Apakah Memakai Peci Sama
Sunnahnya dengan Mengenakan Imamah?
Banyak kita jumpai, sebagian habâib, kiai,
maupun tokoh Muslim dunia melilitkan sehelai kain di atas kepala mereka.
Lilitan ini dikenal sebagai imâmah. Di Indonesia, Hadratussyekh Muhammad Hasyim
Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Maemun Zubair, Habib Luthfi bin Yahya,
KH Musthafa Bisri serta ulama lain tampak memakai imâmah, meskipun ada yang
tidak terus-menerus—terkadang memakai peci, kopiah maupun penutup kepala
sejenis.
Memakai imâmah hukumnya adalah sunnah baik
untuk shalat atau sekadar sebagai perhiasan. Hal ini berdasar atas beberapa
hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Meskipun hadits-hadits tersebut dinilai dlaif, namun karena jumlahnya yang
banyak, antara satu hadits dengan yang lain menjadi saling menguatkan. Demikian
diungkapkan oleh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hâsyiyah al-Jamal.
Salah satu hadits yang menyebutkan bagaimana
Rasul memakai imâmah adalah sebagai berikut:
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ
عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berkhutbah di hadapan
masyarakat sedangkan beliau mengenakan imâmah berwarna hitam.” (HR Muslim:
452)
Ada yang berpandangan, imamah adalah pakaian
adat. Ia mempunyai kedudukan seperti halnya bagaimana Rasulullah mengenakan
baju, memakai terompah, buang air kecil, dan lain sebagainya. Apakah kemudian
menggunakan baju, terompah, buang air kecil itu menjadi sunnah karena
Rasulullah memakainya atau melakukannya? Jika Baginda Nabi makan dan minum,
apakah otomatis sunnah bagi kita melakukan kegiatan yang sama?
Terdapat definisi sunnah yang mempunyai makna
bahasa (lughatan), yaitu semua jenis perilaku Rasulullah. Hanya bermakna
perilaku. Istilah ini lebih lekat dengan dalam disiplin hadits. Dalam ilmu
fiqih, sunnah bermakna satu hal yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala,
apabila ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa. Dalam konteks makna sunnah
sebagai perilaku Rasul itu, posisi sunnah tak ubahnya adat atau kebiasaan
manusia pada umumnya.
Lain dari pandangan di atas, menurut kalangan
Syafiiyyah, menggunakan imâmah adalah sunnah baik secara istilah hadits maupun
secara kaca mata fiqih. Artinya, menggunakannya mendapatkan pahala, jika tidak
menjalankan, tidak mendapatkan dosa. Berikut penjelasan Syekh Sulaiman
al-Jamal:
وَتُسَنُّ
الْعِمَامَةُ لِلصَّلَاةِ وَلِقَصْدِ التَّجَمُّلِ لِلْأَحَادِيثِ الْكَثِيرَةِ
فِيهَا
Artinya: “Disunnahkan memakai imâmah untuk
shalat dan dalam rangka berhias diri karena banyak hadits yang menyebut hal
tersebut.” (Sulaiman al-Jamal, Hâsyiyah al-Jamal, [Beirut, Ihyâut Turats al-Arabiy:
tanpa catatan tahun], juz 2, halaman 89)
Masih dalam kitab yang sama, Syekh Sulaiman
juga mengatakan, sunnah pula memakai kopiah/peci di dalam imâmah maupun memakai
peci saja tanpa menggunakan imâmah.
Pernyataan Syekh Sulaiman tersebut senada dengan
perkataan mufti Hadramaut, Sayyid Abdurrahman Ba Alawi dalam karyanya Bughyatul
Mustarsyidîn sebagai berikut:
وَتَحْصُلُ
سُنَّةُ الْعِمَامَةِ بِقَلَنْسُوَةٍ وَغَيْرِهَا
Artinya: “Kesunnahan memakai imâmah dapat
pula dicapai dengan memakai peci atau sejenisnya.” (Sayyid Abdurrahman Ba
Alawi, Bughyatul Mustarsyidîn, [Beirut, Dârul Fikr, 1994), halaman 144).
Dengan demikian dapat disimpulkan, memakai
peci, kopiah ataupun penutup kepala sejenis merupakan kesunnahan secara fiqih
karena dianggap sama dengan imamah, serta Rasulullah juga menggunakan
itu.
Sebagaimana kesunnahan yang mirip dengan adat
yang lain, seperti gosok gigi, i’tikaf dan lain sebagainya, memakai imamah
ataupun peci, bagi pemakainya akan mendapatkan pahala jika disertai dengan niat
melakukannya dalam rangka melaksanakan kesunnahan atau meniru perilaku
Rasulullah ﷺ.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar