Pancasila Memelihara Takdir Saudara-saudara Se-tanah Air
Oleh: Bambang Soesatyo
"SAUDARA-saudaraku Sebangsa dan Setanah Air", akan menjadi ungkapan
salam atau sapaan tanpa makna, jika generasi muda terkini tidak tahu memaknai
dan mengejahwantahkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai perekat takdir
keberagaman Indonesia. Pondasi NKRI akan terus digerogoti jika Kegagalan orang
muda menghayati Pancasila terus dibiarkan.
Ketika banyak elemen masyarakat atau komunitas meneriakan semangat dan prinsip
"NKRI Harga Mati", ungkapan ini lebih sebagai dorongan kepada negara
untuk segera bersikap lebih tegas terhadap aksi dan ujaran dari
kelompok-kelompok yang terus berupaya menggerogoti pondasi NKRI.
Fakta dan kecenderungan menyangkal takdir keberagaman Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang diperjuangkan dan dipertontonkan kelompok-kelompok
tertentu itu sudah menjadi pengetahuan umum, dan setiap komunitas memiliki
catatan contoh kasus.
Paling baru dan relevan untuk dikedepankan adalah contoh kasus serangan
bersenjata di Mabes Polri oleh seorang wanita muda, akhir Maret 2021, dan juga
aksi bom bunuh diri oleh pasangan suami-istri berusia muda di gerbang Gereja
Katedral di kota Makassar. Ketiga pelaku pada dua aksi itu diyakini memiliki banyak
simpatisan atau pendukung. Sebab, ada penelitian yang mengungkap bahwa sejumlah
kampus sudah terpapar paham radikal.
Bahkan, Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2018 juga menerbitkan catatan tentang
41 dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN pun sudah
terpapar paham radikal. Temuan GP Ansor juga memperkuat data BIN itu. Selain
itu, investigasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019
pun mengungkap sekitar dua juta pegawai BUMN berpotensi terpapar paham radikal.
Mereka adalah komunitas yang menolak keberagaman, dan dengan sendirinya
menyangkal pula Pancasila sebagai perekat keberagaman itu. Mereka memilih
menerima dan patuh tanpa syarat terhadap pandangan atau ajaran yang mengajak
atau menyuruh mereka memusuhi negaranya sendiri, serta membenci siapa saja yang
pandangan hidupnya tidak sama dengan mereka. Dengan begitu, dalam konteks
Ke-Indonesia-an semua komunitas di negara ini, mereka pun menolak atau tidak
mengakui orang lain di luar kelompok mereka sebagai "Saudara Sebangsa dan
Setanah Air".
Penyangkalan terhadap Pancasila sebagai perekat keberagaman NKRI bisa terjadi
karena negara dalam sebuah periode yang cukup panjang tidak militan dalam upaya
menanamkan nilai-nilai luhur lima sila Pancasila kepada generasi muda. Absennya
negara menghadirkan Pancasila dalam proses tumbuhkembang orang muda
dimanfaatkan kelompok-kelompok penganut paham radikal untuk menanamkan
ajaran-ajaran sesat, termasuk ajakan memusuhi negara dan masyarakat, serta
rangkaian aksi bunuh diri. Pembawa paham radikal itu melakukan penetrasi hingga
ke berbagai aspek kehidupan orang muda; dari ruang belajar, kelompok kegiatan
hingga tempat kerja. Akibatnya sudah dialami dan dirasakan semua orang.
Negara harus belajar dari semua pengalaman buruk itu. Ketiadaan Pancasila
sebagai mata pelajaran wajib bagi orang muda di semua jenjang pendidikan
menjadi sebuah kesalahan cukup fatal, dan kesalahan ini harus dibayar dengan
cukup mahal. Mencari dan menunjuk siapa paling bersalah tidak akan
menyelesaikan masalah. Sangat bijaksana jika hal itu diterima sebagai kesalahan
bersama yang tentu saja harus segera diperbaiki.
Karena itu, inisiatif Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mendorong revisi UU
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) guna mengembalikan
Pancasila sebagai mata pelajaran wajib patut diapresiasi dan didukung. Seperti
diketahui, Pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan kurikulum pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi memuat pendidikan kewarganegaraan. Pancasila tidak secara
khusus tercantum sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib. Maka, belajar
dari pengalaman buruk selama ini, sekarang adalah waktunya bagi negara membuat
dan memberlakukan keputusan tegas, dengan mewajibkan Pancasila sebagai mata
pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan.
Perjalanan sejarah bangsa mencatat bahwa takdir keberagaman NKRI direkatkan
atau sudah dimeteraikan oleh Pancasila. Pancasila -- yang kandungan falsafahnya
bersumber dari kearifan lokal semua suku dan golongan di seantero bumi
nusantara -- merekatkan persaudaraan semua komponen bangsa. Dan, Pancasila akan
selalu memelihara dan merawat persaudaraan itu. Itu sebabnya, setiap orang
Indonesia berhak menyapa warga dari semua daerah dan golongan dengan salam dan
sapaan "Saudaraku Sebangsa Setanah Air".
Memang, adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia merasakan masih adanya
tantangan kebangsaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tantangan itu
antara lain berupa melemahnya toleransi dalam menyikapi keberagaman,
demoralisasi generasi muda bangsa, dan memudarnya identitas dan karakter
bangsa. Fakta bahwa Indonesia per geografis sebagai negara kepulauan yang
terpisah oleh laut tidak boleh menjadi faktor yang melemahkan.
Dan, kendati secara sosio-kultural, bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku,
budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan tidak akan pernah merusak prinsip
"Saudara Sebangsa Setanah Air". Penyatuan dan persaudaraan itu
dipelihara dan dirawat oleh Pancasila sebagai benteng untuk menghadapi berbagai
potensi ancaman yang ingin menceraiberaikan ikatan kebangsaan.
Dengan begitu, Pancasila sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa sudah
final. Tak hanya merekatkan kebhinekaan, Pancasila juga menjadi sumber nilai
bagi pembangunan karakter generasi muda bangsa (nation character building). Sebab,
di dalam lima sila itu terkandung falsafah, prinsip dan semangat spiritualisme,
humanisme, nasionalime, etika serta standar moral, dan beragam sistem nilai
positif hingga nilai dan prinsip kebenaran universal. Bukankah semua kandungan
nilahi luhur ini menjadi gizi yang amat dibutuhkan anak dan remaja dalam proses
tumbuhkembang mereka? []
SINDONEWS, 27 April 2021
Bambang Soesatyo | Ketua MPR/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia/Wakil Ketua Umum Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar