Sering kali kita menganggap sebuah kesalahan, dosa, kekhilafan, kealpaan, atau kekosongan dari sebuah rutinitas sebagai pembatas atau titik akhir atas sebuah istiqamah kebaikan tertentu atau kontinuitas rutin ibadah kita selama ini. Dengan anggapan demikian, kita merasa bahwa kita tidak dapat meraih istiqamah.
Hal ini biasa diungkapkan dalam bahasa Indonesia dengan panas setahun dihapus hujan sehari, nila setitik rusak susu sebelanga, atau ungkapan serupa lainnya.
Sejatinya, kita tidak boleh keliru memang sebuah dosa, kekhilafan, kealpaan, atau kekosongan ibadah dan kebaikan di tengah rangkaian panjang ibadah rutin atau kebaikan yang selama ini kita kerjakan. Hal ini diingatkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya:
إذا وقع منك ذنب فلا يكن سبباً ليأسك من حصول الاستقامة مع ربك فقد يكون ذلك آخر ذنب قدر عليك
Artinya, “Jika kau terjatuh pada sebuah dosa (khilaf dan alpa), maka jangan jadikan itu sebagai sebab bagimu berputus asa untuk meraih istiqamah bersama Tuhanmu karena mungkin saja itu adalah dosa terakhir yang ditakdirkan untukmu.”
Cara pandang atas sebuah dosa (khilaf dan alpa) di tengah rangkaian panjang ibadah rutin kita ini menentukan sikap kita terhadap dosa lainnya. Jangan sampai kita salah paham terhadap dosa tersebut dengan mengira bahwa kita sudah memasuki dunia hitam lalu sekalian saja untuk mengerjakan dosa lainnya.
Sikap putus asa ini yang sangat berbahaya karena dikhawatirkan dapat menjerumuskan seseorang lebih jauh ke dalam jurang dosa dan meninggalkan sama sekali ibadah atau kebaikan rutinnya selama ini sebagai disampaikan oleh Syekh As-Syarqawi berikut ini:
بأن تعتقد بسبب صدور الذنب أن حصول الاستقامة لك مستحيل فيحملك على تعاطى غيره من الذنوب وهذا غلط
Artinya, “Kau meyakini bahwa karena munculnya sebuah dosa capaian istiqamah menjadi mustahil lalu membawamu untuk melakukan dosa-dosa lainnya. Ini merupakan sebuah kekeliruan,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).
Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa sebuah dosa (khilaf dan alpa) tidak dapat membatalkan istiqamah ibadah yang sudah kita amalkan selama ini. Yang membatalkan istiqamah peribadatan adalah dosa yang dilakukan secara kontinu atau al-ishrar.
الاستقامة على العبودية لا يناقضها فعل الذنب على سبيل الفلتة والهفوة إذا جرى القدر عليه بذلك وإنما يناقضها الإصرار
Artinya, “Istiqamah atas sebuah ibadah tidak dibatalkan oleh sebuah dosa dengan jalan tidak sengaja dan terperosok bila takdir menggariskan demikian. Istiqamah hanya dibatalkan oleh perbuatan dosa secara berkelanjutan,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).
Syekh Syarqawi menganjurkan agar mereka yang jatuh ke dalam sebuah dosa atau kekhilafan bertobat kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta kembali kepada-Nya untuk memelihara dirinya dari kesalahan yang sama.
فالواجب عليك أن تتوب إلى مولاك وترجع إليه ولا تيأس من رحمته
Artinya, “Yang harus kamu lakukan adalah bertobat dan kembali kepada Allah sebagai Pengulumu. Jangan sampai kamu berputus asa atas rahmat-Nya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012], juz I, halaman 106).
Syekh Ibnu Athaillah ini mengajarkan kita bangkit dan tetap semangat dalam menjalankan ibadah. Jangan sampai kekhilafan sekali menghentikan ibadah yang sudah lama kita lazimkan dalam jangka cukup panjang.
Nasihat ini juga dapat kita pakai dalam kehidupan sehari-hari di bidang lainnya seperti tetap menjaga semangat belajar atau olahraga rutin yang sudah kita lakukan selama ini. Jangan sampai karena vakum beberapa waktu, lalu membuat kita enggan untuk memulai belajar atau kegiatan positif yang pernah kita lakukan dalam waktu yang sangat panjang. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar