Selasa, 04 Mei 2021

(Ngaji of the Day) Tiga Kesabaran dalam Ramadhan

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menyebut Ramadhan sebagai bulan kesabaran, dan puasa adalah bagian dari sabar, atau pelatihan kesabaran. Ia mengutip hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan (HR. Imam at-Turmudzi):

 

الصومُ نِصْفُ الصَّبْرِ

 

“Puasa itu separuh (dari) sabar.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsîm al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Kairo: Dar al-Hadits, 2002, h. 207)

 

Sebelumnya, di kitab yang sama, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa pahala berpuasa di bulan Ramadhan berlipat ganda, dan kelipatannya tidak terbatas di angka tertentu (adl’âfan katsîratan bi ghairi hashr ‘adad). Hal ini terkait dengan predikat Ramadhan sebagai bulan kesabaran. Dalam Al-Qur’an, pahala orang-orang yang bersabar tidak dibatasi di bilangan tertentu. Allah berfirman (QS. Az-Zumar: 10):

 

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

 

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsîm al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2002, h. 207)

 

Riwayat lain yang mengatakan Ramadhan sebagai bulan kesabaran adalah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Rasulullah bersabda:

 

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ

 

“Berpuasa (di) bulan kesabaran (Ramadhan) dan (berpuasa) tiga hari dari tiap-tiap bulan adalah (seperti) puasa satu tahun” (Imam Abdurra’uf al-Munawi, Faidl al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972, juz 4, h. 211).

 

Itu artinya, Ramadhan adalah momen yang tepat untuk menyadarkan kembali kesabaran kita, agar kita bisa mendapatkan pahala berlipat sekaligus menjadi pribadi yang lebih baik setelah bulan Ramadhan berlalu. Untuk itu, kita perlu memahami ‘apa itu sabar’ terlebih dahulu.

 

Menurut Imam Majduddin Muhammad al-Fairuzzabadi, sabar secara bahasa berarti “al-habsu” (menahan/mencegah), atau “al-kaffu fî dlayyiqi” (bertahan dalam keadaan sempit/susah). Sedangkan secara istilah, dia mengatakan:

 

فالصبر حبس النفس عن الجزع والسخط، وحبس اللسان عن الشكوي، وحبس الجوارح عن التشويش

 

“Sabar adalah menahan diri dari ketidasabaran (cemas) dan ketidakpuasaan, menahan lisan dari mengeluh (komplain), dan menahan (seluruh) anggota tubuh dari mengacau.” (Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 371).

 

Sabar adalah perilaku aktif. Membutuhkan inisiatif dari pelakunya. Sebagaimana yang diuraikan Imam Majduddin al-Fairuzzabadi, bahwa sabar adalah aktivitas menahan diri, lisan, dan seluruh anggota tubuh dari ketidakpuasaan, komplain, dan berbuat kekacauan. “Menahan” (al-habsu) adalah perilaku aktif, yaitu upaya menahan diri dari gejolak alami yang ada di jiwa manusia, seperti kecemasan, ketidakpuasaan, keluhan dan lain sebagainya. Bahkan, di titik tertentu, ketidakpuasaan dan semacamnya bisa mengarah pada kekacauan bil fi’li (kekacauan yang dilakukan tubuh). Karena itu, Ramadhan menjadi momen yang tepat untuk menjalankan proses pendidikan “al-habsu” (menahan), sehingga “sabar” yang sebenarnya telah terinstal di diri kita semakin kuat dan berkembang.

 

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali membagi sabar dalam tiga macam. Dia menulis:

 

أنواع الصبر ثلاثة أنواع: صبر علي طاعة الله, وصبر علي محارم الله, وصبر علي أقدار الله المؤلمة

 

“Ada tiga macam sabar: (1) Sabar atas ketaatan kepada Allah, (2) Sabar atas (menjauhi) hal-hal yang diharamkan Allah, dan (3) Sabar atas ketetapan Allah yang pahit (atau susah).” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsîm al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2002, h. 208)

 

Baginya, dalam puasa terkumpul pendidikan dari tiga kesabaran sekaligus (tajtami’uts tsalâtsah fîsh shaum). Dia menjelaskannya dengan mengatakan:

 

فأنّ فيه صبرا علي طاعة الله, وصبرا عما حرم الله علي الصائم من الشهوات, وصبرا علي ما يحصل للصائم فيه من ألم الجوع والعطش وضعف النفس والبدن, وهذا الألم الناشئ من أعمال الطاعات يثاب عليه صاحبه

 

“Karena sesungguhnya di dalam puasa (dapat memunculkan) kesabaran atas ketaatan kepada Allah, kesabaran atas apa yang diharamkan Allah kepada orang yang berpuasa yaitu nafsu syahwat, dan kesabaran atas sesuatu yang dihasilkan orang puasa (dari puasanya) yaitu kesusahan lapar, haus, lemahnya diri dan badan. Kesusahan (semacam) ini, yang lahir dari perilaku taat (kepada Allah), pengamalnya akan mendapatkan pahala.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsîm al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2002, h. 208)

 

Menyengaja untuk lapar dan haus, karena menaati perintah Allah, menghindari larangan-Nya, dan bersiap diri untuk merasakan kesusahannya, merupakan tindakan yang dapat mempertajam kesabaran manusia. Dengan kata lain, kita menyengaja untuk menguji diri kita sendiri, dengan menahan lapar, haus dan syahwat di sekian waktu. Hal-hal yang biasanya mudah kita dapatkan, kita sengaja menghindarinya, meski hal-hal tersebut ada di sekitar kita. Apalagi, penyengajaan ini berpengaruh langsung kepada ketahanan fisik kita seperti lapar dan haus. Oleh karena itu, penyengajaan ini harus disadari sebagai proses pendidikan kesabaran. Menguatkan kesabaran kita dengan menyengaja untuk lapar dan haus.

 

Dan Ramadhan, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, adalah bulan kesabaran, madrasah untuk menguatkan kesabaran kita, sehingga, setiap kali Ramadhan selesai, kita menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Pertanyaannya, sudahkah kita di jalan itu? Wallahu a’lam bish-shawwab. []

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar