Semangat Berkurban Rakyat Sumpur Kudus
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya termasuk perantau yang tetap punya ikatan emosional dengan bumi kelahiran. Sebagai perantau yang sudah berlangsung 68 tahun, sungguh senang jika di 'nagari tersuruk' itu, Sumpur Kudus, di kaki Bukit Barisan, Sumatra Barat, mendengar kabar gembira dari sana.
Kabar itu berupa semangat rakyat berkurban yang cukup tinggi pada Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1442 H/20 Juli 2021, sepekan lalu.
Sewaktu kecil, bahkan sampai usia saya puluhan tahun, seingat saya tidak ada rakyat di sana, termasuk mereka yang dianggap mampu, tergerak hatinya untuk berkurban. Fenomena yang menyenangkan ini belum terlalu lama, mungkin sejak sekitar lima tahun terakhir.
Padahal, sebagian besar anak nagari itu bukan orang yang berpunya. Jumlah pengusahanya kurang dari hitungan jari sebelah tangan.
Bagaimana memahami kabar gembira itu? Mungkin karena pengetahuan dan penghayatan agama rata-rata penduduk ada peningkatan sehingga berpengaruh pada semangat berkurban itu, justru pada saat wabah sedang merajalela.
Sejak 1 Desember 2010, nagari itu dimekarkan jadi dua: Sumpur Kudus dan Sumpur Kudus Selatan yang sebelumnya bernama Desa Calau. Jumlah penduduk masing-masing nagari itu sampai Juni 2021 adalah 3.568 dan 1.683 jiwa.
Sebagian pemudanya marantau jadi tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya ke Malaysia. Sejak Covid-19, banyak yang pulang kampung, karena keadaan ekonomi negeri jiran itu juga sedang jatuh.
Untunglah sekarang ini harga karet alam, sumber rezeki sebagian besar rakyat Sumpur Kudus, agak membaik. Faktor ini tentu punya dampak positif bagi peningkatan jumlah hewan kurban.
Dengan penduduk gabungan dua nagari itu sebesar 5.251, jumlah hewan kurban mencapai 72 ekor. Sebagian besar jenis sapi bali yang berat dagingnya rata-rata sekitar 60 kg, plus beberapa ekor sapi lokal yang timbangannya lebih berat.
Perinciannya, Sumpur Kudus 59 ekor, Sumpur Kudus Selatan 13 ekor, dijumlah menjadi 72 ekor, angka tertinggi sepanjang pengetahuan saya yang memang selalu memantau situasi di sana.
Dalam perkiraan kasar saya, berat daging sapi bali dan sapi lokal yang berjumlah 72 ekor itu, bisa mencapai 4.350 kg. Jumlah KK di dua nagari itu masing-masing 1.024 dan 481=1.505 KK.
Jika sahibul kurban yang berjumlah 504 (72x7) dapat bagian satu per tiga dari 4.350 kg=1.450 kg. Hitungannya, 4.350-1.450=2.900 kg. Kemudian jumlah yang 1.505 KK-504 sahibul kurban yang tak perlu menerima bagian lagi, maka angka penerima tersisa adalah 1.001 KK.
Daging yang seberat 2.900 kg itu dibagi 1.001 KK= 2,9 kg (kurang lebih). Lihatlah perbandingan angka jumlah penduduk dan sahibul kurban. Sekitar 10 persen rakyat di sana ikut berkurban tahun ini. Belum pernah terjadi sebelumnya.
Jika misalnya dibagikan rata, satu KK mendapat bagian masing-masing 2,9 kg daging kurban secara gratis. Angka ini melebihi bagian yang diterima sahibul kurban untuk jenis sapi bali. Manakala cara semacam ini yang dijalankan panitia, sungguh sangat fenomenal.
Namun, terlepas dari cara mana pun yang dijalankan, asal sesuai tuntunan agama, jumlah hewan kurban yang demikian tinggi untuk nagari yang hidup rakyatnya pas-pasan, patut benar disyukuri dan beritanya perlu disebarluaskan.
Siapa tahu, nagari-nagari tetangga pada tahun-tahun mendatang akan mengikuti semangat rakyat Sumpur Kudus ini. Apa makna semuanya ini ditinjau dari sisi agama dan kemanusiaan?
Sebagai nagari yang tersuruk dengan rakyatnya yang sudah terbiasa hidup dalam keadaan serba sederhana dalam rentang waktu puluhan jika bukan ratusan tahun, perayaan tahunan Idul Kurban ini benar-benar membahagiakan.
Sebagian besar penduduk nagari itu jarang sekali makan daging sapi atau kerbau. Sekalipun hanya datang sekali setahun, tidak diragukan lagi, ajaran agama tentang berkurban yang menurut fikih sebagai sunah muakad telah berimpit rapat dengan sisi kemanusiaan.
Bagi si miskin, peristiwa kurban ini benar-benar dirasakan sebagai sentuhan ajaran agama yang langsung dialamatkan kepada nasib mereka.
Bagi tuan dan puan yang belum begitu mengenal kehidupan kampung miskin dari jarak dekat, apa yang saya tulis ini mungkin terasa baru.
Namun, bagi mereka yang memahami apa makna kemiskinan itu terhadap fisik dan jiwa manusia diharapkan, akan semakin menggerakkan relung hatinya untuk bersedia berbagi dengan sesama.
Kesediaan berkurban adalah salah satu wujud dari semangat mau berbagi itu sebagai warisan spiritual abadi dari abu al-anbiya’ nabi Ibrahim AS, ribuan tahun yang silam (lih Al Quran surah al-Shaffat ayat 100-107).
Karena nilai warisan itu teramat agung dan mulia dari sisi keagamaan dan sosial kemanusiaan, akan tetap dijalankan oleh Muslim sepanjang masa, sampai merapuhnya dunia ini. []
REPUBLIKA, 27 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar