Kamis, 29 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Hukum, Waktu, dan Cara Membaca Ta’awudz atau Isti’adzah


Hukum, Waktu, dan Cara Membaca Ta’awudz atau Isti’adzah

Secara bahasa isti’adzah berarti doa untuk memohon perlindungan dan penjagaan. Secara istilah isti’adzah adalah kalimat yang dimaksudkan untuk memohon perlindungan dan penjagaan kepada Tuhan yang Maha Pelindung dari bisikan dan godaan syaitan.

Ia bagaikan tabir untuk menghalangi datangnya keburukan yang tidak tampak, keburukan yang bersifat batiniah. Nabi secara tegas mengajarkan kepada dua sahabat yang sedang bertikai untuk membaca isti’adzah agar amarah dan angkuh dalam jiwanya melebur menjadi ketenangan.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa membaca isti’adzah merupakan permohonan agar terhindar dari hal-hal negatif yang bersifat batiniah, dan untuk mendatangkan kebaikan. Membaca isti’adzah merupakah anjuran yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, ia boleh dibaca kapan saja, lebih-lebih dibaca saat membaca Al-Qur’an. 

Redaksi isti’adzah yang paling populer dan unggul menurut jumhur ulama dan praktisi ahli qira’at adalah (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) karena sesuai dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Qur’an tertera pada surat al-Nahl ayat 98, (فإِذَا قَرَأْتَ اْلقُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ). Sedangkan dalam hadits yaitu diriwayatkan oleh Nafi’ dari Jubair bin Mut’im dari bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya Beliau membaca isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an persis seperti lafadz di atas”, (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ). Ada banyak ragam redaksi yang akan penulis ulas pada tulisan berikutnya dalam pandangan para ahli qira’at.

Para ulama sepakat bahwa isti’adzah bukan bagian dari Al-Qur’an. Meskipun demikian, jumhur ulama menganjurkan bagi orang yang hendak membaca Al-Qur’an untuk membacanya, baik ketika membaca di awal surat atau pertengahan surat. Tapi sebagian riwayat menyatakan bahwa anjuran di atas tidak sekadar anjuran yang bersifat tanpa tuntutan namun anjuran yang bersifat keharusan, yaitu wajib. 

Berangkat dari ayat 200 al-A’raf, ayat 98 Surat al-Nah, ayat 56 Surat Ghafir dan ayat 36 Surat Fussilat, (فَاسْتَعِذْ بِاللهِ), kiranya perlu dipetakan beberapa hal yang terkait dengan isti’adzah. Pertama, mengenai hukum membaca isti’adzah. Kedua waktu membaca isti’adzah; sebelum atau setelah membaca Al-Qur’an. Ketiga, cara membacanya; dikeraskan atau direndahkan suaranya saat membaca isti’adzah.

Hukum Membaca Isti’adzah

Mengenai hukum membaca isti’adzah para ulama berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada kalimat perintah (amr) yang terdapat pada ayat 98 Surat al-Nahl (فَاسْتَعِذْ بِاللهِ). Menurut jumhur ulama dan para ahli qira’at, kalimat amr (perintah) dalam ayat di atas mengindikasikan arti sunnah, maka tidak berdosa bagi orang yang tidak membaca isti’adzah. Sebab tidak ada tuntunan dari Nabi yang mengahruskan untuk membaca isti’adzah. Meskipun Nabi mengajarkan cara baca mengenai isti’adzah namun hal tersebut tidak diharuskan. Pendapat ini kemudian oleh banyak kalangan dianggap seperti ijma’. 

Sedangkan menurut sebagian ulama, membaca isti’adhah hukumnya wajib karena kalimat perintah dalam ayat di atas menunjukkan arti yang hakiki, yaitu harus dilaksanakan dan tidak ada petunjuk yang dapat merubah perintah tersebut. Menurut Ibnu Sirin kewajiban ini hanya cukup sekali seumur hidup. Oleh karena itu, apabila seorang telah membaca isti’adzah sekali saja dalam hidupnya, maka gugurlah kewajiban tersebut.

Namun Imam Fakhruddin al-Razi, ia bersikukuh berpendapat bahwa secara tekstual ayat di atas menunjukkan perintah yang harus dilaksanakan. Menurutnya, hal ini diperkuat bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan membaca isti’adzah. Oleh karena itu, berdosalah bagi orang yang tidak membaca isti’adzah. Selain itu, sebagian riwayat juga menyatakan bahwa kewajiban membaca isti’adzah ini hanya berlaku untuk Nabi, bukan untuk ummatnya. 

Kapan Isti’adzah Dibaca?

Jika melihat pada ayat 98 Surat al-Nahl, maka membaca isti’adzah dilakukan setelah membaca Al-Qur’an, sebab menggunakan bentuk masa lampau (madhi). Namun hal demikian, menurut jumhur ulama bahwa membaca isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Hal ini dianalogikan dengan ayat 6 Surat al-Maidah tentang wudhu’, meskipun dalam ayat di atas berbentuk masa lampau (madhi) namun kandungan artinya bermakna akan datang (mustaqbal), sebagaimana dalam ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu.”

Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa membaca isti’adzah dilakukan setelah membaca Al-Qur’an, karena melihat pada dhahir teks ayat. Untuk mengetengahkan pendapat yang saling bersebrangan di atas, ada yang berpendapat, sebaiknya isti’adzah dibaca sebelum dan sesudah membaca Al-Qur’an, karena untuk momohon penjagaan dari hal-hal yang buruk sebelum membaca dan menghilangkan rasa ujub ketika selesai membaca. Oleh karena itu, membaca isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an, karena sesuai dengan petunjuk Nabi ketika menerima dari Jibril dan kemudian diajarkan kepada Ibnu Mas’ud.

Mengeraskan atau Merendahkan Suara?

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa seluruh ulama sepakat bahwa isti’adzah bukan bagian dari ayat Al-Qur’an. Berangkat dari pernyataan di atas, apakah boleh mengeraskan suara saat membaca isti’adzah, sementara ia bukan bagian dari ayat Al-Qur’an?

Para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca isti’adzah. Sebagian ulama ada yang memilih untuk mengeraskan bacaan isti’dzah dan ada pula yang memilih untuk merendahkannya. Adapun sebagian besar ulama qira’at memilih untuk mengeraskan suara ketika membaca isti’adzah, kecuali Imam Nafi’ dan Imam Hamzah yang memilih untuk merendahkan suara ketika membacanya. 

Dari perbedaan di atas, Imam Khalaf al-Husainiy menjelaskan bahwa mengeraskan atau merendahkan suara saat membaca isti’adzah dapat dilakukan sesuai dengan kondisi tententu. Berikut penjelasannya. Seorang qari’ dianjurkan mengeraskan suara apabila: 

• Membaca dihadapan orang yang menyimak bacaannya, agar penyimak dapat memperhatikan secara seksama dan mengikuti bacaannya sejak awal,

• Hendak memulai mempedengarkan bacaan kepada seorang guru, supaya seorang guru dapat memperhatikannya dan membenarkan jika terdapat kesalahan,

• Tidak bermaksud untuk membaca Al-Qur’an dengan merendahkan suara.

• Tidak dalam keadaan sholat, karena membaca bacaan dalam sholat dianjurkan untuk merendahkan suara.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, Imam Khalaf al-Hasaniy bersenandung lewat bait syair:

إذَا مَا أَرَدْتَ الدَّهْرَ تَقْرَأُ فَاسْتَعِذْ ** وَبالْجَهْرِ عِنْدَ الْكُلِّ فِى الْكُلِّ مُسْجَلاً
بشَرْطِ اسْــتِمَاعٍ وَابْتِدَاءِ دِرَاسَةٍ ** وَلاَ مُـخْفِيًا أَوْ فىِ الصَّلاَةِ فَفَصَّـــلاَ

Sementara merendahkan suara dianjurkan apabila:

• Seorang qori’ bermaksud membaca dengan suara rendah, baik dalam suatu majlis atau sendirian.

• Tidak dalam keramaian, baik hendak membaca dengan suara rendah atau tinggi.

• Jika berada dalam shalat, baik shalat jahriyah maupun sirriyah.

• Membaca ketika berada di tengah-tengah jama’ah yang belajar al-Quran. Misalnya membaca bergiliran dalam maqra’ah (majlis penghafal Al-Qur’an).

Refrensi
Al-Hasany, Hasan Khalaf, Tahrir Masail al-Syatibiyah, Tanta: Dar al-Shahabah, 2004.
Al-Qadhiy, Abdul Fattah, Al-Buduruzzahirah, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiy, tt.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, tt.
Imam al-Qurtubiy, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, tt.

[]

Moh. Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar