Agama
dalam Kartu Identitas
Oleh: Nasaruddin
Umar
KEDUDUKAN
agama dalam kartu identitas masih sering menjadi topik perdebatan di negeri
kita. Ada kalangan merasa dirugikan dengan keharusan pencantuman kolom agama di
dalam kartu-kartu identitas seperti KTP, SIM, dan berbagai isian formulir lainnya.
Kelompok
yang merasa dirugikan itu ialah mereka yang merasa tidak memiliki agama atau
aliran kepercayaan, atau menganut agama, tetapi tidak termasuk di antara lima
kelompok agama yang diakui di Indonesia. Mereka merasa seperti dipaksa harus
mencantumkan agama yang bukan agama atau kepercayaannya. Padahal, bagi mereka
pilihan agama atau kepercayaan ialah bagian yang paling asasi bagi setiap
orang.
Ada juga
yang sesungguhnya memiliki agama atau kepercayaan, tetapi tidak merasa nyaman
jika mengekslusifkan agamanya di dalam kartu identitas. Mereka lebih nyaman
jika orang lain tidak mengetahui agama atau kepercayaan yang dianutnya karena
mungkin itu berkaitan dengan dunia bisnis, jabatan, atau sebab lain.
Di
negara-negara Barat-sekuler, ada dua hal yang sangat tabu untuk ditanyakan,
yaitu urusan keluarga dan agama. Tidak sedikit di antara mereka tersinggung
atau tidak nyaman jika ditanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti agama
dan keluarganya. Mereka tidak segan-segan menjawab, ”It is not your bussiness
(itu bukan urusan Anda).”
Berbeda
dengan kebiasaan kita di Indonesia, seringkali yang menjadi pembuka kata dalam
berkomunikasi ialah menanyakan prihal keluarga, khususnya anak. Hingga kalangan
politisi dan LSM di Indonesia masih saja ada yang terus mempersoalkan kolom
agama di dalam kartu identitas pribadi, khususnya pada KTP.
Sementara,
kelompok lain tetap mendukung keberadaan kolom agama di KTP, bahkan ada yang
mewajibkannya dengan alasan Indonesia bukan negara sekuler atau negara yang
tidak memandang penting arti agama. Mereka berpendapat bahwa wacana
penghilangan agama dalam kolom KTP tidak sesuai dengan konstitusi dan
kepribadian bangsa Indonesia, yang secara tegas dirumuskan di dalam sila
pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan alinea demi alinea Pembukaan
UUD 1945 ditambah dengan turunan perundang-undangan lainnya.
Yang
paling kuat mempertahankan kolom agama di KTP ialah para aktivis muslim karena
memang sangat beralasan. Indonesia dihuni oleh penduduk yang secara mayoritas
mutlak beragama Islam, sementara agama Islam identitas agama sangat penting.
Di antara
urgensi identitas agama di dalam Islam ialah terkait dengan tidak sah atau
fasakh-nya perkawinan. Syarat sah perkawinan sebagaimana ditegaskan calon
pengantin harus seagama karena keabsahan perkawinan harus dilakukan dengan
mengikuti ketentuan agama (Islam).
Syarat
perkawinan dalam Islam harus ada calon pengantin yang seagama, ada wali, baik
wali nasab maupun wali hakim, yang beragama Islam, ada dua orang saksi
akil-balig dan beragama Islam. Seorang perempuan muslim tidak dibenarkan kawin
dengan pria nonmuslim. Bahkan dalam UU No 1/1974 seorang laki-laki muslim pun
tidak boleh kawin dengan perempuan nonmuslim.
Kesulitan
akan muncul manakalah tidak ada bukti formal agama seseorang. Dalam hukum dan
perundang-undangan kita, kawin campur (lintas agama) tidak dibenarkan
dicatatkan atau dilaksanakan di dalam wilayah Kantor Urusan Agama Islam.
Sekalipun sudah mengaku seorang muslim (mualaf) tetap diminta membuktikan
sertifikat pengislamannya jika ia seorang mukalaf.
Di
samping itu, identitas agama juga terkait dengan masalah kewarisan. Para ahli
waris harus seagama (Islam) dengan orang yang diwarisi. Seorang pemberi zakat
(muzaki) dan pemberi wakaf (waqif) harus muslim, demikian pula orang yang
menerima zakat (mustahiq), penyelenggara harta wakaf (nadzir), dan orang yang
diserahi tugas mendayagunakan hasil-hasil keuntungan dari wakaf (mauquf 'alaih)
harus beragama Islam.
Calon
jemaah haji dan orang-orang yang akan memasuki tanah haram mesti harus
membuktikan diri sebagai orang yang beragama Islam. Sampai kepada orang yang
sudah wafat pun harus memiliki identitas beragama Islam jika akan dimakamkan
secara Islam dan atau dimakamkan di permakaman Islam. Dalam Islam tidak
dibenarkan permakaman muslim bercampur baur dengan permakaman nonmuslim. []
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2018
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar