Selasa, 04 Mei 2021

Haedar Nashir: Ke Mana Angin Bertiup

Ke Mana Angin Bertiup

Oleh: Haedar Nashir

 

Dunia Barat era modern memiliki serpihan wajah ekstrem anti-Tuhan dan agama. “Kekristenan pada kenyataannya telah lama lenyap tidak hanya dari nalar, tetapi dari kehidupan umat manusia,” tulis Ludwig Andreas von Feuerbach, tahun 1839.

 

Filsuf Jerman itu lebih jauh menulis, “Tuhan tidak lebih dari proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri.” Friedrich Wilhelm Nietzsche lebih ekstrem. Bukan hanya agama, “Tuhan telah mati,” tulis Nietzsche.

 

Melalui karyanya, Also Sprach Zarathustra, tahun 1883, filsuf kelahiran Prusia itu dikenal sebagai “Sang Pembunuh Tuhan". Ateisme modern memperoleh pijakan kuat pada filsafat eksistensialisme yang dipeloporinya.

 

Feuerbach dan Nietzsche adalah filsuf paling menonjol dari mata rantai ateisme dan agnotisme di Eropa Barat era Renaisans. Mikhail Bakunin tidak kalah ekstrem. "Pemikiran tentang Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia,” tegasnya. Dengan angkuh, tokoh politik beraliran anarkisme kelahiran Moskwa ini melalui karyanya, God and the State, tahun 1916, menulis, "Jika Tuhan benar-benar ada, maka perlu untuk menghapusnya.”

 

Wajah peradaban Barat modern lahir dalam dialektika kutub ekstrem. Pada Abad Tengah, agama Kristen begitu hegemonik, yang membelenggu kebebasan manusia dan antisains. Lahirlah humanisme sekuler yang bernafsu besar mengakhiri era teisme dengan ateisme serta menggeser agama dengan agnotisme.

Peradaban Barat itu kemudian membuana melalui—istilah Anthony Giddens—Juggernaut, yaitu kereta raksasa bernama modernisme yang menggilas apa pun yang dilewatinya di setiap penjuru negeri!

 

Angin liberal-sekuler

 

Arus ateisme dan agnotisme, sebagaimana modernisme mulai masuk ke Indonesia sejak awal abad ke-20. Marxisme dan komunisme ikut hadir melalui sosok Henk Sneevliet bersama kaum sosialis Hindia Belanda yang membentuk Serikat Pekerja Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) serta memelopori gerakan Partai Komunis Asia Tenggara.

 

Pasca-Indonesia merdeka, dengan tokoh DN Aidit dan kawan-kawan, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat berjaya hingga dibubarkan pascatragedi G-30-S/PKI 1965. Pascareformasi, suara PKI tidak bersalah dan tidak terlibat kudeta 1965 makin terbuka di ruang publik, termasuk dari elite politik, intelektual, dan pejabat negara.

 

Pemikiran dan gerakan ideologi ateisme, agnotisme, dan komunisme terus hidup dan tidak mati. Sejak reformasi, bertumbuh komunitas ateis dan agnostik di negeri ini. Mereka memperoleh ruang kebebasan atas nama hak asasi manusia hasil amendemen UUD 1945 yang sangat liberal.

 

Menurut Mahfud MD ketika menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, ateisme dan komunisme boleh hidup sebagai pilihan hak asasi manusia sejauh tidak mengganggu kebebasan pihak lain (Kompas, 10/7/2012). Hingga Januari 2014, terdapat 961 orang yang mengaku ateis di negeri ini, yang terdaftar dalam Atheist Alliance International.

 

Pandangan yang mendekonstruksi agama juga lahir dari sebagian intelektual dan aktivis Islam yang pemikirannya cenderung liberal. Kebebasan berpikir seperti ini ikut membuka ruang bagi pikiran-pikiran nihilisme ala ateisme dan agnostisisme pada masa reformasi. 

 

Bila Indonesia ingin maju, tirulah Singapura atau Barat di mana agama terbatas urusan pribadi dan domestik serta tidak masuk ke ranah publik dan negara. Pelajaran agama dan jihad perlu ditinjau ulang.

 

Doa semua agama perlu dikumandangkan mengikuti paham pluralis aliran sinkretisme, sintesisme, dan relativisme. Angin sekularisme dan liberalisme makin berembus seolah memperoleh ruang leluasa di tengah isu berkepanjangan tentang awas radikalisme Islam.

 

Pada titik ini terjadi irisan pemikiran dan kepentingan tentang waspada radikalisme-ekstremisme agama (Islam) dengan arus pemikiran liberal-sekuler yang prokebebasan, hak asasi manusia, dan demokrasi yang bergerak dinamis di negeri ini.

 

Dalam konteks ini, menarik analisis Schmid (2013) yang memandang, baik radikalisme maupun ekstremisme, keduanya memiliki konsep relasional yang menggunakan tolok ukur Barat. Poin referensi standar yang digunakan untuk menilai radikalisme dan ekstremisme adalah nilai-nilai inti Barat, seperti demokrasi, perlindungan minoritas, pluralisme, pemisahan negara dan agama, persamaan di depan hukum, kesetaraan gender, serta kebebasan berpikir dan berekspresi.

 

Genre radikalisme

 

Waspada tentang ancaman radikalisme Islam yang terus digelorakan lebih dari satu dasawarsa boleh jadi membuka ruang leluasa bagi bertumbuhnya pemikiran liberal-sekuler yang membawa aura fobia agama di Indonesia mutakhir. Pihak yang dirugikan tentu umat Islam. Tumbuh imaji kuat bahwa Islam dan umat Islam adalah sumber radikalisme, lebih khusus terorisme.

 

Menurut Derya (2018), pada konteks global, tidak jarang label radikal itu menyatu dengan kecenderungan Islamofobia, sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan kaum Muslim secara umum di bawah kategori yang terus dicurigai.

 

Bersamaan dengan itu, hingga batas tertentu memang terdapat arus radikalisme-ekstremisme di sebagian tubuh umat beragama, termasuk umat Islam. Islam dipahami secara ekstrem dan melahirkan orientasi yang keras, intoleran, dan berbuah kekerasan. Islam politik berhaluan ideologi keras juga bertemali dengan arus ini.

 

Terorisme atas nama agama terjadi sebagaimana ditunjukkan Imam Samudra dan kawan-kawan pada tragedi Bom Bali 2002 maupun peristiwa-peristiwa serupa sesudahnya. Mereka yang menganut teori konspirasi secara apologis mengabaikan fakta sosial tersebut, padahal sejatinya memang nyata.

 

Di negeri ini, meski mulai ada koreksi oleh sebagian pejabat yang mulai berhati-hati dalam memberi pernyataan tentang radikalisme agar tidak mengarah pada stigma Islam radikal, label Islam radikal itu sudah meluas. Lebih-lebih karena masih ada tokoh agama yang gemar melontarkan tudingan radikal ke tubuh sesama umat. Plus sikap dan pola gerak sebagian kelompok Islam sendiri yang berpaham ekstrem, keras, dan intoleran.

 

Semoga tidak ada pihak yang melakukan politisasi dan mengkomoditaskan isu-isu panas tersebut sebagai alat tukar kepentingan sesaat. Harapannya, semua pihak mesti berusaha agar masalah dan isu radikalisme dikonstruksi dan dipecahkan secara objektif, adil, dan saksama.

 

Demi kepentingan bangsa yang lebih besar dan strategis, semestinya kewaspadaan dan kebijakan menghadapi ancaman radikalisme itu harus diletakkan secara objektif, adil, jujur, dan transparan. Objeknya harus ditujukan pada semua paham dan gerakan radikal-ekstrem dari seluruh arus.

 

Tidak boleh hanya ditujukan pada radikalisme-ekstremisme agama, lebih khusus Islam. Jika pola sepihak ini terus dipertahankan, selain tidak adil dan tidak memecahkan masalah secara tepat sasaran, pada saat yang sama justru akan menyuburkan radikalisme-ekstremisme lain di luar radikalisme agama.

 

Ketika frasa agama luput dari peta jalan pendidikan, kemudian muncul kontroversi tokoh Islam tidak masuk dalam Kamus Sejarah Indonesia, sementara tokoh lainnya justru dicantumkan tanpa alpa. Adakah fenomena tersebut merupakan suatu kealpaan biasa dan kebetulan semata? Kata Erving Goffman, kehidupan itu seperti dramaturgi, antara latar depan (front stage) dan latar belakang (back stage) mesti dilihat cermat bagaimana pertunjukan yang sesungguhnya. Perlu dibaca dengan saksama ke arah mana angin bertiup!

 

Paradigma dan konstruksi radikalisme yang bias dan politis harus segera diakhiri jika Indonesia ingin bebas dari segala bentuk radikalisme-ekstremisme yang mengancam keindonesiaan. Perspektif moderat dan strategi moderasi niscaya menjadi pilihan utama.

 

Jika terdapat ancaman terhadap eksistensi Negara Indonesia dari arus radikalisme-ekstremisme agama maka jangan diberi ruang bertumbuhnya radikalisme-ekstremisme lainnya, seperti ultranasionalisme, komunisme, sekularisme, liberalisme, dan ideologi ekstrem lainnya, yang bertentangan dengan Pancasila.

 

Pilihan utamanya hanya satu: jadikan Indonesia sebagai negara Pancasila yang moderat dan dikelola dengan moderasi sejalan konstitusi. Indonesia tentu dapat belajar membangun kehidupan berkemajuan dari Barat dan dari belahan dunia mana pun layaknya setiap bangsa belajar mozaik peradaban.

 

Tetapi, Indonesia tidak dapat dirancang-bangun persis sama dengan model peradaban lain, lebih-lebih yang memiliki sejarah traumatik, yang menihilkan Tuhan dan agama. Paham anti-Tuhan, antiagama, komunisme, liberalisme, dan sekularisme sebagaimana ideologi radikalisme-ekstremisme agama tidaklah sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia dan sistem negara Pancasila! []

 

REPUBLIKA, 24 April 2021

Prof. Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar