Selasa, 03 Agustus 2021

Guntur: Kidung Tolak Bala dan Estetika Istana

Kidung Tolak Bala dan Estetika Istana

Oleh: Guntur Soekarnoputra

 

Membaca artikel di harian Kompas (20/6/2021), yang ditulis Mawar Kusuma Wulan berjudul ”Kidung Tolak Bala dan Estetik Istana”, saya tertarik untuk memberikan komentar dan pandangan atas artikel tersebut.

 

Tulisan tersebut membangkitkan kenangan pada masa puluhan tahun lalu ketika saya masih kanak-kanak dan tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, sejak 1949, dan merasakan hampir semua Istana Kepresidenan di Indonesia.

 

Namun, saat dewasa, di awal Orde Baru, saya dan keluarga harus meninggalkan Istana Merdeka secara tergesa-gesa. Saat itu, keluarga hanya diberikan waktu 2 x 24 jam untuk segera pergi sehingga tidak sempat membawa seluruh benda-benda milik pribadi, apalagi Bung Karno melarang keras keluarga membawa benda-benda milik Istana, yang notabene inventarisasi negara.

 

Selain hanya sempat membawa seperangkat pakaian yang kebetulan belum dicuci dan masih di lemari pakaian kotor, juga hanya bisa mengangkut sejumlah barang pribadi. Di antaranya, peralatan-peralatan sulap, alat melukis seperti kotak cat minyak merek Rembrandt lengkap dengan palet dan kuas, piringan-piringan hitam Elvis Presley, Orkes Gumarang, Taruna Ria, dan Kwartet Bintang juga Band Aneka Nada, kelompok musik saya waktu itu.

 

Saya sengaja meninggalkan Istana Merdeka pada hari terakhir deadline pukul 00.00. Sebenarnya saya sempat terpikir hendak membawa sebuah lukisan wanita telanjang di ruang makan pribadi di sebelah kamar tidur. Namun, hal ini akan melanggar larangan Bung Karno karena lukisan tersebut adalah milik negara. Kebetulan juga, bagasi mobil sport Kharman Ghia, kepunyaan saya, juga tidak cukup untuk memuat barang ”curian” itu. Alhasil, saya batal membawa lukisan wanita telanjang.

 

Barter kemeja ”Arrow”

 

Berapakah jumlah lukisan Istana yang dikoleksi Bung Karno saat itu? Tidak ada yang tahu pasti. Perkiraan saya, jumlahnya sampai 3.000 lukisan, yang terdiri dari 2.000 lukisan yang dipajang di istana, mulai dari Istana Merdeka dan Istana Negara, Jakarta, Istana Cipanas, Istana Bogor, Istana Yogyakarta (Gedung Agung), Istana Bali (Tampaksiring), juga istana di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Sementara, masih ada sekitar 1.000 lukisan yang masih tersimpan rapi di gudang istana dalam keadaan tergulung belum dibingkai.

Benar apa yang ditulis di harian Kompas, salah seorang kurator lukisan di era Bung Karno adalah Dullah. Istilah yang digunakan saat itu bukan kurator, melainkan pengurus lukisan termasuk koleksi keramik dan patung-patung yang diberikan atau dibeli Bung Karno.

 

Selain Dullah, pelukisnya, Istana juga menunjuk AR Gapoer sebagai pelaksana administrasi. Dialah yang setiap hari memeriksa kondisi seluruh benda-benda seni koleksi Bung Karno di Istana Merdeka, Istana Negara, dan berkeliling secara berkala ke istana-istana lainnya, termasuk Wisma Tamu (Wisma Negara di kompleks Istana Jakarta), Pelabuhan Ratu; dan Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) yang diberikan Bung Karno kepada Dewi Soekarno.

 

Mengenai kategorisasi lukisan-lukisan seperti yang diutarakan Mike Susanto, di era Bung Karno istilah kurator itu belum dikenal. Juga soal harga lukisan-lukisan tersebut, sejauh yang saya ketahui hal itu tidak pernah disebut-sebut.

 

Pasalnya, tidak ada tolok ukurnya untuk menilai secara materi dan rupiah lukisan-lukisan tersebut, mengingat Bung Karno mengoleksi lukisan-lukisan dengan berbagai cara. Selain ada yang dibeli langsung dari pelukisnya, biasanya pembayarannya dicicil, ada juga dengan jalan barter. Misalnya, lukisannya dihargai dengan kemeja merek Arrow milik Presiden Soekarno.

 

Bahkan, ada juga pelukis yang secara sukarela menghadiahkan lukisannya kepada Bung Karno ketika berulang tahun. Dan, ada yang langsung memberikan kepada Bung Karno meskipun saat itu Bung Karno secara terus terang menjelaskan kepada sang pelukis bahwa dirinya sama sekali tidak punya uang. Seperti mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso yang memberikan hadiah sebuah lukisan kepada Bung Karno secara gratis.

 

Bung Karno yang terkenal sebagai Presiden, yang kantongnya selalu kempis untuk membeli lukisan, akhirnya sering dibantu oleh pengusaha-pengusaha yang menjadi sahabatnya sejak di era perjuangan revolusi. Misalnya, pada periode 1927-1933, ada Dasaad Musin, Hasyim Ning. Belakangan, ada juga pengusaha bernama Markam dan Karkam.

 

Oleh karena itu, jika kita hendak mengetahui harga lukisan-lukisan Istana tersebut secara satu per satu pada saat itu, rasanya sangat sulit karena sangat bervariatif dan tidak ada tolok ukurnya. Menurut hemat saya, jika kita sekarang ingin mengetahui harga setiap lukisan tadi ada baiknya kita panggil juru lelang Christy yang terkenal dari Singapura dan menilai harga lukisan-lukisan tersebut satu per satu.

 

Hal tersebut di atas pernah saya utarakan kepada Sekretaris Menteri Sekretariat Negara S Utomo melalui telepon untuk bahan pemikiran. Saya juga sempat mendengar bahwa Kementerian Keuangan tengah melakukan revaluasi aset atau penilaian terhadap setiap lukisan Istana, yang perkembangannya sampai sekarang belum dilaporkan ke publik.

 

Di era Bung Karno, semua koleksi lukisan keramik, patung-patung di Istana Kepresidenan, seluruhnya adalah koleksi pribadi Bung Karno. Tidak ada benda-benda seni milik pribadi pejabat-pejabat pemerintahan seperti sekarang yang ditulis dalam artikel tersebut di atas, milik pejabat yang sengaja dipajang di sekitar Istana untuk memperindah ruang kerjanya.

 

Dahulu, untuk menunjukkan apakah lukisan itu milik Bung Karno pribadi atau negarta, dapat dilihat dari belakang frame setiap lukisan. Lukisan pribadi milik Bung Karno akan dituliskan sendiri oleh Bung Karno: ”milik Bung Karno”. Sebaliknya lukisan yang dibeli Bung Karno dengan uang negara dituliskan ”milik negara”.

 

Untuk mengetahui jumlah lukisan koleksi Bung Karno pada saat itu, sebenarnya mudah karena kalau tidak salah pada 1964, Bung Karno pernah memerintahkan agar seluruh lukisan-lukisan koleksinya dibuat foto reproduksinya dan dicetak di dua negara, yaitu Jepang dan RRT (kini China). Buku tersebut terdiri dari empat buku berisikan koleksi Bung Karno yang jumlahnya ada sekitar 2.000 (atau 3.000) foto lukisan berwarna.

 

Namun, sayang, saat ini buku koleksi lukisan-lukisan tersebut sudah tidak terdengar lagi keberadaannya. Saya tidak pernah dengar lagi ada di mana, sementara saya sendiri tidak memiliki salinan buku-buku tersebut. Barangkali Arsip Nasional masih menyimpannya karena buku-buku tersebut terdiri dari empat jilid. Jadi, jika hendak mengetahui jumlah sebenarnya dari koleksi lukisan Bung Karno, buku-buku tersebut harus dicari dan dapat menjadi acuan yang akurat sekarang ini terkait keberadaan koleksi lukisan istana.

Berpindah lokasi

 

Pada masa era Presiden Soeharto, saya masih sempat memantau sebagian kecil kondisi lukisan, keramik, dan patung-patung koleksi Bung Karno karena masih diizinkan untuk berkunjung, bahkan menginap di Istana Cipanas, Jawa Barat. Kebetulan, sejak dulu Istana Cipanas menjadi tempat favorit saya untuk menginap di salah satu paviliunnya. Di sana, salah satunya, ada bangunan yang pernah dirancang dan dibangun Bung Karno, yaitu Rumah Bentol, rumah yang dindingnya dibangun dengan konstruksi batu-batu kali.

 

Di era pandemi Covid-19 melanda Indonesia, saat berkunjung ke Istana Merdeka menemui Presiden Joko Widodo, saya menunggu di ruang tunggu Istana Merdeka, yang dahulu bernama kamar merah karena seluruh gorden-gordennya oleh Ibu Fatmawati Soekarno dipilih warna merah. Di kamar merah tersebut tergantung sebuah lukisan besar yang dinamakan ”Putri Mutiara”. Lukisan tersebut karya pelukis Philipina, Garcia Ilamas.

 

Lukisan tadi ternyata tidak saya temukan lagi. Di ruang pertemuan dengan Presiden, saya juga tidak menemukan lukisan Kawan-kawan Revolusi, karya Sudjojono, yang menjadi kebanggaan Bung Karno bahkan menjadi latar belakang sampul buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II.

 

Setelah bertemu dengan Presiden ketika hendak pulang, saya berkesempatan untuk melongok ke kamar-kamar yang berada dekat ruang pertemuan, termasuk kamar makan keluarga yang sekarang berubah total menjadi ruang kerja. Di ruang tersebut dahulu tergantung lukisan ”Dua Orang Pengemis dan Gadis Aceh”, karya Dullah.

 

Saya juga memperhatikan lubang bekas tembusan kanon MIG-17 yang diawaki oleh Daniel Alexander Maukar yang tepat mengenai kursi di mana Bung Karno biasa duduk makan bersama keluarga. Ternyata tembok tersebut sudah ditambal kembali di era Orde Baru. Begitu pula lubang bekas peluru yang menembus kaca benggala di ruang kredensial Istana Merdeka itu pun sudah lenyap di era Orde Baru.

 

Ketika saya menginap di Istana Cipanas, seluruh lukisan di era Bung Karno masih tergantung pada tempatnya. Pada November beberapa tahun lalu menginap lagi di Istana Cipanas, saya sempatkan ”melongok” gedung utamanya. Ternyata ada beberapa lukisan yang tidak saya temukan lagi, antara lain lukisan reproduksi karya Rembrandt. Kemudian lukisan ”Wanita Solo Berkebaya” yang tergantung di dinding sebelah lukisan ”Seribu Pandang” itu pun tidak saya temukan.

 

Di awal Orde Baru, saat ke Istana Bogor karena diundang hadir resepsi acara Wakil Presiden Adam Malik, saya diizinkan untuk meninjau kamar-kamar di Istana. Yang tidak saya temui di antaranya lukisan karya Trubus, kalau tidak salah ingat sebuah lukisan wanita. Saya mengenal Trubus cukup baik karena yang bersangkutan sering mengajar saya cara melukis menggunakan cat minyak dan pensil.

 

Almarhum Trubus biasanya datang ke Istana Merdeka malam hari sebelum makan malam dan memberi pelajaran di ruang tengah Istana Merdeka, tempat sidang-sidang kabinet. Selain melukis sosok manusia dan pemandangan, Trubus juga piawai melukis wayang kulit. Saya sering minta dilukiskan tokoh-tokoh wayang seperti Gatotkaca, Bima, dan Sentiaki yang menjadi favorit saya. Belakangan saya baru tahu bahwa Trubus sempat masuk tahanan karena keanggotaannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang konon berafiliasi kepada PKI.

 

Di saat era Orde Baru, seluruh patung-patung tanpa busana terutama di gedung induk Istana Merdeka dan Istana Negara, oleh Ibu Negara di perintahkan agar dibalut dengan kain putih sehingga nilai estetikanya menjadi menurun. Bahkan, banyak lukisan wanita tanpa busana, seperti lukisan ”Ni Polok” dan ”Di antara Bunga-bunga Sepatu Warna Merah”, karya Le Majeur ”terpaksa” harus masuk gudang.

 

Patung telanjang yang harus dibalut kain putih termasuk di antaranya yang diberi nama si Denok oleh Bung Karno. Belakangan saya temui patung tersebut sudah pindah lokasi di Istana Cipanas dan berada di antara rumpun bunga-bunga. Patung pemanah yang semula berada di tengah-tengah kolam di depan Istana Merdeka, hingga kini juga harus hijrah ke kolam di depan Istana Negara.

 

Kalau disebutkan oleh Mike Susanto bahwa lukisan-lukisan tersebut di antaranya dapat menjadi ”obat penenang” jika pembahasan di rapat belum mendapat kesepakatan, hal itu ada benarnya. Jika Bung Karno sedang ”sumpek” pikirannya, kerap kali duduk berjam-jam di depan sebuah lukisan pemandangan karya Basuki Abdullah atau lukisan Jatayu, Sinta, Rahwana yang saat ini juga sudah taka ada lagi di tempatnya semula.

 

Akhir dari artikel ini, saya akan mengomentari pendapat Mike Susanto yang ingin agar seorang calon presiden harus dinilai terlebih dahulu bagaimana apresiasi dan perspektif seninya terhadap lukisan koleksi istana. Menurut Mike, karena kalau tidak dinilai, sang capres bisa dinilai kering seni dan seperti sosok yang tidak tahu kebudayaan dan peradaban karena urusan paling jujur dari peradaban di antaranya estetika.

 

Wah hebat! Pendapat Mike tentu sah-sah, tetapi saya khawatir, jangan-jangan persyaratan itu akan membuat heboh seperti urusan tes wawasan kebangsaan di Komisi Pemberantasan Korupsi  beberapa waktu lalu. []

 

KOMPAS, 18 Juli 2021

Guntur Soekarnoputra | Putra Sulung Presiden Pertama RI; Pemerhati Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar