Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggaan Semu (VI)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Riki meneruskan kegusarannya karena melihat putaran mesin sosial budaya Minang, yang sedang bergerak ke arah yang semakin terlepas dari tujuan praksis Islam itu: “Yang menarik, di tengah upaya kalangan cendekia, agama, dan pemerintah lokal menguatkan citra keislaman mereka, realitas justru makin menjauh dari prinsip-prinsip keislaman itu.
Orang Sumatra Barat, misalnya, umumnya lebih suka menghabiskan energi dan uang untuk menggelar pentas ‘orgen tunggal’ ketimbang memberi makan kaum dhuafa dalam sebuah acara perkawinan.”
Lagi kita baca: “Sementara, pada saat yang bersamaan, masyarakat Sumatera Barat juga cenderung merasa paling baik kadar keislamannya dibanding masyarakat-masyarakat di daerah lain.”
Mungkin karena perasaan serba lebih baik ini, sejak beberapa tahun terakhir, sebagaimana disinggung dalam Resonansi III, gagasan DIM perlu diusung, lengkap dengan perda syariah, termasuk perda zakat yang sudah diberlakukan pada delapan kota/kabupaten di provinsi itu.
Tentang DIM, perlu saya tambahkan pendapat Edy Utama via WA yang saya terima 22 Maret 2021, berikut ini: “...dengan DIM kita telah mempersempit ruang tumbuhnya kebudayaan Minangkabau. Dinamika kebudayaan Minangkabau antara lain, bersumber dari semangat keterbukaan yang bersifat dialogis. Ini inti dari kekuatan kebudayaan Minangkabau, dan saya melihat dengan DIM sumber dinamika ini akan padam, karena saya menangkap ada kekuatan hegemonis yang akan dikembangkan jika DIM itu jadi dilaksanakan.”
Saya berharap, peringatan Edy Utama ini akan dipertimbangkan dengan saksama dan kepala dingin oleh teman-teman penggagas DIM itu, sebelum ranah Minang meluncur ke jurang krisis kebudayaan yang lebih dalam.
Dengan filosofi ABS-SBK-AM-SM plus gagasan DIM, Islam di ranah Minang dibayangkan akan semakin semarak, berbunga, dan berbuah. Aman dan nyaman. Seakan-akan bumi Minang dapat dijadikan percontohan oleh daerah lain. Juga adil? Belum terbukti.
Yang kita ketahui, kantong-kantong kemiskinan masih dengan mudah ditemui di beberapa kawasan perdesaan di ranah Minang yang beradat itu.
Dalam WA kepada Bupati Dhamasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, SE tertanggal 12 Maret 2021, saya menulis: “Bupati, angka kemiskinan Dhamasraya 2020 masih 6,23 persen. Apakah bisa dituntaskan pada periode kedua ini?”
Dijawab: “Insya Allah buya. Kita berjuang di tengah pandemi.” Saya ingin membaca berita akan ada bupati/wali kota bahkan gubernur di Sumatera Barat, yang dicatat sejarah sebagai pejabat yang berhasil menghalau kemiskinan itu dari daerahnya.
Kembali ke Riki yang melihat Minang dalam lensa yang serba paradoks. Kita baca: “Memang terkesan paradoks dan kontradiktif apabila melihat kenyataan, hasrat bersyariah itu menguat selagi Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan peredaran narkoba tertinggi maupun angka populasi LGBT terbanyak di Indonesia.”
“Pada Juli 2018 lalu antaranya, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat membeberkan data, sebanyak 66.612 orang di Sumbar tercatat terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, baik kategori coba pakai, teratur pakai, maupun pecandu. Sementara populasi telah mencapai 18 ribu orang berdasarkan data hasil tim konselor penelitian perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang ditulis di sejumlah media nasional.”
Fakta di atas menunjukkan, ranah Minang sedang bergumul menghadapi penyakit sosial yang tidak sederhana. Krisis adat pun sudah lama dirasakan, khususnya di kawasan perdesaan.
Tanah yang sempit, sementara jumlah warga suku semakin bertambah banyak merupakan beban lain yang harus dipikul manusia Minang. Maka fenomena merantau hendaklah juga dibaca dalam kaitannya dengan keterbatasan sumber-sumber ekonomi agar dapur tetap berasap.
Di bagian ujung, seri artikel ini akan dikunci dengan dua pertanyaan sederhana: Pertama, apakah filosofi ABS-SBK-AM-SM-Gagasan BIM plus perda syariah masih cukup bertenaga untuk menanggulangi berbagai masalah di atas?
Kedua, apakah proses pendangkalan pemahaman agama di Ranah Minang modern dengan serba-atribut khas yang dipamerkannya merupakan fakta atau mitos?
Resonansi ini cenderung mengatakan, itu adalah fakta yang perlu dicarikan solusi bersama untuk mengatasinya, dalam tempo tidak terlalu lama. Peran perguruan tinggi sungguh penting untuk berbuat maksimal dalam upaya menolong ranah Minang agar suasana hidup dalam kebanggaan semu, yang sering disembunyikan itu dapat diakhiri.
Manusia Minang yang dikenal piawai itu harus berani berterus terang kepada dirinya, dan bersedia mengakui realitas masyarakatnya yang sedang dilanda krisis yang tidak ringan. Krisis yang dampak beratnya dirasakan hampir di semua lini kehidupan.
Islam jika dipahami secara benar, semestinya menjadi sumber energi positif untuk menciptakan sebuah kehidupan kolektif duniawi yang adil, asri, dan nyaman, di mana pun di muka bumi. Ranah Minang tidak terkecuali! []
REPUBLIKA, 18 Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar