Snouck Hurgronje dan
Sebutan Santri
Snouck Hurgronje,
orang Belanda yang lahir 1857 dan wafat 1936 ini tidak begitu asing di telinga
orang-orang Indonesia, khususnya yang menggeluti bidang sejarah. Sebagai
penasihat penjajah Hindia-Belanda mengenai agama-agama Islam, Snouck memiliki
banyak catatan-catatan penting mengenai Islam dan umatnya, termasuk
pergerakan-pergerakan nasional yang dilakukan oleh ulama pesantren melawan
penjajah.
Bahkan, Snouck pernah
diutus oleh Hindia-Belanda untuk memata-matai aktivitas para ulama dan guru
besar asal Nusantara yang sedang mengajar di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah).
Ia berperan layaknya agen intelijen. Interaksinya dengan umat Islam membuahkan
catatan-catatan penting sebagai bahan informasi penting untuk Hindia-Belanda.
Dalam keterangan yang
diungkapkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001),
Snouck Hurgronje adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat Hindia-Belanda
perihal segala sesuatu tentang agama Islam. Yang menarik, Kiai Saifuddin menekankan
bahwa meskipun pengetahuan Snouck megenai Islam sangat banyak, ia tidak bisa
disebut seorang santri ketika bertahun-tahun sedang mempelajari agama Islam.
Pengetahuannya
tentang Islam hanya ditujukan untuk kepentingan spionase penjajah Belanda. Selain
itu, ilmunya mengenai Islam juga tidak diorientasikan untuk kepentingan dakwah
lanjutan sebagaimana tanggung jawab santri. Barangkali, Snouck cukup berjasa
dalam ilmu pengetahuan sejarah karena catatan-catatan historisnya memberikan
banyak informasi berharga terkait sejarah-sejarah Islam masa lalu.
Pengetahuannya
tentang Islam menjadikan ia diangkat sebagai Guru Besar Islamologi pada
Universitas Leiden Belanda. Suatu ketika, ia pernah menyamar di Makkah sebagai
dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghofur.
Hal itu dilakukan
karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubung
perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana. Khususnya ketika
Belanda cukup kewalahan menghadapi perang Aceh, perang Diponegoro, perang Imam
Bonjol.
Dari tujuan
spionesnya itu, kalangan pesantren sangat keberatan kalau Profesor Belanda ini
digolongkan sebagai santri. Sebutan santri untuk Snouck muncul ketika dia
dianggap banyak berinteraksi dengan ulama, belajar Islam, dan melakukan banyak
catatan tentang agama Islam. Namun, aktivitasnya tersebut tidak lain tercampur
dengan tujuan-tujuan politik kekuasaan Hindia Belanda.
Dalam hal ini, jelas
bahwa santri adalah mereka yang belajar ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk
mengamalkan ilmu yang ia yakini kebenarannya. Bahkan, santri hendak
mengembangkan ilmunya untuk tujuan membela dan mengembangkan Islam dengan baik
dan benar melalui rujukan-rujukan kitab otoritatif.
Dalam beberapa
catatan sejarah selama Indonesia terjajah, umat Islam khususnya kalangan
pesantren kerap bersinggungan dengan penjajah karena sikapnya yang tidak mau
takluk begitu saja. Bahkan, pesantren menjadi wadah pergerakan nasional untuk
membebaskan diri dari kungkungan penjajahan.
Interaksi kalangan
pesantren dengan intensitas cukup masif terjadi saat Indonesia dijajah oleh
Nippon atau Jepang. Hal ini disebabkan, Jepang mempunyai perhatian khusus
terhadap peran penting tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Sama halnya ketika
Hindia Belanda menugasi Snouck Hurgronje.
Untuk menindaklanjuti
sorotannya terhadap para kiai dan tokoh umat Islam, Jepang menempatkan sejumlah
perwira Muslim untuk menempel para tokoh Islam sebagai agen inteligen Jepang
(Beppan). Para intel ini tidak hanya mengawasi gerak-gerik para tokoh Islam,
tetapi juga kerap mengikuti forum-forum pengajian.
Sebut saja Haji Saleh
Suzuki dan Abdul Mun'im Inada. Nama terakhir punya tugas memepet Habib Ali
Al-Habsyi Kwitang. Kala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali
disertai Kolonel Horie, perwira Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam
di Indonesia. (Buku Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan,
2011)
Salah seorang perwira
Muslim Jepang ialah Nobuharo Ono yang mempunyai nama Muslim Abdul Hamid Ono. Ia
bertugas mengawasi KH Hasyim Asy’ari yang dianggap oleh Jepang sebagai tokoh
Muslim yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia.
Namun berjalannya
waktu seperti disebutkan H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid
Hasjim (2011) memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu
komunikasi dan diplomasi agar KH Wahid Hasyim, putra sulung Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari, bersama KH Wahab Chasbullah dapat menemui pembesar-pembesar
Negeri Samurai di Jakarta.
Akhirnya komunikasi
dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan
dikeluarkannya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari terali besi oleh pihak Jepang
pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah Hadratussyekh digelandang dari Pondok
Pesantren Tebuireng.
Dalam kondisi
menjajah atau perang, praktik spionase memang kerap dilakukan. Namun, praktik
ini tidak selamanya membuahkan hasil karena para ulama lebih cerdik. Meskipun
para mata-mata memahami bahasa Arab, kiai di kalangan pesantren lebih memahami
bahasa Arab, termasuk ungkapan dan peribahasanya dari kata per kata sehingga
strategi perlawanan tidak mudah untuk dipahami spionase. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar