Selasa, 24 April 2018

Nasaruddin Umar: Blasphemy


Blasphemy
Oleh: Nasaruddin Umar

BLASPHEMY menurut bahasa berarti penghujatan, pencemaran, penjelekan, dan pemfitnahan. Dalam bahasa populer, blasphemy sering diartikan sebagai penghinaan, penistaan, atau penodaan terhadap hal-hal yang menyangkut agama dan keyakinan seseorang atau kelompok.

Penistaan atau penodaan tersebut bisa dalam bentuk kata-kata, tulisan, display gambar, karikatur, film, dan aksi karikatur. Blasphemy oleh banyak negara termasuk pelanggaran pidana yang diancam dikenai sanksi karena berpotensi menimbulkan keresahan dan kerusuhan di dalam masyarakat. Di Indonesia, kata blasphemy sudah ditenggelamkan pengertiannya oleh kosa kata 'ujaran kebencian', terutama dengan diundangkannya sejumlah peraturan dan perundang-undangan.

Begitu pentingnya persoalan ini maka dimunculkkan di dalam piagam International Covenant on Civil and Political Rights, kemudian diserukan untuk diratifikasi seluruh negara. Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasinya menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005.      

Salah satu pasal penting UU itu ialah Pasal 18 ayat (1) dan (2) sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Jauh sebelum UU Nomor 12 Tahun 2005 ini, Indonesia sudah menetapkan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menegaskan dalam pasal 1 dan 2 sebagai berikut. Pasal 1, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
   
Pasal 2, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.  

Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Sama dengan UU PNPS 1965 di atas, UUD 1945 juga menegaskan dalam Pasal 28 J pasal (2): "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan kebebasan beragama tidak berarti seseorang dapat semaunya menyatakan pendapat dan penilaian terhadap agama dan keyakinan orang lain dengan cara melawan hukum, yakni dengan sengaja melakukan penistaan dan penodaan dengan cara apa pun terhadap simbol-simbol agama dan keyakinan orang lain.

Dengan kata lain, kebebasan beragama tidak berarti kebebasan untuk mengacak-acak agama dan keyakinan orang lain. Sebagai negara dan bangsa beradab seharusnya segenap warga negara Indonesia menghindari ujaran kebencian (blasphemy).  []

MEDIA INDONESIA, 20 April 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar