Puasa merupakan salah satu ibadah yang memiliki banyak keutamaan dan pahala. Perannya dalam membentuk kesalehan diri seorang Muslim begitu besar, sebab ia mengajarkan untuk berempati kepada kaum duafa yang sering merasakan lapar dan dahaga. Demikian pula dapat mengekang hawa nafsu dari segenap dampak buruknya. Bahkan puasa dijadikan Nabi sebagai solusi bagi para jomblo yang sudah sangat kuat memiliki hasrat menikah, namun tidak memiliki kemampuan finansial, kata Nabi bagi yang mengalami kondisi demikian dianjurkan memperbanyak puasa, sebab dapat lebih menjaga pandangan dan kemaluan.
Menurut mazhab Syafi’i, hukum berpuasa Syawal adalah sunnah. Pelaksanaan puasa bulan Syawal boleh dilakukan secara terpisah atau terus menerus. Boleh pula di awal, pertengahan atau di akhir bulan. Namun lebih utama dilaksanakan langsung di tanggal 2 Syawal dan terus menerus hingga tanggal 7 Syawal.
Di antara keutamaan puasa Syawal adalah bahwa pahalanya sebanding dengan berpuasa selama satu tahun. Nabi bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعُهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
“Pahala puasa bulan Ramadhan sebanding dengan berpuasa sepuluh bulan, pahala berpuasa enam hari Syawal sebanding dengan berpuasa dua bulan, maka yang demikian itu adalah puasa satu tahun” (HR al-Nasai).
Problem muncul di saat seseorang memiliki kendala atau uzur sehingga tidak sempat berpuasa sunnah di bulan Syawal. Semisal pegawai yang lembur kerja, wanita melahirkan dan lain sebagainya. Pertanyaannya kemudian, adakah anjuran mengqadha puasa Syawal di bulan berikutnya bagi orang yang tidak sempat berpuasa di bulan Syawal?
Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Tuhfah, Syekh Abdullah bin Muhammad Baqusyair dalam kitab al-Qalaid dan Syekh Abi Makhramah, hukum mengqadha puasa Syawal di bulan lain adalah sunnah.
Puasa Syawal masuk kategori puasa sunnah al-ratib, yaitu puasa sunnah yang memiliki waktu tertentu, baik mingguan, bulanan atau tahunan. Contohnya puasa Senin & Kamis, puasa Asyura (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), puasa di malam-malam purnama (tanggal 13, 14 dan 15 di setiap bulan Hijriah), puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya.
Menurut pandangan tiga ulama besar mazhab Syafi’i di atas, hukumnya mengganti puasa al-ratib di luar waktunya adalah sunnah, misalnya karena tidak sempat dilakukan sesuai waktunya. Pandangan berbeda disampaikan ulama lain, menurutnya puasa al-Ratib tidak sunnah diqadha jika waktunya telah habis.
Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur mengatakan:
فائدة رجح في التحفة كالقلائد وأبي مخرمة ندب قضاء عاشوراء وغيره من الصوم الراتب إذا فاته تبعاً لجماعة وخلافاً لآخرين
“Sebuah faidah. Syekh Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah seperti keterangan Syekh Abdullah Baqusyair dalam kitab al-Qalaid dan Syekh Abi Makhramah mengunggulkan kesunnahan mengqadha puasa Asyura dan puasa al-Ratib lainnya bila telah habis melewati waktunya, pendapat ini mengikuti sekelompok ulama dan menyelisihi sekelompok ulama yang lain” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Dar al-Minhaj, juz 1, hal. 745).
Dalam khazanah fiqih, redaksi “al-ratib” diucapkan untuk tiga makna. Pertama, sesuatu yang mengikuti lainnya. Kedua, perkara yang pelaksanaannya bergantung pada perkara lain. Ketiga, perkara yang memiliki waktu tertentu (lihat Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 240).
Dalam konteks puasa sunnah ratib, yang dikehendaki adalah makna ketiga. Pendapat Syekh Ibnu Hajar, Syekh Abu Makhramah dan Syekh Abdullah Baqusyair senada dengan pandangan Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli (Ramli Kabir). Menurut beliau, orang yang di bulan Syawal disibukan dengan mengqadha puasa Ramadhan dan tidak sempat berpuasa Syawal (secara khusus), maka disunnahkan mengqadha puasa Syawal di bulan Dzulqa’dah, alasannya karena disunnahkan mengqadha puasa sunnah ratib ketika habis waktunya.
Dalam komentarnya atas kitab Asna al-Mathalib, ayah Imam al-Ramli al-Shaghir tersebut menegaskan:
سئلت عن قول الدميري بعد قول النووي وستة من شوال يبقى النظر فيمن أفطر جميع رمضان أو بعضه وقضاه هل يتأتى له تدارك ذلك أم لا ما المعتمد فأجبت بأنه يستحب له بعد قضائه ما فاته من رمضان أن يصوم ستة أيام لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب
“Aku ditanya perihal ucapan Imam al-Damiri setelah ucapan Imam al-Nawawi; dan enam hari dari Syawal. Tersisa sebuah perenungan/ kajian dalam permasalahan orang yang berbuka satu bulan penuh di bulan Ramadhan atau sebagiannya dan ia mengqadhanya di bulan Syawal, apakah mungkin baginya mengganti puasa Syawal di bulan berikutnya? Manakah pendapat yang dibuat pegangan?. Aku menjawab bahwa sunnah baginya berpuasa enam hari Syawal (di bulan berikutnya) setelah selesai mengqadha puasa Ramadhan (di bulan Syawal), sebab disunnahkan mengqadha puasa sunnah yang memiliki waktu tertentu” (Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Hasyiyah al-Ramli ‘ala Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 207).
Pandangan al-Ramli al-Kabir juga senada dengan pendapat sebagian ulama yang dikutip oleh Syekh Khotib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj (lihat Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 184).
Demikian penjelasan mengenai anjuran mengqadha puasa sunnah Syawal bagi orang yang tidak sempat melakukannya sesuai waktu yang telah ditentukan. Semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar