adalah history of the progress of santri culture.
Jika fenomena kebangkitan agama—mencakup konservatisme—di
negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat banyak terkait dengan
kemunduran ekonomi, di Indonesia justru sebaliknya. Kebangkitan agama,
khususnya di kalangan umat Islam, banyak bersumber dari kemajuan-kemajuan dalam
bidang ekonomi dan pendidikan yang mulai terjadi secara signifikan sepanjang
1970-an.
Sekali lagi, faktor demografi menjadikan kaum Muslimin sebagai
penerima manfaat terbesar (greatest beneficiaries) dari berbagai kemajuan dalam
pembangunan yang dilaksanakan rezim Orde Baru. Perbaikan atau kemajuan ekonomi
dan pendidikan sejak masa Orde Baru pada 1970-an dan seterusnya melahirkan
“ledakan kaum terpelajar Muslim” (intelligentsia boom).
Dengan pendidikan sarjana muda (BA/bachelor of arts, kini S-1)
mereka kemudian mengisi berbagai sektor pekerjaan, baik lembaga pemerintah,
institusi swasta dan pranata masyarakat. Sebagian kecil mereka melanjutkan
pendidikan ke tingkat sarjana (doktorandus/Drs/Dra, atau S-2) dan Dr/PhD atau
S-3. Dari pihak terakhir inilah kemudian muncul sebagian besar yang disebut
sebagai new Muslim intellectual.
Semua mereka kemudian mendapatkan penghasilan tetap (steady
income) yang memungkinkan mereka tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi cepat atau lambat untuk juga mengkredit rumah atau
kendaraan. Ketika terjadi perbaikan gaji dan upah secara bertahap tahun demi
tahun, mereka ini kemudian akhirnya bisa mengirim anak-anak mereka belajar ke
“sekolah elite” yang mahal.
Mereka inilah yang disebut sebagai kelas menengah Muslim (Muslim
middle class).
Bisa dipastikan jumlah mereka terus meningkat dari waktu ke waktu
di tengah perkembangan ekonomi Indonesia yang relatif stabil sejak masa
pembangunan sampai sekarang ini. Jika ada krisis ekonomi, maka itu berlangsung
relatif singkat, misalnya antara 1997-1999.
Kelas menengah Muslim ini menampilkan orientasi keislaman baru,
new attachment to Islam. Kecintaan baru pada Islam itu diekspresikan dengan
adopsi ketaatan baru pada ibadah-ibadah Islam. Selain itu juga diwujudkan
dengan gaya hidup yang mereka anggap lebih Islami, seperti memakai jilbab.
Meski mengekspresikan Islam secara lebih jelas dan tegas,
mayoritas kelas menengah Muslim Indonesia tetap menempuh jalan moderasi, yang
dalam bahasa Qurani, ummatan wasathan—jalan tengah, tanpa harus tergelincir ke
dalam sikap ekstrem. Tetapi, sebagian mereka bergerak lebih ke kanan, menjadi
lebih kaku dan rigid—mereka ini kemudian dapat disebut sebagai kaum
konservatif. []
REPUBLIKA, 17 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar