Salah satu ibadah yang digiatkan Nabi Muhammad saw. saat bulan Ramadhan adalah i’tikaf (berdiam di dalam masjid dengan niat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Terlebih pada 10 hari terakhir bulan suci tersebut. Beliau lebih giat lagi karena pada waktu-waktu itu lah, lailatul qadar terjadi.
Lailatul qadar (malam seribu bulan) adalah malam yang paling mulia. Bahkan, ia lebih mulia dibanding seribu bulan sekalipun. Barang siapa yang beribadah pada malam lailatul qadar, maka ia akan mendapatkan pahala lebih dari 1000 bulan atau 84 tahun. Oleh sebab itu, Allah merahasiakan waktu lailatul qadar agar manusia berlomba-lomba beribadah untuk mendapatkannya. Salah satu ibadah yang biasa dilaksanakan umat Islam untuk menyambut lailatul qadar adalah i’tikaf.
Ada cerita menarik dari Nabi Muhammad tentang i’tikaf di bulan Ramadhan. Suatu ketika, setelah melaksanakan Shalat Subuh Nabi Muhammad kembali ke tempat i’tikafnya di Masjid Nabawi. Sayyidah Aisyah mencegat Nabi sebelum beliau kembali beri’tikaf. Dia lantas meminta izin Nabi Muhammad agar diperbolehkan melaksanakan i’tikaf. Beliau mengizinkan. Sayyidah Aisyah gembira dan langsung mendirikan kemah untuk i’tikaf di halaman Masjid Nabawi.
Istri Nabi yang lainnya, Sayyidah Hafshah bin Umar bin Khattab juga tertarik melakukan i’tikaf setelah melihat Sayyidah Aisyah. Dia kemudian mendirikan kemah untuk i’tikaf di samping kemahnya Sayyidah Aisyah ,tanpa izin terlebih dahulu dengan Nabi. Dua istri Nabi lainnya juga mengikuti jejak Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah. Juga tanpa izin dari Nabi Muhammad.
Usai subuh keesokan harinya, Nabi Muhammad kaget melihat ada empat kemah di halaman Masjid Nabawi. Beliau kemudian menanyakan miliki siapa saja kemah-kemah itu. Merujuk buku Pesona Ibadah Nabi (Ahmad Rofi’ Usmani, 2015), Nabi Muhammad kemudian meminta agar kemah-kemah itu dipindahkan setelah mengetahui kalau itu adalah milik istri-istrinya untuk beri’tikaf. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga tidak melanjutkan i’tikafnya. Beliau melanjutkan i’tikafnya pada 10 hari bulan Syawal.
Demikianlah sikap Nabi Muhammad saat istrinya beri’tikaf. Beliau mengizinkan ketika Sayyidah Aisyah meminta izin untuk ber’itikaf. Namun, saat ada istrinya yang tidak izin untuk beribadah i'tikaf maka beliau memiliki sikap lain. Oleh sebab itu, izin dari seorang suami juga menjadi sesuatu yang harus diperhatikan manakala seorang istri hendak melaksanakan ibadah i’tikaf. Yang perlu digarisbawahi, sesuai dengan kisah di atas, wanita sebetulnya memiliki hak untuk ber’itikaf. Asal mendapatkan izin dari suami.
Hal itu juga ditegaskan Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitabnya Ibanatul Ahkam. Di situ disebutkan: “Boleh i'tikaf perempuan di masjid dengan izin suami bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.” Wallahu ‘Alam []
(Muchlishon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar