Perbincangan persoalan hisab-rukyat senantiasa relevan saat menjelang bulan-bulan penting yaitu Ramadhan, Syawwal dan Dzulqa’dah. Indonesia salah satu negara yang menetapkan bulan-bulan penting tersebut atas dasar rukyat hilal, bukan hisab.
Banyak ilmu hisab yang berkembang dan diamalkan di negeri ini sehingga perbedaan awal Ramadhan dan dua hari raya di kalangan kaum muslimin hampir pasti terjadi akibat dari perbedaan ilmu hisab yang digunakan atau cara rukyat yang tidak prosedural.
Rasulullah SAW sudah menegaskan bahwa ketentuan permulaan dan akhir puasa Ramadhan adalah dengan rukyat (melihat dengan mata) terhadap hilal. Rasulullah Saw bersabda :
ـ حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ زيادٍ قال: سمعتُ أبا هُريرةَ رضيَ اللّهُ عنهُ يقول: قال النبيُّ صلى الله عليه وسلّم ـ أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ وأفطِروا لرُؤيته، فإن غُبِّيّ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».
Artinya, “Adam menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ziyad menceritakan kepada kami, ia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah RA berkata bahwa Nabi SAW bersabda (atau dia mengatakan) bahwa Abul Qasim SAW bersabda, ‘Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena telah melihat hilal. Apabila hilal tertutup debu atas kalian, maka sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari,’” (HR Bukhari).
Lalu bagaimana posisi ilmu hisab terhadap rukyat, haruskah dipertentangkan? Ilmu Hisab/Ilmu Falak (Astronomi Islam) yang terus berkembang pesat seiring kecanggihan teknologi tentu tidak boleh diabaikan. Memang ia masuk ranah ilmu pasti (eksak), namun dalam pandangan fiqih tetaplah ia zhanniy atau spekulatif. Oleh sebab itu keduanya (hisab dan rukyat) harus diposisikan sesuai dengan fungsinya, yaitu ilmu hisab sebagai penopang bagi rukyat yang berkualitas dan rukyat sebagai penentu masuknya bulan (syahr) baru.
Di samping ditopang oleh hasil hisab yang akurat, rukyat harus dilakukan pada waktunya dan oleh perukyat yang dipercaya agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk dijadikan dasar penentu awal bulan-bulan penting, hasil rukyat masih diperlukan itsbat hakim selanjutnya baru dijadikan dasar penetapan awal bulan oleh negara.
Hukum rukyat adalah fardhu kifayah. Rukyat dilaksanakan pada hari yang ke-29 sesudah tenggelam matahari. Apabila pada petang itu hilal terlihat, maka berarti malam itu memasuki bulan baru. Apabila hilal tidak terlihat, maka bulan sedang berjalan digenapkan 30 hari, lalu besok malamnya baru tanggal 1 bulan berikutnya.
يفترض على المسلمين فرض كفاية ان يلتمسوا الهلال في غروب اليوم التاسع والعشرين من شعبان ورمضان حتى يتبينوا امر صومهم وافطارهم
Artinya, “Fardhu kifayah atas umat Islam mencari (merukyat) hilal pada saat tenggelam matahari hari ke-29 dari bulan Sya’ban dan Ramadhan sehingga menjadi jelas urusan puasa dan hari raya mereka,” (Abdur Rahman Al-Jazairi, Al-Fiqhu ala Mazhahibil Arba’ah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1424 H/2002 M], juz I, halaman 551).
Ketika negara telah menetapkan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulqa’dah atas dasar rukyat, umat Islam di negeri itu seharusnya tunduk terhadap satu ketetapan, tetapi realitanya tidak demikian, masih ada yang bersikukuh menggunakan hasil hisabnya.
Sikap ini memang masih bisa tercover oleh pendapat fiqih asalkan hisabnya menggunakan hisab istilahi (astronomi) bukan hisab urfi.Jadi pengamalan hisab mengharuskan terpenuhinya dua syarat, yaitu penggunaan hisab istilahi (astronomi) dan hasil hisab diterapkan/dipergunakan pada saat rukyat hilal pada petang itu dinyatakan tidak berhasil/gagal.
Penerapan hasil hisab jika mengacu pada satu riwayat hadits yang diklaim mazhab hisab sebagai dasar bagi ilmu hisab mengiringi pada kegagalan rukyat sebagaimana halnya ikmal/istikmal juga mengiringi kegagalan rukyat. Karena pernyataan hadits “فَاقْدِرُوا لَهُ” dan “فأكملوا” sama-sama jatuh sesudah “فاء الجواب” dari "ان شرطية" pada fi’il syarat mengenai kegagalan rukyat pada pernyataan sebelumnya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ»
Artinya, “Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihat hilal. Lalu jika hilal tertutup mendung atas kalian, maka perkirakanlah ia,” (HR Bukhari-Muslim).
وَرَوَى بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ إِذَا أُغْمِيَ الْهِلَالُ رَجَعَ إِلَى الْحِسَابِ بِمَسِيرِ الْقَمَرِ وَالشَّمْسِ
Artinya, “Sebagian ulama salaf (generasi sebelum abad ke-5 H) meriwayatkan, apabila hilal terkendala (tidak terlihat), maka kembali kepada hisab perjalanan rembulan dan matahari (hisab astronomi),” (Ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid, [Kairo, Darul Hadits: 1425 H/2004 M], juz II, halaman 46).
Sekalipun harus berbeda di antara kita, ada hal yang mesti kita hindari: jangan sampai menimbulkan gejolak, saling mengejek, dan menyalahkan. Jadi kita harus berani berstatemen “Bersepakat dalam Perbedaan Demi Menjaga Persatuan.” []
KH Ahmad Asyhar, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar