Belakangan ini muncul kembali kontroversi lebih hangat di tanah air, terutama di berbagai media sosial, dan menimbulkan simpang siur di masyarakat tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang, nominalnya dan tatacaranya.
Pada dasarnya dalam mazhab fiqih, hukum zakat fitrah menggunakan uang (qîmah)
ada dua pendapat: Syafi’iyah dan Jumhur (mayoritas ulama) tidak membolehkan dan
tidak mengesahkan, sementara Hanafiyah membolehkan dan mengesahkan (Ket: Kitâb
al-Majmû‘, t.t., Juz 6, hlm. 94, Juz 5 hlm. 401, Ibn Qudâmah, al-Mughnî, 1997,
Juz IV, hlm. 295-296, dan al-Jazâirî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, 2005,
Juz I, hlm. 504-506).
Dalam konteks kontemporer saat ini, khususnya di Indonesia, hukum zakat fitrah
menggunakan uang terdapat setidaknya 4 (empat) pendapat/pandangan. Pertama,
tidak boleh (tidak sah) zakat fitrah menggunakan uang (qîmah), berpegang secara
konsisten pada mazhab Syafi’iyah, yang mewajibkan zakat fitrah dengan makanan
pokok, seperti beras bagi orang Indonesia, dengan kadar 1 sha’ beras sebesar
2,75 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat Jumhur Ulama, dan masih sangat banyak
diikuti oleh masyarakat umum. Ini juga terkait Keputusan Muktamar NU ke-4 tahun
1929 yang tidak membolehkan zakat penghasilan tanah dengan uang, --termasuk
juga zakat fitrah (Lihat Ahkâm al-Fuqahâ’, 2011, hlm. 63-64).
Kedua, boleh zakat fitrah menggunakan uang dengan mengikuti pendapat yang membolehkan, seperti pendapat al-Tsaurî, dan mazhab Hanafiyah, tetapi harus konsisten bermazab Hanafiyah secara total. Termasuk dalam kelompok ini, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta tentang Hukum dan Pedoman Pelaksanaan Zakat Fitrah dengan Uang, tanggal 9 Juni 2018, dan Surat Edaran Bersama Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur dan Surat Edaran Lazisnu Jawa Timur tanggal 13 Mei 2020, tentang Pedoman dan Kadar Zakat Fitrah.
Menurut MUI Jakarta, perhitungan zakat dalam bentuk uang harus mengikuti
Hanafiyah, yaitu 1/2 shâ‘ gandum (burr/hinthah) termasuk tepungnya (sawiq), dan
dzabîb (kismis), atau 1 shâ‘ kurma (tamr), sya‘îr (jelai) dan keju, senilai
3,2615 kg (3,3 kg). Dalam Surat Edaran Bersama LBMNU Jawa Timur disebutkan
lebih rinci ketentuan tata cara pembayaran menggunakan uang, harus
mengikuti mazhab Hanafi secara total, dengan uang senilai 3,8 kg kurma yang berkualitas,
bahkan diperinci kadarnya satu sha’ 3,8 kg sesuai salah satu pilihan takaran
harga, misalnya harga terbesar untuk kurma ajwa (Rp1.140.000,-), dan gandum (½
sha’ Rp 63.000,-).
Bila tetap mengikuti mazhab Syafi’iyah, maka zakat fitrahnya wajib menggunakan
beras, dapat dilakukan dengan cara panitia zakat menyiapkan beras 2,7 kg,
kemudian beras tersebut dibeli oleh calon muzakki, dan beras tersebut
diserahkan sebagai zakatnya.
Ketiga, boleh zakat fitrah menggunakan uang mengikuti pendapat Imam ar-Rûyânî
(415 H), ulama mazhab Syafiiyah, meskipun lemah, yang membolehkan zakat fitrah
dengan uang, dipandang lebih baik daripada berpindah mazhab atau mengikuti
mazhab lainnya (intiqâl al-mazhab/talfîq), dengan zakatnya 2,5 kg atau 3,5
liter beras. Ini misalnya Keputusan BM LBM PWNU Provinsi Banten tentang Sahnya
Zakat Fitrah dengan Uang dalam mazhab Syafi’i, tanggal 18 Mei 2020, dengan
berpijak pada kitab Thabaqât al-Fuqahâ’ al-Syâfi‘iyîn karya ‘Imâd ad-Dîn Ibn
Katsîr, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971, Juz II, hlm. 24.
Keempat, boleh zakat fitrah dengan menggunakan uang mengikuti pendapat
Hanafiyah dan Syekh Ibn Qasim, seorang ulama Malikiyah, dengan mengikuti mazhab
Syafiiyah dalam menggunakan nominal harga beras sesuai kualitas layak konsumsi
masyarakat sebesar 2,75 kg atau 3,5 liter beras atau versi lain 2,5 kg.
Tentang besaran zakatnya tersebut mengikuti mazhab Syafiiyah, tidak mengikuti
pendapat Hanafiyah, yang bila dibandingkan nominalnya justru lebih besar/berat
daripada ukuran Syafiiyah, terlebih menggunakan nominal selain beras (apalagi
kurma).
Pendapat ini merupakan hasil bahtsul masail LBM PBNU tentang Pembayaran Zakat
Fitrah dengan Uang, tertanggal 18 Mei 2020, dengan mengunakan model intiqâl
al-mazhab fî ba‘dh al-masâ’il (berpindah mazhab dalam sebagian masalah/tidak
secara utuh).
Pandangan ini merujuk pada keterangan dalam kitab Syekh Nawawi al-Bantani, al-Tsimâr al-Yâni‘ah Syarh Riyâdh al-Badî‘ah (Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, t.t., hlm. 13), tentang model intiqâl (merangkai pelaksanaan suatu perbuatan hukum dengan cara melompat dari satu pendapat ke pendapat lain) ada tiga pendapat: dilarang mutlak; dibolehkan mutlak; dan tafshîl (diperinci), boleh bila tidak tidak menyalahi ijma’, tetapi tidak boleh bila menyalahi ijma’, seperti nikah tanpa mahar, tanpa wali dan sekaligus tanpa saksi, karena ini tidak ada ulama yang membolehkan.
Talfîq dan Memilih Pendapat Hukum yang Ringan sebagai Solusi
Mencermati keempat model pendapat hukum tentang zakat fitrah menggunakan uang di atas, tampak bahwa: pendapat pertama rigid (kaku) karena tidak membolehkan zakat fitrah dengan uang; pendapat kedua lebih lentur, tetapi ketat karena tidak membolehkan intiqâl mazhab dalam sebagian masalah (talfîq); pendapat ketiga, semi lentur, karena menggunakan pendapat yang lemah, tetapi tetap konsisten dalam satu mazhab, yakni mazhab Syafi’iyah, tidak memilih intiqâl mazhab/talfîq; dan pendapat keempat, sangat lentur (dinamis) menggunakan intiqâl mazhab/talfîq untuk memilih model yang paling ringan dan maslahat dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang dengan kadar yang paling rendah (2,5 kg atau 2,7 kg/3,5 liter beras, sekitar Rp 35.000,-, dengan hitungan perliter Rp 10.000,-).
Model yang keempat tersebut diterapkan pula dalam fatwa Dâr al-Iftâ’ Mesir,
membolehkan uang sebesar, £15 (15 EGP, Poun Mesir, sekitar 15.000,- IDR),
sebagai ukuran nilai terkecil untuk gandum, sebagai makanan pokok negara
tersebut.
Penulis lebih cenderung pada pendapat yang lebih selaras dengan fiqih yang
bersifat dinamis dan maslahat, sebagaimana paradigma penulis, Meneguhkan fiqih yang Dinamis dan Maslahat (1-6), dalam NU
Online (April-Mei 2020).
Dalam hal ini, pendapat yang membolehkan zakat fitrah dengan uang mengikuti model intiqâl mazhab fî ba‘dh al-masâ’il atau talfîq, atau mengikuti pendapat yang lemah dalam mazhab Syafii, lebih sesuai dengan sifat fiqih yang dinamis dan maslahat, yang dicirikan dengan meneguhkan asas at-taysîr, yakni memberikan kemudahan, dan raf’ al-haraj, menghilangkan kesulitan terhadap muzakki (orang yang berzakat), serta lebih maslahat bagi muzakki juga bagi mustahiq (penerima zakat).
Model memilih pendapat a-Rûyanî, yang dinilai lemah tersebut, merupakan model al-akhdz aw al-ikhtiyâr bi-aisar al-madzâhib, yakni mengambil/memilih pendapat yang paling ringan di antara mazhab, yang di dalamnya lebih mengandung kemaslahatan (al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, hlm. 84-85).
Taqlîd kepada pendapat ulama yang tidak lebih utama (taqlîd al-mafdhûl), ada
tiga pendapat, di antaranya membolehkan dan diunggulkan oleh Ibnu Hâjib, karena
terjadi pada masa sahabat dan selainnya secara nyata dan tanpa diingkari.
(Lihat al-Bannânî, Hâsyiyat al-‘Allâmah al-Bannânî, 2003, Juz II, hlm. 396, dan
al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1996, hlm. 356-357).
Dalam putusan LBM PBNU, sifat dinamis dan maslahatnya tampak dalam memberikan kemudahan (solusi) dengan mendasarkan kebolehan intiqâl al-mazhab atau lebih tepatnya talfîq dalam hal mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang, serta dengan mengikuti ukuran yang lebih ringan, ukuran Syafi’iyah, yaitu 2,7 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter beras, tidak mengikuti ukuran Hanafiyah yang lebih berat, sebesar 3,8 kg kurma, anggur dan/atau gandum.
Ini merupakan bentuk talfîq yang diperbolehkan oleh para ulama, di antaranya
al-Kamâl ibn al-Humâm, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili (1932-2015). Talfîq semacam
itu diperbolehkan karena tidak termasuk dalam kategori talfîq mamnû‘ (dilarang)
karena batal demi hukum (bâthil li-dzâtih) atau karena faktor eksternal
(al-‘awârdh), yang mengakibatkan penentangan terhadap ijma‘ atau rusaknya
tatanan hukum (az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa-Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr,
2009, Juz I, hlm. 98-99).
Justru talfîq semacam ini lebih selaras dengan prinsip atau asas kemudahan
dalam beragama (mabda’ au asas al-yusr/at-taisîr, QS. 2: 185) dan menghilangkan
kesulitan atas masyarakat (raf‘ al-haraj) serta toleran (as-samâhah) yang
merupakan tujuan dan substansi hukum Islam (maqâshid al-syarî‘ah) dalam rangka
memberikan perlindungan dan kemaslahatan bagi manusia (mashâlih
al-'ibâd).
Talfîq dan memilih pendapat hukum yang ringan (al-akhdz au al-ikhtiyâr bi-aisar
al-madzâhib), merupakan model hukum dengan paradigma at-taysîr, memberikan
kemudahan (bukan tasydîd, memberatkan), menjadi solusi hukum, karena lebih
sejalan dengan tujuan dan substansi hukum Islam, dan telah diterapkan di
berbagai negara di belahan benua: Afrika, Eropa, Amerika, Australia dan Asia.
Menolak talfîq ataupun mengambil pendapat yang lemah atau ringan yang lebih
dinamis dan maslahat merupakan bentuk kekakuan atau kebekuan (jumûd) dalam
beragama yang justru menyusahkan manusia itu sendiri, karena tidak selaras
dengan prinsip dan asas Islam, yakni memberikan kemudahan, kemaslahatan dan
kerahmatan. Wallâhu A‘lam bish-shâwwâb. []
Ahmad Ali MD, Penulis Keislaman, Anggota Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar