Kamis, 20 Mei 2021

Azyumardi: Hati-hati Politik Sejarah

Hati-hati Politik Sejarah

Oleh: Azyumardi Azra

 

”When the past speaks it always speaks as an oracle; only if you are an architect of the future and know the present will you understand it” (Friedrich Nietzsche, On the Advantage and Disadvantage of History for Life, 1874).

 

Sejarah menjadi gaduh. Atau periwayatan sejarah yang membuat gaduh masyarakat. Kegaduhan soal ini cenderung cepat eskalatif karena terkait kekuasaan politik, kementerian/lembaga, dan birokrasi pemerintah. Publik memandang sumber masalah adalah ”politik sejarah” pemerintah dengan menampilkan ”sejarah” problematis.

 

Hampir selalu ada kontestasi antara ”sejarah resmi” yang dikeluarkan institusi negara atau pejabat pemerintah yang mengandung motif politik dan ideologi politik rezim penguasa atau kroninya. Ketika rezim penguasa sangat kuat, seperti di masa Orde Baru, publik tak punya ruang menantang sejarah resmi. Presiden Soeharto kukuh tak tergoyahkan dengan politik sejarah meninggikan status quo kekuasaan dan ideologinya semacam ”Janur Kuning” atau ”Serangan Umum 1 Maret”.

 

Akan tetapi, kini di masa kebebasan—walau sering disebut merosot  belakangan ini—publik bisa meneriakkan penentangan dan kecaman atas ”sejarah resmi” yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena penentangan masif lewat sejumlah media, instansi pemerintah ini tidak bisa memaksakan ”sejarah resmi”. Sebaliknya, para pejabat tingginya buru-buru menyatakan akan merevisinya; dan juga melobi elite agama yang marah.

 

Seharusnya, seperti ditegaskan sekitar satu setengah abad lalu oleh filsuf Friedrich Nietzsche yang dikutip di atas, (seyogianya) ketika masa silam (sejarah) berbicara, dia seharusnya selalu dibiarkan berbicara seperti oracle. Sejarah adalah oracle, orang arif bijaksana yang menjadi wasilah (perantara) menuju kebajikan.

 

Akan tetapi, penguasa tidak selalu membiarkan sejarah menjadi oracle. Ini bukan kesalahan sejarah itu sendiri. Sejarah dapat kehilangan kebijakan ketika penguasa sengaja atau lalai membuat kekeliruan atau kesesatan (fallacies) dalam periwayatan sejarah. Mereka menggunakan peneliti sejarah atau orang yang mengklaim atau diklaim sebagai ”sejarawan” atau mereka yang berpendidikan sejarah  untuk membuat historical fallacies.

 

Karena itu, seperti ditegaskan Nietzsche, hanya jika ”Anda arsitek masa depan dan mengetahui hari ini, Anda dapat memahami sejarah sebagai oracle”. Melanjutkan, hanya dengan begitu, Anda tidak terjerumus  dalam ”kesesatan penulisan sejarah” dan kegaduhan politik akibat pembuatan ”sejarah resmi” yang tidak perlu.

 

Kegaduhan tentang sejarah di ranah publik Tanah Air kini terkait dua buku yang penulisan dan penerbitannya disponsori Kemendikbud. Pertama, Kamus Sejarah Indonesia: Jilid I Nation Formation 1900-1950 (Ditjen Kebudayaan, 2017) dan kedua, Kamus Sejarah Indonesia: Jilid II Nation Building 1951-1998 (Ditjen Kebudayaan: 2017).

 

Sebelum menyinggung masalah metodologi dan substansi, pihak Kemendikbud tak patut memberi judul buku secara ”gado-gado”: antara judul induk berbahasa Indonesia dan anak judul berbahasa Inggris. Tidak ada alasan penting dan masuk akal memakai bahasa Inggris sebagai anak judul. Apakah anak judul ”Pembentukan Bangsa” (Jilid I) dan ”Pembangunan Bangsa” kurang keren?

 

Ini kontradiktif. Kemendikbud punya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa lokal). Kemendikbud lebih baik dan produktif menertibkan soal bahasa ini daripada menerapkan politik sejarah yang gaduh.

 

Apakah motivasi penulisan buku tersebut? Berprasangka baik, penulisan kedua jilid itu agaknya didasari keinginan menyajikan  ringkas tokoh atau figur penting dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak masa pembentukan bangsa sampai era pembangunan kontemporer. Figur atau tokoh terkait subyek ini, yang dimuat, terdiri dari tokoh Indonesia dan juga orang Belanda semasa penjajahan.

 

Ada pula dalam jumlah terbatas istilah atau nomenklatur terkait birokrasi pemerintahan; lembaga sosial, budaya dan agama; nama organisasi atau kelompok masyarakat; ormas agama dan istilah agama. Ada juga peristiwa yang dipandang tim penulis sebagai kejadian sejarah penting.

 

Tidak jelas kriteria dan parameter pemilihan tokoh, istilah, lembaga atau  ormas untuk dimuat dalam ”kamus” ini. Mestinya ada metodologi yang, misalnya, mencakup kriteria dan ukuran obyektif yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi ilmu sejarah dan substansi nilai atau signifikansi sejarahnya.

 

Ketiadaan metodologi menyebabkan pemilihan entri tampak ”seingat” penulis atau editor. Banyak tokoh penting anak negeri, khususnya  ulama dan sosok pergerakan dari NU, Muhammadiyah, HMI, dan ormas lain tak masuk. Jika kamus mau menjelaskan ”pembentukan bangsa” dan ”pembangunan bangsa”, mereka yang masuk harus anak negeri pejuang; bukan pejabat Belanda kolonial.

 

Sebaliknya, ada nama-nama kontroversial masuk. Mereka mencakup tokoh ”kiri” (komunis teroristik) dan ”kanan” (ekstremis agama teroristik) yang dengan  kekerasan mengkhianati ”pembentukan bangsa” dan ”pembangunan bangsa”. Begitu juga dalam pemilihan nomenklatur, lembaga, peristiwa  yang tidak jelas kriterianya. Banyak entitas penting yang berperan signifikan dalam ”pembentukan bangsa” dan ”pembangunan bangsa” terabaikan.

 

Oleh karena itu, kedua kamus ini harus direvisi total. Revisi itu tidak cukup tambal sulam dengan menambahkan tokoh-tokoh penting yang belum masuk. Atau hanya mengeluarkan mereka yang terlalu kontroversial sebagai pelaku gerakan dan aksi anti-NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Penulisan sejarah dan penerapan politik sejarah harus hati-hati.

 

Kamus ini perlu revisi komprehensif. Mesti ada pertanggungjawaban akademis-ilmiah sesuai ilmu sejarah. Perlu jelas kriteria dan parameter kenapa seseorang atau entitas tertentu ”wajib” tercakup, sebaliknya ada orang atau entitas tertentu ”haram” masuk.

 

Penulis entri mesti mereka yang punya pendidikan sejarah (historian by training), peminat sejarah, ataupun penulis yang pernah menulis karya sejarah. Patut dihindari dalam penentuan entri dan penulisan, pelibatan pejabat pemerintah dan orang yang bukan sejarawan atau tak bergerak dalam penulisan sejarah. Harus dihindari pelibatan orang dalam tim penulisan karena pertimbangan politis.

 

Penulisan kamus sejarah Indonesia patut diklasifikasikan menjadi: pertama, kamus biografi tokoh; kedua, kamus lembaga; ketiga, kamus peristiwa; dan keempat, kamus nomenklatur.

 

Tradisi kamus biografi absen di historiografi prakolonial, era kolonial, dan kemerdekaan Indonesia. Hanya dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul sejarah ulama Kepulauan Nusantara sejak abad 16-17 Masehi.

 

Membandingkan format kamus biografi (Inggris dan Arab) dengan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II, penulisan biografi tokoh dalam kedua buku ini sangat lemah metodologis dan substantif. Kebanyakan biografi tidak memuat data pokok tokoh, seperti tahun kelahiran dan kematian, atau pendidikan seperti lazim ditemukan dalam genre biographical dictionary atau tarajim di kawasan lain. []

 

KOMPAS, 29 April 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar