Perempuan dan Terorisme (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Perempuan Indonesia, tampaknya mulai terlibat kelompok dan sel terorisme sejak 2003 terkait teroris asal Malaysia, Nurdin M Top. Ada beberapa perempuan Indonesia menjadi istrinya (antara lain AR atau Arina Rahma alias Rimah dan Muflihatun atau Munflatun).
Sulit dibayangkan, mereka tak mengetahui apa yang dilakukan suaminya yang dalam pelarian itu (Lies Marcus, 2021).
Dalam perjalanan waktu, daftar perempuan yang ditangkap, diajukan ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman penjara karena terduga kemudian terbukti terlibat organisasi dan sel terorisme bisa panjang.
Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC, 2020) mendaftar 49 perempuan sejak 2003 sampai Juli 2020. Daftar tersebut bisa diperpanjang karena masih berlanjutnya fenomena terorisme perempuan sejak mulai muncul di Indonesia.
Bersamaan dengan masih maraknya terorisme di Tanah Air, bisa diperkirakan keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia juga terus meningkat dalam jumlah, modus, dan bentuk praksisnya.
Mereka bisa dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, terlibat kegiatan terorisme karena membantu teroris laki-laki karena sebagai istri atau bagian keluarga atau karib kerabat. Kedua, sebagai aktivis yang turut memainkan peran pendukung penting dalam aksi terorisme. Ketiga, sebagai aktor utama pelaku terorisme dengan membawa senjata atau bom diri.
Sekali lagi, pada masa awal keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia pada dasawarsa awal milenium baru 2000, cenderung sebagai pelengkap penyerta dari confirmed teroris atau suspected teroris.
Selanjutnya, secara bertahap mereka memainkan peran penting dalam sel terorisme dan aksi kekerasan; terakhir memainkan peran utama kekerasan, apakah bersama laki-laki atau sendirian saja.
Secara internasional, dalam perkembangan waktu juga terjadi pergeseran motif perempuan terlibat aksi terorisme. Jika pada awal sejarah terorisme perempuan global, motif tunggal adalah politik—konflik politik, sejak 2000-an, motif politik berpadu motif keagamaan (politico-religious).
Aspek agama lazim berdasarkan pemahaman dan praksis keagamaan literal. Hasilnya, ekstremisme dan radikalisme yang mendorong praksis kekerasan, termasuk terorisme. Sekali lagi, keterlibatan perempuan dalam terorisme punya preseden cukup panjang.
Sebelumnya sudah disebut, sejumlah teroris perempuan sejak dari Vera Zasulich (St Petersburg, Rusia 1878), Ulrike Meinhof (Jerman, 1970-1972), Leila Khaled (Roma 1969, Amsterdam 1970), Dolours dan Marian Price, London, 1973).
Pada tingkat global, sejak dasawarsa 1980-an, modus perempuan yang terlibat aksi terorisme berkembang kian nekat. Sejak 1980-an perempuan mulai menjadi pelaku bom bunuh diri (Ing, suicide bombing; Ar, intihari).
Perempuan yang dianggap pengebom bunuh diri pertama adalah Sana’a Mahaidli (17 tahun), aktivis Partai Sosialis-Nasionalis Suriah, organisasi Lebanon pro-Suriah.
Sana’a menciptakan kegemparan ketika dia dengan bom beserta truk penuh bom meledakkan diri pada 9 April 1985 di kamp pendudukan Israel di Lebanon Selatan; dua tentara Israel tewas dan 12 luka.
Bom bunuh diri menyebar ke India terkait konflik dan kekerasan antara India dan Sri Lanka. Perempuan pelakunya, Thenmozi Rajaratnam dikenal sebagai Dhanu.
Menjadi aktivis Harimau Pembebasan Tamil, Dhanu terlibat aksi bunuh diri yang menewaskan eks PM Rajiv Gandhi dan 16 orang di dekatnya pada 1991.
Beberapa organisasi teroris Tamil menggunakan perempuan Tamil sebagai eksekutor bom bunuh diri. Penggunaan perempuan juga dilakukan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dalam menghadapi Turki; antara 1995-1999, tidak kurang 11 perempuan menjadi eksekutor bom bunuh diri PKK.
Bom bunuh diri juga menjadi modus perempuan dalam konflik Palestina-Israel. Wafa Idris Arafat (tidak ada hubungan keluarga dengan Yasser Arafat) menjadi pelaku bom bunuh diri pertama di Yerusalem pada 27 Januari 2002.
Bom yang disimpan di tas backpack meledak, menewaskan Wafa dan seorang lelaki juga melukai lebih 100 orang. Tak lama berselang, beberapa perempuan Palestina mengikuti jejak langkah Wafa meledakkan diri di tempat berbeda wilayah pendudukan Tepi Barat.
Merek: Darin Aisheh (21), Andaleeb Takafka (20), dan Ayat Akhras (18). Perempuan juga menjadi pelaku bom bunuh diri tempat lain: Belgia 2005, Dagestan 2010, Nigeria 2015, dan Bangladesh 2016.
Sejauh ini, akar konflik politik tetap dominan dalam aksi terorisme yang dilakukan aktor perempuan. Yang terjadi bukan ‘feminisasi’ terorisme, tetapi sebaliknya ‘maskulinisasi’ perempuan dalam terorisme. []
REPUBLIKA, 15 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar