Jual Beli yang Dilarang
Syariat (1): Sebab ‘Gharar’
Ibnu Rusyd mengklasifikasi bahwa ada dua
faktor penyebab rusaknya akad jual beli. Pertama adalah karena faktor dzatiyah
(internal) jual beli. Faktor ini disebut juga sebagai sumber pokok
rusaknya akad. Setidaknya ada empat hal yang masuk unsur ini, yaitu:
• karena status haramnya barang yang
dijual,
• adanya unsur gharar
(penipuan),
• adanya unsur riba,
• dan/atau barang yang dijual dihasilkan
melalui turunannya riba.
Faktor kedua adalah karena unsur luar (amrun
kharijy; faktor eksternal) yang ikut terlibat di dalam akad antara
lain:
• karena adanya unsur kecurangan (ghabn),
seperti tidak bisanya melihat barang yang dijual (al-ghasy) karena ada
penghalang antara barang dengan pembeli,
• adanya unsur membahayakan (dlarar),
• karena keharaman melakukan jual beli itu
sendiri,
• karena tempat dan waktu melaksanakan jual
beli lebih penting dibanding jual beli itu sendiri.
Dari kedelepan sebab di atas, ke depan kita
akan kupas tiga penyebab utama rusaknya jual beli dalam forum ini, antara lain
sebab adanya gharar, adanya dlarar dan karena waktu dan tempat
melaksanakan jual beli.
Gharar
Gharar secara bahasa bermakna bermakna
penipuan secara batil. Adapun pengertian secara syara’, adalah:
وجود
جهالة ما في البيع أو شك في حصول أحد عوضيه
Artinya: “Terdapatnya unsur tidak
mengetahuinya barang dalam jual beli atau keraguan yang muncul dalam
mendapatkan salah satu dari dua barang sebagai gantinya harga yang dibayarkan.”
(Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarī’ah
al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 49)
Ada dua unsur utama penyebab gharar, yaitu:
1) karena tidak mengetahui barang, dan 2) karena terbitnya keraguan atas barang
yang menjadi penukar harganya disebabkan adanya dua pilihan yang sulit di-ta’yin
(ditentukan). Sebagai contoh, ada dua baju ditaruh dalam gantungan di tempat
gelap. Pembeli diminta memilih salah satunya. Barang yang terambil adalah
barang yang dibeli. Jual beli seperti ini merupakan contoh dari jual beli yang
menimbulkan keraguan disebabkan tidak bisa menta’yin atau mengenal secara pasti
terhadap barang yang dibeli.
Ada beberapa model gharar akibat tidak
mengetahui barang yang dibeli. Ibnu Rusyd mengklasifikasi model-model gharar
akibat tidak mengetahui ini sebagai berikut:
والغرر
يوجد في المبيعات من جهة الجهل على أوجه: إما من جهة الجهل بتعيين المعقود عليه،
أو تعيين العقد، أو من جهة الجهل بوصف الثمن والمثمون المبيع، أو بقدره أو بأجله
إن كان هنالك أجل، وإما من جهة الجهل بوجوده أو تعذر القدرة عليه، وهذا راجع إلى
تعذر التسليم، وإما من جهة الجهل بسلامته: أعني بقاءه، وههنا بيوع تجمع أكثر هذه
أو بعضها، ومن البيوع التي توجد فيها هذه الضروب من الغرر بيوع منطوق بها وبيوع
مسكوت عنها، والمنطوق به أكثره متفق عليه
Artinya: “Gharar yang terdapat dalam
transaksi jual beli dengan penyebab tidak mengetahuinya pembeli (juhâlatu
al-ba-i’) ada beberapa bentuk:
• adakalanya karena karena faktor tidak
mengetahui barang yang dijual,
• tidak mengetahui ketentuan akad,
• tidak mengetahui klasifikasi harga dan
barang, atau
• tidak mengetahui kadarnya,
• tidak mengetahui temponya jika di dalam
akad tersebut terdapat unsur tempo yang disyaratkan.
• Adakalanya juga karena tidak mengetahui
wujud barang,
• sulit menguasai barang, sehingga sulit
untuk diserahterimakan.
• Gharar kadang juga disebabkan karena tidak
mengetahui sifat selamatnya barang, yakni utuhnya barang.
Berangkat dari sinilah berbagai macam jual
beli dikelompokkan menurut banyaknya gharar yang timbul atau karena
sebagiannya ada gharar. Secara umum, gharar jual beli ditemukan dalam
jual beli manthuq biha. Sebagian yang lain, gharar juga ditemukan
dalam jual beli yang maskût ‘anha. Para ulama sepakat, bahwa mayoritas gharar
itu ditemukan pada jual beli yang manthuq biha. (Lihat: Abu Al Walīd
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidâyatu
al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 2/111!).
Maksud dari jual beli manthuq biha adalah
jual beli yang ditetapkan haramnya secara nash dan ijma’. Menurut Ibnu Rusyd,
ada 13 macam jual beli yang dilarang secara syara’, yaitu:
1. Jual beli kandungannya kandungan, misalnya
menjual janinnya janin ternak yang masih ada dalam kandungan, semacam Multi
level Marketing (MLM)
2. Jual beli sesuatu yang belum tercetak
(inden)
3. Jual beli buah yang belum masak/siap
dituai
4. Jual beli mulaamasah, yaitu jual
beli dengan jalan bahwa barang yang disentuh adalah barang yang dibeli
5. Jual beli munabadzah, yaitu jual
beli dengan jalan melempar ke barang yang hendak dibeli. Barang yang terkena
lemparan, harus dibeli.
6. Jual beli dengan kerikil
7. Jual beli mu’awamah, yaitu menjual pohon
selama beberapa tahun
8. Dua akad jual beli di dalam satu akad
9. Jual beli dengan syarat
10. Jual beli dan pesan
11. Jual beli buah yang masih ada ditandan
dan belum siap dituai, seperti jual beli anggur yang belum berubah warna
kulitnya menjadi hitam.
12. Jual beli kandungan hewan
13. Jual beli mani hewan
Jual beli maskût ‘anha adalah
jual beli yang masih diperselisihkan kebolehannya atau larangannya oleh ulama
dari masa ke masa. Ada banyak macam versi jual beli yang masuk kategori ini.
Sebagai contoh misalnya, adalah: jual beli barang yang ghaib (tidak bisa
dilihat). Sebagian ulama menyatakan akan ketidakbolehannya jual beli barang ghaib
disebabkan kondisi barang yang belum bisa dilihat. Namun, pendapat masyhur
dari Imam Syafii menyatakan boleh untuk barang yang bisa disifati dan tidak
boleh untuk barang yang belum bisa disifati. Pendapat yang masyhur ini
merupakan pendapat yang manshush dari kalangan mazhab Syafi’i.
Adapun menurut Imam Malik, jual beli barang
yang ghaib ini dinyatakan boleh selagi dirasa aman dari perubahan.
Pendapat ini didasarkan pada tradisi penduduk Madinah yang sering melakukan
praktik jual beli serupa. Menurut Imam Abu Hanifah, jual beli barang yang ghaib
adalah boleh meskipun tanpa bisa ditunjukkan karakteristik barang, dengan
catatan ada kebebasan khiyar, yaitu apabila barang sudah berada di hadapan
pembeli, pembeli boleh memilih antara setuju dengan membeli barang tersebut
sehingga transaksi menjadi terus berjalan, atau memilih tidak setuju dengan
barang yang dijual sehingga transaksi dibatalkan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian
Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar