Senin, 02 Agustus 2021

Buya Syafii: Alquran Pro Si Miskin tetapi Antikemiskinan (I)

Al Quran Pro Si Miskin tetapi Antikemiskinan (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Dalam sebuah acara Maarif Institute di kawasan Bogor beberapa tahun lalu, saya sudah berbicara tentang tema ini. Sepintas lalu seperti terkesan paradoks, tetapi bukan.

 

Ayat-ayat Alquran mengenai pembelaan terhadap manusia miskin, telantar, tak beruntung, terpinggirkan, anak yatim, dan mereka yang berada dalam kategori serupa, cukup banyak.

 

Bahasa yang digunakan Alquran adakalanya keras, membidik jantung persoalan dengan cara tembak di tempat. Ada pula bersifat lunak, lembut, tetapi maknanya dalam, langsung dialamatkan ke pusat kesadaran manusia sebagai makhluk sosial agar hati nuraninya jangan sampai tiarap untuk berbagi.

 

Semuanya ini menunjukkan sikap Alquran yang pro si miskin. Contoh yang keras, misalnya dapat dibaca dalam surah Makkiyah, al-Ma’un (sebagian mufasir menempatkan surat ini sebagai Madaniyah).

 

Dalam surat ini, orang yang tidak menghiraukan anak yatim dan orang miskin dikategorikan sebagai pendusta terhadap agama atau hari kiamat. Diksi yang digunakan sangat tajam: “Tahukah engkau (Muhammad) orang yang mendustakan agama (ayat 1)?”

 

Narasi yang lunak dan halus dapat dibaca, misalnya dalam surah Madaniyah, Ali ‘Imran ayat 134 dengan alur kalimat “Alladzîna yunfiqûna fî al-sarrâi wa al-dharrâi” (orang-orang yang memberikan hartanya di saat lapang dan di saat sempit).

 

Ada pula digambarkan sebagai jalan pendakian terjal (al-‘aqabah) karena beratnya nasib manusia telantar, budak, yatim, dan orang miskin yang perlu mendapat bantuan dan perhatian.

 

Kita kutip maknanya: “Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan. Dan ia tidak menempuh jalan pendakian yang terjal itu. Tahukah engkau apa itu jalan pendakian yang terjal itu? (Yaitu) membebaskan hamba dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. Terhadap anak yatim yang bertalian kerabat. Atau orang miskin yang terkapar di debu.” (Lih surah Makkiyah, al-Balad ayat 10-16).

 

Ayat-ayat di atas bertujuan satu: manusia jangan bakhil, kedekut, karena harta itu punya fungsi sosial. Mengabaikan fungsi sosial ini sama artinya berkhianat terhadap Allah dan kemanusiaan. Manusia, siapa pun dia, tidak mungkin hidup sendirian tanpa keterlibatan orang lain. Prinsip saling bergantung bersifat kodrati.

 

Tak seorang pun boleh mengingkarinya. Ingkar terhadapnya sama dengan merusak dan melumpuhkan martabat kemanusiaannya. Dari ayat-ayat itu dan banyak yang lain, saya berkesimpulan, Alquran sangat pro orang miskin.

 

Namun, kemiskinan itu haruslah bersifat sementara, tidak boleh permanen karena pada waktu yang sama,  jelas kitab suci ini antikemiskinan, antikemelaratan, antibudaya tangan di bawah, pro tangan di atas.

Ada ungkapan, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Artinya, kemiskinan itu harus dihalau sejauh mungkin, sekalipun dalam kenyataannya tidak mudah. Tangan di bawah adalah sifat manusia paria.

Manusia beriman haruslah sebagai pemberi, bukan peminta. Karakter Alquran yang antikemiskinan ini mesti dikenalkan kepada anak mulai dari tingkat sekolah dasar agar setelah dewasa menjadi manusia petarung yang suka memberi.

 

Perintah Alquran untuk mengeluarkan zakat, memberikan infak, sedekah, dan perbuatan mulia lainnya (terlalu banyak untuk dikutip) mengisyaratkan dengan tegas agar manusia beriman tidak boleh miskin, harus kaya.

 

Orang yang gemar memberi mestilah orang yang punya. Hidup orang miskin berat sekali. Sulit baginya mengangkat muka di depan orang lain karena dirinya merasa hina dengan menanggung beban perasaan yang nyaris tak terpikul.

 

Memang ada kemiskinan struktural sebagai bagian dari sistem ekonomi yang tunakeadilan. Namun, jika semangat sebagai manusia suka memberi dilatih sejak kecil, dampak kemiskinan struktural itu tidak akan masif.

 

Akan ada saja peluang-peluang ekonomi yang bisa ditempuh dengan syarat otak mesti kreatif dan jaringan diperkuat. Seorang yang beriman harus punya moto, “Aku gemar memberi, pantangan meminta!”

 

Dengan menggunakan parameter ini, kita bisa meneropong suasana dunia Muslim dalam berbagai periode sejarah. Pada periode tertentu, bisa diamati sampai di mana ajaran Alquran dijadikan pedoman dalam kehidupan kolektif untuk merebut posisi tangan di atas. Sesuatu yang memang sangat ditekankan.

 

Dan pada periode lain, mengapa pula ajaran itu diabaikan, disengaja atau karena kebodohan sehingga sebagian Muslim menjadi manusia tangan di bawah, peminta-minta. Sesuatu yang berseberangan dengan kehendak Alquran dari sisi mana pun orang membacanya.

 

Doa yang hampir selalu diucapkan, “Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirati hasanah wa qina ‘adzab al-nar” (surah al-Baqarah ayat 201) memuat ajaran keseimbangan: sentosa kini dan di sini, bahagia nanti dan di sana.

 

Jangan terjebak dalam ungkapan: biar sengsara kini dan di sini, tetapi sentosa nanti dan di sana. Ini bukan ajaran Alquran karena berlawanan dengan prinsip keseimbangan itu. Ungkapan "sengsara di sini, bahagia di sana” adalah kicauan manusia pemalas.

 

Manusia beriman pantangan baginya berleha-leha berkepanjangan. Umur tidak boleh disiakan-siakan untuk sesuatu yang tunamakna! []

 

REPUBLIKA, 15 Juni 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar