Masalah Pancasila, Trisila, dan Ekasila menarik perhatian Rais Aam PBNU 1984-1991 M KH Achmad Siddiq. Pada sebuah makalah panjang yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 1983 (ketika pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi orpol dan ormas ketika itu), KH Achmad Siddiq sempat menyingung masalah Pancasila, Trisila, dan Ekasila yang kembali didiskusikan.
KH Achmad Siddiq (1926-1991 M) mengatakan, penggunaan nama Pancasila bagi dasar negara Republik Indonesia tidak tertulis dalam undang-undang Dasar 1945, baik pada pembukaannya, batang tubuhnya, maupun pada penjelasannya. (Lihat KH Achmad Siddiq (ed Choirul Anam), Pemikiran KH Achmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 69).
Menurutnya, penggunaan nama itu semula hanya untuk mempersingkat penyebutan butir-butir dasar negara yang tercantum pada undang-undang dasar 1945 (pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya), supaya tidak usah memerincinya satu per satu. Meskipun demikian, tidak boleh ada perbedaan persepsi, ketika terucap atau tertulis kata Pancasila, dengan persepsi ketika terucap atau tertulis butir-butirnya secara terperinci: Ketuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 69/70).
KH Achmad Siddiq bercerita perihal “pemerasan” Pancasila, Trisila, hingga menjadi Ekasila. Menurutnya, Pancasila mesti dipahami secara utuh dengan pembukaan UUD 1945 agar tidak melahirkan perbedaan persepsi dan ragam penafsiran.
“Pada waktu yang lalu, pernah Pancasila diperas menjadi Trisila bahkan menjadi Ekasila (Gotong Royong). Seolah-olah Pancasila dianggap sesuatu yang terlepas kaitannya sebagai satu kesatuan dari pembukaan UUD 1945, batang tubuhnya, dan penjelasannya, sehingga dapat ditafsirkan, diperluas, atau dipersempit makna dan fungsinya.” (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70). Reaksi logis yang timbul dari "pemerasan" itu, kata Kiai Achmad Siddiq, antara lain ialah perbedaan persepsi: (a) Ketika terdengar/terbaca kata Pancasila, terasa seolah-olah terselip ada kegiatan politik praktis di dalamnya. (b) Ketika terdengar/terbaca butir-butir dasar negara secara terperinci satu per satu, terasa betapa luhurnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya…Perbedaan persepsi ini harus diluruskan.
Sesungguhnya perumusan nilai-nilai luhur yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Semua pihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang) dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung pada UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya) itu.
Kaum muslimin Indonesia (bersama-sama dengan seluruh bangsa Indonesia) juga memikul kewajiban memenuhi kesepakatan bersama itu. (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70).
“Kalau kaum muslimin Indonesia (termasuk kaum nahdliyin) menerima dasar negara Republik Indonesia itu, maka dasarnya bukanlah sekadar taktik tetapi berdasar prinsip: (a) Bahwa kaum muslimin Indonesia (melalui para pemimpinnya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang dasar negara itu. (b) Bahwa nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan Islam.” (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70/71).
KH Achmad Siddiq menjelaskan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia pada makalah berjudul Hubungan Agama dan Pancasila yang disampaikan dalam forum Balitbang Depag RI di Jakarta pada 14-15 Maret 1985.
Dalam makalah yang diterbitkan ulang oleh Kesekjenan PBNU pada 2017, Kiai Achmad Siddiq menulis bahwa Pancasila adalah lima butir nilai yang digali, dipilih, dan merupakan kristalisasi dari sekian banyak nilai luhur yang terdapat pada perbendaharaan budaya bangsa Indonesia. Lima butir itu dirangkai dan disepakati bersama menjadi dasar negara ketika kita mendirikan negara Indonesia merdeka.
“Tokoh utama bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Panitia Sembilan berhasil menyusun rancangan rumusan yang ketika itu disetujui oleh semua pihak dan akan dijadikan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar Negara (Piagam Jakarta) yang kemudian diterima dan disahkan dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 14 Juli 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 13).
Materi dan rumusan rancangan pembukaan hukum dasar (Piagam Jakarta) yang disusun dan dirumuskan Panitia Sembilan itu seluruh dan seutuhnya–setelah diadakan perubahan sebagaimana tersebut di atas–maka dapat diterima dan disahkan sebagai pembukaan undang-undang dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 14).
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah walau oleh MPR hasil pemilihan umum karena ia mempunyai kedudukan di bawah para pembentuk negara. Oleh karena itu, andai kata MPR hasil pemilu ini mengubah pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, maka berarti membubarkan negara RI, negara Proklamasi 17 Agustus 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 16).
Apabila kita menyebut dan menulis Pancasila sebagai dasar negara RI, maka yang dimaksudkan adalah Pancasila yang termuat dan dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, merupakan satu kesatuan yang bulat dan tak terpisah-pisahkan, susunannya adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 16).
Pada makalah yang sama, Kiai Achmad Siddiq mengatakan bahwa penetapan UUD pada 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 setelah pemberlakuan sekian tahun UUD Sementara 1950 harusnya menyudahi segala bentuk kekhawatiran dan kecurigaan berbagai kelompok. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 19). []
(bersambung...)
Alhafiz Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar