Perlakukan Nabi terhadap Umat Non-Muslim (10)
Membolehkan Kebaktian di Kompleks Masjid
Oleh: Nasaruddin Umar
Di dalam kitab Al-Sirah al-Nabawiyah, jilid II, hal. 426-428, karya Ibn Hisyam, salah seorang ahli sejarah muslim terkemuka, dijelaskan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad Saw menerima kedatangan tamu tokoh lintas agama berjumlah 60 orang. Sebanyak 14 orang di antaranya dari Nashrani Najran, antara lain: Abdul Masih Ayham, Abu Haritsah, Aus, al-Harits, Zaid, Qais, Yazid, Nabih, Khuwailid, 'Amr, Khalid, 'Abdullah, dan Yuhannas. Mereka dipimpin oleh Abdul Masih Ayham. Mereka masing-masing menggunakan jubah kebesarannya. Mereka datang saat Nabi Muhammad Saw sedang shalat Ashar. Di antara rombongan itu ada yang ingin melaksanakan kebaktian dan melakukannya di dalam (kompleks) masjid dengan menghadap ke arah Timur. Mereka diizinkan melakukan kebaktian itu karena tidak ada gereja yang dekat di kawasan itu.
Riwayat ini mengundang kontroversi di kalangan ulama. Sebagian ulama menjadikan kisah ini sebagai dasar bolehnya non-muslim. Umumnya ulama berpendapat bolehnya non-muslim masuk ke dalam masjid kecuali Masjid Haram, bukan saja karena riwayat ini tetapi juga melalui sejumlah riwayat lain di tambah dengan perlakuan sejumlah sahabat yang membolehkan orang-orang non-muslim memasuki masjid, seperti yang ditunjukkan oleh dua Umar, yaitu Umar ibn Khaththab yang terkenal dengan Piagam Ailah-nya, dan Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal dengan sikap toleransinya terhadap umat non-muslim.
Pengecualian Masjid Haram karena ada dalilnya secara khusus disebutkan dalam ayat: " Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. at-Taubah (9): 28). Hanya Abu Hanifah yang pernah ditemukan pendapatnya membolehkan orang-orang Yahudi Nashrani berkunjung ke Masjid Haram. (Wacana ini dapat dilihat di dalam Kitab Tafsir al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, karya Al-Qurthubi, jilid IV, h. 450.
Kontroversi boleh tidaknya non-muslim melakukan kebaktian di masjid atau di kompleks masjid muncul karena cerita tersebut di atas tidak didukung oleh hadis atau riwayat yang shahih. Sedangkan Sirah (Buku Tarikh) tidak bisa dijadikan dasar untuk hal-hal yang bersifat hukum apalagi yang bersifat akidah. Itulah sebabnya tidak umum di jumpai pendapat memperbolehkan masjid digunakan sebagai kebaktian oleh umat non-muslim. Kalaupun kenyataan dalam kisah di atas terjadi dianggap pengecualian karena di Masjid Nabi ketika itu tidak ada gereja yang dekat sementara tamu Nabi terdesak oleh waktu.
Ada kalangan ulama mengomentari bahwa kebaktian yang dilakukan tamu Nabi tidak dilakukan di dalam Masjid tetapi di samping masjid, meskipun masih tetap di kompleks masjid. Kita ketahui bahwa di samping atau di emper masjid Nabi ada sejumlah daerah atau tempat hunian, termasuk pondok Ahl al-Shuffah, yang ditempati sejumlah sahabat Nabi seperti Abi Hurairah. Ada juga tempat khusus untuk tempat menginap para tamu Nabi. Mungkin salah satu tempat itulah para tokoh lintas agama itu melakukan kebaktian. Poin penting di dalam sejarah di atas Nabi mengetahui dan mengizinkan tokoh lintas agama melakukan kebaktian di kompleks masjidnya. Allahu a'lam. []
DETIK, 06 April 2021
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar