Jumat, 28 Mei 2021

Nasaruddin Umar: Kearifan Lokal Indonesia, Halalbihalal

Kearifan Lokal Indonesia, Halalbihalal

Oleh: Nasaruddin Umar

 

SETIAP negara mempunyai kearifan lokal di dalam mengartikulasikan ajaran Islam sebagai sebuah agama universal. Di antara kearifan lokal sekaligus menjadi salah satu 'produk ekspor' Indonesia ialah halalbihalal. Istilah halalbihalal sudah bisa terlihat di mana-mana, termasuk di negara-negara tetangga.

 

Di Malaysia kehadiran istilah itu berawal dari perkebunan kelapa sawit yang ada jutaan WNI bekerja. Setiap usai Lebaran mereka berpindah-pindah dari blok ke blok, biasanya berdasarkan asal daerah masing-masing. Lama-kelamaan tradisi itu berlangsung di kota-kota yang semula hanya menjadi arena silaturahim di antara sesama WNI. Lama-kelamaan halalbihalal ini menjadi familier di Malaysia. Hal yang sama terjadi juga di negara-negara lain, termasuk di Riyadh, Kuwait, negara-negara Amerika, dan Eropa.

 

Jika ditelusuri, asal usul halalbihalal ini bermula ketika anak-anak muda masjid Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema karena terjadi dua peristiwa istimewa. Satu sisi perayaan Idul Fitri sebagai wujud kemerdekaan spiritual dan sisi lain baru saja dilakukan proklamasi kemerdekaan RI.

 

Bagaimana supaya kedua peristiwa ini terangkum menjadi satu maka diadakanlah sayembara kecil-kecilan untuk menemukan tema yang akan ditulis di dalam spanduk mereka. Di antara kreasi intelektual yang muncul saat itu ialah salah seorang seniman Kauman yang mengusung tema Halalbihalal yang intinya saling memaafkan, saling merelakan, saling menghalalkan, dan saling memaafkan.

 

Pada zaman perjuangan ada warga yang pernah dikucilkan masyarakat karena terlibat mata-mata Belanda atau pengkhianat bangsa, diserukan untuk dimaafkan. Momentum Idul Fitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan. Sejak itu, halalbihalal dilakukan di Jakarta yang pada mulanya berisi pesan kuat integrasi nasional. Jangan lagi ada dendam di antara satu sama lain. Lapangkan dada dan hilangkan warna-warni lokal di hadapan kebesaran Allah SWT. Yang harus segera dilakukan ialah meraih cita-cita luhur para pendiri bangsa.

 

Halalbihalal kini menjadi istilah khas dan menjadi budaya Indonesia. Halalbihalal ialah bahasa Arab yang tidak diketahui maknanya oleh orang-orang Arab. Kalau halal minal haram mungkin bisa difahami, tetapi halalbihalal sebuah kata majmuk yang tidak lazim. Itulah keajaiban halalbihalal, menjadi salah satu simbol pemersatu bangsa.

 

Halalbihalal juga bisa dimaknai sebagai forum silaturahim. Bersilaturahim dengan sesama manusia (mikrokosmos) ialah biasa. Akan tetapi, bersilaturahim dengan alam raya (makrokosmos) sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan terasa masih langka dan belum terlembagakan.

 

Padahal, Rasulullah telah mencontohkan silaturahim dan menjalin hubungan keakraban dengan lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan alam; tanah, air, dan langit. Lingkungan hidup seperti fauna dan flora; lingkungan makhluk spiritual seperti bangsa jin, malaikat, dan para arwah manusia terdahulu. Inilah kekhususan makna halalbihalal.

 

Bersilaturahim bukan hanya dengan sesama umat manusia, melainkan juga dengan sesama makhluk (ukhuwwah makhluqiyyah). Dalam Islam tidak dikenal ada 'benda mati'. Benda mati hanya dikenal dalam kamus manusia biasa. Hal ini ditegaskan di dalam Alquran; 'Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka' (QS 17:44).

 

Menjalin silaturahim dengan mereka tidak kalah pentingnya dengan manusia. Gagal membangun silaturahim dan keakraban dengan makhluk makrokosmos bisa membawa malapetaka bagi manusia. Hal ini sudah diingatkan Allah di dalam Alquran (QS 30:41), ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia).” Demikian pula bersilaturahim dengan fauna dan flora banyak dicontohkan pengalaman hidup Nabi.

 

Sebuah hasil penelitian di Jepang membuktikan hal ini dengan melaporkan bahwa pohon angrek yang dipelihara majikan dengan penuh kasih sayang jauh lebih indah kembangnya ketimbang anggrek yang dipelihara tukang kebun. Dia menjalankan rutinitasnya dengan motivasi perolehan gaji dari majikan atau atasannya. Allahu a’lam. []

 

MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2021

Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar