Hukum, Waktu, dan Cara
Membaca Ta’awudz atau Isti’adzah
Secara bahasa isti’adzah berarti
doa untuk memohon perlindungan dan penjagaan. Secara istilah isti’adzah adalah
kalimat yang dimaksudkan untuk memohon perlindungan dan penjagaan kepada Tuhan
yang Maha Pelindung dari bisikan dan godaan syaitan.
Ia bagaikan tabir untuk menghalangi datangnya
keburukan yang tidak tampak, keburukan yang bersifat batiniah. Nabi secara
tegas mengajarkan kepada dua sahabat yang sedang bertikai untuk membaca
isti’adzah agar amarah dan angkuh dalam jiwanya melebur menjadi ketenangan.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa membaca
isti’adzah merupakan permohonan agar terhindar dari hal-hal negatif yang
bersifat batiniah, dan untuk mendatangkan kebaikan. Membaca isti’adzah
merupakah anjuran yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, ia boleh dibaca
kapan saja, lebih-lebih dibaca saat membaca Al-Qur’an.
Redaksi isti’adzah yang paling populer dan
unggul menurut jumhur ulama dan praktisi ahli qira’at adalah (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) karena sesuai dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam
Al-Qur’an tertera pada surat al-Nahl ayat 98, (فإِذَا
قَرَأْتَ اْلقُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ). Sedangkan dalam hadits yaitu
diriwayatkan oleh Nafi’ dari Jubair bin Mut’im dari bapaknya dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, “Sesungguhnya Beliau membaca isti’adzah sebelum membaca
Al-Qur’an persis seperti lafadz di atas”, (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ).
Ada banyak ragam redaksi yang akan penulis ulas pada tulisan berikutnya dalam
pandangan para ahli qira’at.
Para ulama sepakat bahwa isti’adzah bukan
bagian dari Al-Qur’an. Meskipun demikian, jumhur ulama menganjurkan bagi orang
yang hendak membaca Al-Qur’an untuk membacanya, baik ketika membaca di awal
surat atau pertengahan surat. Tapi sebagian riwayat menyatakan bahwa anjuran di
atas tidak sekadar anjuran yang bersifat tanpa tuntutan namun anjuran yang
bersifat keharusan, yaitu wajib.
Berangkat dari ayat 200 al-A’raf, ayat 98
Surat al-Nah, ayat 56 Surat Ghafir dan ayat 36 Surat Fussilat, (فَاسْتَعِذْ بِاللهِ), kiranya perlu dipetakan beberapa hal yang terkait dengan isti’adzah.
Pertama, mengenai hukum membaca isti’adzah. Kedua waktu membaca
isti’adzah; sebelum atau setelah membaca Al-Qur’an. Ketiga, cara
membacanya; dikeraskan atau direndahkan suaranya saat membaca isti’adzah.
Hukum Membaca Isti’adzah
Mengenai hukum membaca isti’adzah para ulama
berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada kalimat perintah (amr) yang terdapat
pada ayat 98 Surat al-Nahl (فَاسْتَعِذْ بِاللهِ). Menurut jumhur ulama dan para ahli
qira’at, kalimat amr (perintah) dalam ayat di atas mengindikasikan arti sunnah,
maka tidak berdosa bagi orang yang tidak membaca isti’adzah. Sebab tidak ada
tuntunan dari Nabi yang mengahruskan untuk membaca isti’adzah. Meskipun Nabi
mengajarkan cara baca mengenai isti’adzah namun hal tersebut tidak diharuskan.
Pendapat ini kemudian oleh banyak kalangan dianggap seperti ijma’.
Sedangkan menurut sebagian ulama, membaca
isti’adhah hukumnya wajib karena kalimat perintah dalam ayat di atas
menunjukkan arti yang hakiki, yaitu harus dilaksanakan dan tidak ada petunjuk
yang dapat merubah perintah tersebut. Menurut Ibnu Sirin kewajiban ini hanya
cukup sekali seumur hidup. Oleh karena itu, apabila seorang telah membaca
isti’adzah sekali saja dalam hidupnya, maka gugurlah kewajiban tersebut.
Namun Imam Fakhruddin al-Razi, ia bersikukuh
berpendapat bahwa secara tekstual ayat di atas menunjukkan perintah yang harus
dilaksanakan. Menurutnya, hal ini diperkuat bahwa Nabi tidak pernah
meninggalkan membaca isti’adzah. Oleh karena itu, berdosalah bagi orang yang
tidak membaca isti’adzah. Selain itu, sebagian riwayat juga menyatakan bahwa
kewajiban membaca isti’adzah ini hanya berlaku untuk Nabi, bukan untuk
ummatnya.
Kapan Isti’adzah Dibaca?
Jika melihat pada ayat 98 Surat al-Nahl, maka
membaca isti’adzah dilakukan setelah membaca Al-Qur’an, sebab menggunakan
bentuk masa lampau (madhi). Namun hal demikian, menurut jumhur ulama
bahwa membaca isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini
dianalogikan dengan ayat 6 Surat al-Maidah tentang wudhu’, meskipun dalam ayat
di atas berbentuk masa lampau (madhi) namun kandungan artinya bermakna
akan datang (mustaqbal), sebagaimana dalam ayat berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ
“Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka
basuhlah wajahmu.”
Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa
membaca isti’adzah dilakukan setelah membaca Al-Qur’an, karena melihat pada
dhahir teks ayat. Untuk mengetengahkan pendapat yang saling bersebrangan di
atas, ada yang berpendapat, sebaiknya isti’adzah dibaca sebelum dan sesudah
membaca Al-Qur’an, karena untuk momohon penjagaan dari hal-hal yang buruk
sebelum membaca dan menghilangkan rasa ujub ketika selesai membaca. Oleh karena
itu, membaca isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an, karena sesuai
dengan petunjuk Nabi ketika menerima dari Jibril dan kemudian diajarkan kepada
Ibnu Mas’ud.
Mengeraskan atau Merendahkan Suara?
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa seluruh
ulama sepakat bahwa isti’adzah bukan bagian dari ayat Al-Qur’an. Berangkat dari
pernyataan di atas, apakah boleh mengeraskan suara saat membaca isti’adzah,
sementara ia bukan bagian dari ayat Al-Qur’an?
Para ulama berbeda pendapat tentang cara
membaca isti’adzah. Sebagian ulama ada yang memilih untuk mengeraskan bacaan
isti’dzah dan ada pula yang memilih untuk merendahkannya. Adapun sebagian besar
ulama qira’at memilih untuk mengeraskan suara ketika membaca isti’adzah,
kecuali Imam Nafi’ dan Imam Hamzah yang memilih untuk merendahkan suara ketika
membacanya.
Dari perbedaan di atas, Imam Khalaf
al-Husainiy menjelaskan bahwa mengeraskan atau merendahkan suara saat membaca
isti’adzah dapat dilakukan sesuai dengan kondisi tententu. Berikut
penjelasannya. Seorang qari’ dianjurkan mengeraskan suara apabila:
• Membaca dihadapan orang yang menyimak
bacaannya, agar penyimak dapat memperhatikan secara seksama dan mengikuti
bacaannya sejak awal,
• Hendak memulai mempedengarkan bacaan kepada
seorang guru, supaya seorang guru dapat memperhatikannya dan membenarkan jika
terdapat kesalahan,
• Tidak bermaksud untuk membaca Al-Qur’an
dengan merendahkan suara.
• Tidak dalam keadaan sholat, karena membaca
bacaan dalam sholat dianjurkan untuk merendahkan suara.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, Imam
Khalaf al-Hasaniy bersenandung lewat bait syair:
إذَا
مَا أَرَدْتَ الدَّهْرَ تَقْرَأُ فَاسْتَعِذْ ** وَبالْجَهْرِ عِنْدَ الْكُلِّ فِى
الْكُلِّ مُسْجَلاً
بشَرْطِ
اسْــتِمَاعٍ وَابْتِدَاءِ دِرَاسَةٍ ** وَلاَ مُـخْفِيًا أَوْ فىِ الصَّلاَةِ
فَفَصَّـــلاَ
Sementara merendahkan suara dianjurkan
apabila:
• Seorang qori’ bermaksud membaca dengan
suara rendah, baik dalam suatu majlis atau sendirian.
• Tidak dalam keramaian, baik hendak membaca
dengan suara rendah atau tinggi.
• Jika berada dalam shalat, baik shalat
jahriyah maupun sirriyah.
• Membaca ketika berada di tengah-tengah
jama’ah yang belajar al-Quran. Misalnya membaca bergiliran dalam maqra’ah
(majlis penghafal Al-Qur’an).
Refrensi
Al-Hasany, Hasan Khalaf, Tahrir
Masail al-Syatibiyah, Tanta: Dar al-Shahabah, 2004.
Al-Qadhiy, Abdul Fattah, Al-Buduruzzahirah,
Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiy, tt.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
al-Adhim, tt.
Imam al-Qurtubiy, al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, tt.
[]
Moh. Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar