Muhammadiyah dan Tradisi Berpikir Keilmuan
Oleh: Haedar Nashir
Muhammadiyah sejak berdirinya membangun tradisi berpikir yang kuat dalam diksi tajdid dan berkemajuan Kiai Haji Ahmad Dahlan selain dikenal cerdas juga memelopori penggunaan nalar keilmuan yang tinggi.
Muhammadiyah kemudian dikenal sebagai gerakan Islam reformis dan modern, yang di dalamnya melekat alam pikiran maju. Kiai Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah bahkan disebut sebagai pembaru atau mujadid, yang pemikirannya menurut Nurcholish Madjid melampaui zamannya.
Setiap warga, lebih utama kader dan pimpinan Muhammadiyah, penting untuk menguatkan dan mengembangkan tradisi berpikir yang kokoh yang telah diletakkan oleh Muhammadiyah dan pendiri gerakan Islam ini.
Hal itu dimaksudkan untuk menghadapi perkembangan kehidupan dan lahan dakwah yang semakin kompleks serta kemajuan zaman di era modern abad ke-21 yang sarat tantangan.
Karenanya anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh lingkungan termasuk amal usaha dituntut terus menerus mengembangkan kualitas berpikir agar gerakan Islam modern terbesar ini makin bekemajuan dan mampu memberikan jawaban atas permasalahan zaman yang dihadapi.
Seraya tidak perlu gumunan atau mudah terpesona dengan isu-isu, wacana, dan figur yang kelihatan dari permukaan menawarkan cara berpikir yang “hebat” tetapi secara substansi tidak menawarkan pemikiran yang mendalam dan belum tentu sejakan dengan nalar keislaman Muhammadiyah.
Pemikiran Maju
Muhammadiyah sejak awal memelopori gerakan pemikiran maju atau berkemajuan. Istilah “kemajuan”, “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah.
Dalam Statuten pertama tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “…b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”, yakni memajukan perihal Agama Islam kepada seluruh anggota masyarakat.
Secara kelembagaan Muhammadyah melahirkan berabagai usaha dakwah seperti tabligh, pendidikan, taman pustaka, PKU, dan sebagainya merupakan hasil olah pemikiran yang cerdas dalam rapat-rapat tahunan.
Lahirnya Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan kemudian organisasi otonom lainnya juga merupakan buah pemikiran yang maju. Keterlibatan Aisyiyah dalam kepeloporan Kongres Perempuan tahun 1928 dengan pidatonya merupakan bukti kemajuan berpikir perempuan Muhammadiyah.
Tahun 1926 Muhammadiyah melahirkan Tarjih untuk membahas masalah-masalah keagamaan sebagai bentuk ijtihad yang maju, bukan sebagai bentuk kerangkeng berpikir sebagaimana ditudingkan sementara pihak.
Tahun 1938 Muhammadiyah mendiskusikan Lima Masalah penting yakni tentang agama, ibadah, dunia, sabilullah, dan ijtihad sampai diputuskan Muktamar Tarjih tahun 1954-1955. Di kemudian hari era 1990an dan 2000an lahir Manhaj Tarjih sebagai sistem pemikiran baku dalam memutuskan urusan keagamaan yang bersifat aktual.
Tafsir Tematik dan Tafsir At-Tanwir merupakan karya Majelis Tarjih yang luar biasa kaya dengan menggunakan berbagai pendekatan. Lahirnya pendekatan bayani, burhani, dan irfani merupakan cara berpikir dan pandangan Muhammadiyah yang sangat maju melampaui yang lain, mungkin bagi sebagian pimpinan Muhammadiyah sendiri jarang dibaca dan diapresiasi.
Pemikiran Muhammadiyah lainnya tidak kalah cemerlang. Sebutlah langkah Dua Belas Muhammadiyah (1938), Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946), Kepribadian Muhammadiyah (1956, 1962), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (1966), Khittah Muhammadiyah (1971, 2002), Islam dan Dakwah (1986), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010), Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2007), Indonesia Berkemajuan (2014), Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah (2015).
Demikian pula dengan berbagai fikih kontemporer seperti Fikih Antikorupsi, Fikih Perempuan, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Teologi Lingkungan, Fikih Al Ma’un, Fikih Informasi, dan sebagainya yang tergolong sebagai fikih baru atau fikih jadid.
Semua pemikiran tersebut isinya sangat mendasar dan lengkap, yang dibahas dengan perdebatan yang tinggi. Di dalamnya terkandung epistemologi dan metodologi berpikir yang kuat dan kaya. Terkandung pandangan filsafat atau kalam, dirasah Islamiyah atau Islamic studies, dan ilmu pengetahuan klasik maupun modern.
Dalam membahas pemikiran tersebut juga kuat logika atau mantiq yang dimiliki pada ulama dan pemikir Muhammadiyah, yang sejak di pesantren diajarkan mantiq, ushul fikih, dan berbagai dasar ilmu pengetahuan.
Ketika tahun 1970-1980 dibahas Risalah Islamiyah, Prof Rasyidi bahkan memperkenalkan pendekatan fenomenologi sebagai model berfikir baru dalam khazanah pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Para pemikir Muhammadiyah setelah era 2000an memperkenalkan filsafat pengetahuan, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi, hermeneutik, dan berbagai aspeknya.
Hal itu menggambarkan betapa kaya pemikiran Muhammadiyah dengan dasar berpikir yang kuat disertai dukungan logika, filsafat, dan ilmu pengetahuan multiperspektif atau multiparadigma yang menunjukkan kecerdasan dan kearifan yang kaya di tubuh organisasi Islam modern ini.
Pemikiran Personal
Kiai Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah pelopor berpikir tajdid atau pembaruan. Pikiran-pikiran dasar dan langkah-langkah awal Kiai Dahlan sejak meluruskan arah kiblat sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan dan mempraktekkan Al-Ma’un, dan membentuk pranata-pranata amaliah sosial Islam yang bersifat modern, semuanya menunjukkan pada pikiran maju.
Dalam tulisan tahun 1921, Kiai Dahlan selain mengupas tentang pemimpin berkemajuan, persatuan pemimpin dan manusia sebagai makhluk Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal, kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 1-9).
Kiai Dahlan memperkenal apa yang disebut “akal suci” atau “akal murni”, padahal dia tidak berkenalan dengan filsafat Emmanuel Kant yang berbicara tentang akal-murni.
Fakhrudin sejak muda menjadi penulis ulung, yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah yang berdiri tahun 1915. Kiai Hadjid menuliskan karya dan pemikiran Kiai Dahlan, yang disebut Falsafah Ajaran Kiai Dahlan.
Kiai Mansur banyak menulis, yang menganjurkan paham Islam berkemajuan. Para ulama Muhammadiyah lulusan pesantren diajarkan berbagai ilmu, termasuk logika atau mantiq serta ushul fiqh, sehingga mereka kuat dalam berpikir.
Buya Hamka sangat dikenal sampai ke mancanegara karena pemikirannya, termasuk melahirkan Tafsir Al Azhar, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, serta ratusan karya keilmuan lainnya, yang bukunya dibaca publik sampai sekarang.
Para tokoh Muhammadiyah mutakhir seperti Pak AR Fakhruddin, Prof Ahmad Azhar Basyir, Prof Amien Rais, Prof Ahmad Syafii Maarif, dan Prof M Din Syamsuddin kaya dengan keilmuan sesuai bidangnya. Para tokoh itu juga belajar filsafat atau falsafah, mantiq atau logika, dan berbagai khazanah ilmu lainnya.
Prof Kuntowijoyo memperkenalkan Paradigma Ilmu dan Islam Profetik, sebagai sesuatu yang terbilang baru. Prof Mukti Ali mempelopori Ilmu Perbandingan Agama dengan pendekatan integratif.
Prof Amin Abdullah dikenal sebagai cendekiawan muslim ahli falsafah, yang disertasinya membahas filsafat etik Al-Ghazali dan Emmanuek Kant, suatu objek studi yang terbilang berat. Kita dapat merujuk para tokoh atau kader Muhammadiyah lulusan perguruan tinggi di dalam dan kuar negeri yang kini bersebaran di Perguruan Tinggi Muhammdiyah maupun Swasta dan Negeri, mereka memilki keilmuan yang luas dan mendalam, termasuk para intelektual muda Muhammadiyah. Mereka memiliki khazanah ilmu yang kuat, boleh jadi tidak pupuler di layar kaca dan tidak kontroversial, sehingga dianggap kurang menarik.
Poin pentingnya baik secara institusi maupun personal bahwa Muhammadiyah itu kaya dengan khazanah ilmu dan pemikiran. Namun di era media sosial dan kontroversi politik publik, boleh jadi kekuatan ilmu sebagai khazanah di lingkungan Muhammadiyah itu kurang berkembang dan disosialisasikan secara luas, sehingga sering kalah populer dari orang lain.
Mungkin pula karena terlibat dengan urusan-urusan rutin dan amal usaha sering kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat publikasi keilmuan dan pemikiran, meskipun kini mulai bertumbuh menulis di jurnal internasional.
Mudah-mudahan pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah masih tetap dibaca dengan keseksamaan dan bukan hanya sebatas verbal, karena substansi dan epistemologinya pun terkandung kuat di dalamnya.
Semua orang Muhammadiyah tentu penting belajar ilmu pada siapapun, bahkan terhadap mereka yang berbeda paham, agama, dan golongan karena mencari ilmu itu wajib. Jangan sampai Muhammadiyah menggelorakan Islam Berkemajuan, gerakan pencerahan, dan pemikiran maju lainnya sementara anggotanya tidak akrab dengan ilmu dan pikiran maju.
Sebaliknya sangat ironis kalau tidak suka belajar ilmu dan pemikiran maju, sehingga menjadi jumud dan taklid. Namun anggota Muhammadiyah jangan gumunan atau mudah terpesona dengan orang atau isu dan wacana yang kelihatan hebat dari luar tetapi sesungguhnya biasa saja dalam dunia keilmuan dan pemikiran.
Dalam dunia kontemporer dan medsos saat ini sering terjadi simulacra, yakni menampilkan sosok atau isu yang semu atau menunjukkan realitas buatan, sehingga lahir idola-idola baru laksana panggung Indonesia Idol. Belajar kepada siapapun niscaya, tetapi jangan mudah terbawa arus pikiran pihak lain tanpa dasar ilmu. Jauhi pula sikap taklid atau suka membebek pada orang atau pendapat orang tanpa berpikir kritis dan cerdas.
Penting juga belajar berpikir mandiri agar tidak mudah mendewakan orang lain yang sesungguhnya biasa. Sikap yang juga perlu dihindari ialah merasa diri tidak memiliki apa-apa hanya karena kurang merawat milik sendiri dan gampang terpesona dengan orang lain, seperti pepatah “rumput hijau milik sendiri tampak kuning, rumput kuning milik tetangga terlihat hijau”. Jadilah ulil-albab! []
Sumber: Suara Muhammadiyah dari Majalah SM Edisi 7 Tahun 2019
REPUBLIKA, 21 Juli 2021
Prof Haedar Nashir | Ketua Umum Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar