Perlakukan Nabi terhadap Umat Non-Muslim (1)
Tidak Mengenal Istilah Mayoritas-Minoritas
Oleh: Nasaruddin Umar
Nabi tidak pernah memperkenalkan istilah kelompok mayoritas-minoritas (aktsariyah-akaliyah). Baik ketika ia menjadi kelompok minoritas di Mekkah maupun ketika menjadi kelompok mayoritas di Madinah. Istilah kelompok mayoritas-minoritas muncul dalam dunia Islam, menurut Dr. Kamal Said habib, dikenal dalam pemerintahan Dinasti Ustmani (Kerajaan Ottoman) Turki ketika bersinggungan dengan beberapa kelompok masyarakat/negara yang berada di bawah kelompok protektorat negara-negara besar Eropa. Para ulama fikih, terutama empat imam mazhab terkemuka Sunni, yaitu Anu Hanifah, Malik, Syafi', dan Ahmad ibn Hanbal, juga tidak memperkenalkan konsep mayoritas-minoritas.
Hal ini bisa difahami karena dalam Islam tidak dibedakan hak antara orang-orang
yang tergolong dari kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Al Qur'an
mengajarkan kepada Nabi Muhammad agar memperlakukan kelompok minoritas sebagai
bagian dari manusia yang harus dihargai, sebagaimana ditegaskan: Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak cucu Adam. (Q.S. Al-Isra'/17:70).
Apapun jenis kelamin, etnik, kewarganegaraan, dan agamanya harus mendapatkan
hak-hak kemanusiaan yang sama. Lebih khusus lagi Allah Swt mendiktekan kalimat
yang harus disampaikan kepada kelompok non-muslim ketika itu: Lakum dinukum waliyadin
(Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku"/ Q.S. al-Kafirun:109: 6).
Ada sejumlah ayat dalam Al-Qur'an dapat dimaknai kelompok minoritas dan
mayoritas tetapi tidak menunjukkan adanya kelas, melainkan hanya mengategorian
sementara untuk membedakan antara satu dengan lainnya. Di antara ayat-ayat
tersebut ialah:
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi
tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik
kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu
kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar
kamu bersyukur. (Q.S. al-Anfal/8: 26).
Demikian pula dalam ayat: Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah/2:249).
Ayat-ayat tersebut di atas tidak mengisyaratkan kelompok mayoritas lebih istimewa daripada kelompok mayoritas. Bahkan ayat kedua menunjukkan tidak tertutup kemungkinan justru kelompok minoritas akan memperoleh keutamaan jika bekerja keras dan professional. Pembedaan kelompok atas nama jumlah di dalam Islam tidak memiliki akibat politik secara signifikan.
Nabi berkali-kali memiliki opsi pendapat yang didukung minoritas ketimbang pendapat yang didukung mayoritas. Contohnya perjanjian Hudaibiyah yang sangat monumental itu. Nabi tetap memilih keyakinannya sendiri bersama sejumlah kecil sahabat ketimbang pertimbangan sejumlah besar sahabatnya. Tegasnya istilah mayoritas dan minoritas tidak pernah dijadikan acuan Nabi di dalam menentukan kebijakan politik. Yang terpenting, mana di antara kelompok itu secara profesional di situlah Nabi akan memihak.
Sungguhpun sudah menjadi umat dan warga mayoritas di Madina, tetap saja Nabi memberi kepercayaan terhadap kelompok minoritas, sebagaimana akan dijelaskan dalam beberapa artikel mendatang. []
DETIK, 26 Maret 2021
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar