Kamis, 29 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Apakah Memakai Peci Sama Sunnahnya dengan Mengenakan Imamah?


Apakah Memakai Peci Sama Sunnahnya dengan Mengenakan Imamah?

Banyak kita jumpai, sebagian habâib, kiai, maupun tokoh Muslim dunia melilitkan sehelai kain di atas kepala mereka. Lilitan ini dikenal sebagai imâmah. Di Indonesia, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Maemun Zubair, Habib Luthfi bin Yahya, KH Musthafa Bisri serta ulama lain tampak memakai imâmah, meskipun ada yang tidak terus-menerus—terkadang memakai peci, kopiah maupun penutup kepala sejenis.

Memakai imâmah hukumnya adalah sunnah baik untuk shalat atau sekadar sebagai perhiasan. Hal ini berdasar atas beberapa hadits Nabi Muhammad . Meskipun hadits-hadits tersebut dinilai dlaif, namun karena jumlahnya yang banyak, antara satu hadits dengan yang lain menjadi saling menguatkan. Demikian diungkapkan oleh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hâsyiyah al-Jamal. 

Salah satu hadits yang menyebutkan bagaimana Rasul memakai imâmah adalah sebagai berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah berkhutbah di hadapan masyarakat sedangkan beliau mengenakan imâmah berwarna hitam.” (HR Muslim: 452) 

Ada yang berpandangan, imamah adalah pakaian adat. Ia mempunyai kedudukan seperti halnya bagaimana Rasulullah mengenakan baju, memakai terompah, buang air kecil, dan lain sebagainya. Apakah kemudian menggunakan baju, terompah, buang air kecil itu menjadi sunnah karena Rasulullah memakainya atau melakukannya? Jika Baginda Nabi makan dan minum, apakah otomatis sunnah bagi kita melakukan kegiatan yang sama? 

Terdapat definisi sunnah yang mempunyai makna bahasa (lughatan), yaitu semua jenis perilaku Rasulullah. Hanya bermakna perilaku. Istilah ini lebih lekat dengan dalam disiplin hadits. Dalam ilmu fiqih, sunnah bermakna satu hal yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa. Dalam konteks makna sunnah sebagai perilaku Rasul itu, posisi sunnah tak ubahnya adat atau kebiasaan manusia pada umumnya.

Lain dari pandangan di atas, menurut kalangan Syafiiyyah, menggunakan imâmah adalah sunnah baik secara istilah hadits maupun secara kaca mata fiqih. Artinya, menggunakannya mendapatkan pahala, jika tidak menjalankan, tidak mendapatkan dosa. Berikut penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal: 

وَتُسَنُّ الْعِمَامَةُ لِلصَّلَاةِ وَلِقَصْدِ التَّجَمُّلِ لِلْأَحَادِيثِ الْكَثِيرَةِ فِيهَا

Artinya: “Disunnahkan memakai imâmah untuk shalat dan dalam rangka berhias diri karena banyak hadits yang menyebut hal tersebut.” (Sulaiman al-Jamal, Hâsyiyah al-Jamal, [Beirut, Ihyâut Turats al-Arabiy: tanpa catatan tahun], juz 2, halaman 89) 

Masih dalam kitab yang sama, Syekh Sulaiman juga mengatakan, sunnah pula memakai kopiah/peci di dalam imâmah maupun memakai peci saja tanpa menggunakan imâmah. 

Pernyataan Syekh Sulaiman tersebut senada dengan perkataan mufti Hadramaut, Sayyid Abdurrahman Ba Alawi dalam karyanya Bughyatul Mustarsyidîn sebagai berikut:

وَتَحْصُلُ سُنَّةُ الْعِمَامَةِ بِقَلَنْسُوَةٍ وَغَيْرِهَا

Artinya: “Kesunnahan memakai imâmah dapat pula dicapai dengan memakai peci atau sejenisnya.” (Sayyid Abdurrahman Ba Alawi, Bughyatul Mustarsyidîn, [Beirut, Dârul Fikr, 1994), halaman 144).

Dengan demikian dapat disimpulkan, memakai peci, kopiah ataupun penutup kepala sejenis merupakan kesunnahan secara fiqih karena dianggap sama dengan imamah, serta Rasulullah juga menggunakan itu. 

Sebagaimana kesunnahan yang mirip dengan adat yang lain, seperti gosok gigi, i’tikaf dan lain sebagainya, memakai imamah ataupun peci, bagi pemakainya akan mendapatkan pahala jika disertai dengan niat melakukannya dalam rangka melaksanakan kesunnahan atau meniru perilaku Rasulullah . []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar