Kasus
First Travel dan Abu Tours, Kejahatan Terencana?
Oleh:
Mohamad Guntur Romli
Setelah
kasus penipuan First Travel, kini Abu Tours. Puluhan ribu jamaah yang jadi
korban. Baik gagal berangkat umroh, hingga duitnya hilang tak bisa kembali.
Kerugian yang ditaksir bukan hanya miliaran tapi triliunan.
Meskipun
korbannya sudah puluhan ribu dan kerugian mencapai triliunan, saya cermati
kasus ini tak terlalu dianggap serius. Baik oleh publik atau pemerintah
sendiri. Tak terdengar bagaimana upaya pengejaran aset agar uang jamaah kembali
dan upaya antisipasi ke depan.
Benar ada
satu, dua, dan tiga orang atau lebih sedikit yang ditangkap dan diproses ke
pengadilan, tapi soal kerugian, raibnya uang, bagaimana cara uang itu kembali
dan antisipasinya ke depan tak pernah jadi perhatian.
Saya
curiga ini kasus kejahatan yang sudah direkayasa. Penipuan dan pencucian uang
dengan kedok travel umroh. Hal ini kalau dibiarkan tak hanya ratusan ribu
jamaah yang bisa jadi korban, triliunan uang yang raib, juga travel-travel
umroh yang lain yang menjalankan jasa ziarah ini dengan baik akan kena
imbasnya. Dan, ujung-ujungnya adalah kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Ingat,
triliunan duit itu uang jamaah warga Indonesia yang sebagian besar dikumpulkan
sedikit demi sedikit, bahkan seluruh kerja keras sepanjang hidup ada di sana
(penjual gorengan yang menabung untuk umroh, driver ojek, petani yang
menyisikan hasil panen bertahun-tahun, dan lain-lain).
Mengapa
saya sebut ini bisa kejahatan yang sudah direncanakan? Saya ilustrasikan
begini. Contoh kasus Abu Tours yang katanya sudah mengumpulkan uang jamaah Rp 1
triliun lebih, tapi sejak kasus ini diusut, rekening di pemiliknya kosong! (detikcom, 23/3).
Demikian pula kasus First Travel yang total mengumpulkan dana dari jamaah Rp
800 miliar lebih, tapi di rekening pemiliknya tinggal Rp 2 juta! (detikcom, 24/8/2017)
Bagi
jaringan mafia hukum di Indonesia, jumlah penipuan First Travel dan Abu Tours
menggiurkan, apalagi mereka ahli patgulipat perkara. Berhasil menipu dengan
meraup duit Rp 1 triliun, hitunglah "biaya perkara" dan "hidup
di penjara" (yang sering divonis rendah) total Rp 200 miliar. Masih ada Rp
800 miliar! Bukankah ini masuk akal kalau penipuan gaya First Travel dan Abu
Tours adalah kejahatan yang direncanakan?
Mereka
tidak pernah niat bisnis umroh, tapi sejak awal memang ingin mengumpulkan duit
dengan menipu pakai kedok travel umroh. Meski kena kasus, sampai tertangkap dan
di penjara, duit hasil penipuan masih berlimpah ruah.
Yang
dikhawatirkan, kalau kasus ini tidak disikapi dengan serius dan antisipasinya
ke depan, tidak hanya akan muncul pemain-pemain baru, tapi juga travel-travel
yang selama ini bekerja secara profesional bisa saja "tergiur". Jalan
pintas kaya mendadak, meski harus menempuh masuk penjara yang lamanya tak
seberapa. Karena kerja keras dan jujur pun sepanjang hidup dianggap tidak akan
pernah dapat untung ratusan miliar.
Penegakan
hukum secara prosedural tidak cukup menyikapi kasus penipuan seperti First
Travel dan Abou Tours ini karena kasus ini yang dicari-cari mafia hukum.
Pemerintah
harus serius melakukan antisipasi ke depan. Karena penipuan ini terjadi dalam
sebuah negara dan pemerintahan maka mempertanyakan sistem, regulasi, dan
kebijakan pemerintahan bukanlah "jauh panggang dari api".
Kementerian
Agama saat ini lebih banyak upaya cuci tangan dengan dalih bahwa penyelenggaraan
umroh bukan tanggung jawab pemerintah seperti ibadah haji. Pemerintah memang
tidak terlibat dan bertanggung jawab soal ibadah umroh seperti haji. Tapi, yang
memberikan izin travel umroh adalah Kementerian Agama.
Ini
ibarat akal-akalan burung onta seperti yang pernah diceritakan Rumi. Kalau
burung diminta terbang, akan menjawab, 'Aku onta, mana ada onta bisa
terbang." Tapi, kalau diberikan beban angkutan yang berat, dia akan ngeles lagi, "Aku
burung, tidak akan kuat membawa beban berat."
Dalam
posisi ini pemerintah dalam hal ini Kemenag adalah regulator yang berfungsi
sebagai pengatur dan pengawas, bukan hanya tukang stempel. Stempel pengesahan
di awal dan stempel pencabutan travel kalau ada yang bermasalah. Pengawasan
regulator mulai dari pengawasan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya, serta
menyiapkan peraturannya dan mekanismenya dalam sistem. Apalagi saat ini sudah
canggih sistem teknologi pengawasan yang berbasis IT, akan memudahkan dan
membuka segala aktivitas travel.
Modus
penipuan yang selama ini sering dilakukan memberikan iming-iming tarif umroh
yang tidak masuk akal. Misalnya Rp 10 juta untuk umroh 13 hari. Ini jelas tidak
masuk akal. Tapi memang sengaja dikondisikan untuk menarik perhatian, ada beberapa
yang sebelummya sudah bayar Rp 10 juta diberangkatkan umroh 13 hari. Ini untuk
"meyakinkan" calon jamaah yang lain, dengan tarif itu pasti
berangkat. Tapi setelah puluhan ribu calon jamaah tertarik dan bayar, mereka
pun gagal berangkat karena tarifnya memang tidak masuk akal.
Bagi
travel penipu ini tujuan awal memang bukan bisnis jasa umroh tapi mengumpulkan
duit untuk menipu. Mereka akan menipu sebanyak-banyaknya, kalau kena tangkap
maka mereka sudah siap dengan hitung-hitungan "biaya perkara, penjara
dll" hingga mereka bebas!
Modus
lain adalah uang jamaah dibuat keperluan lain baik atas nama investasi (yang
umumnya investasi bodong), biaya administrasi tak masuk akal (misalnya bos
First Travel menggaji dirinya dari uang jamaah Rp 1 miliar per bulan, istrinya
Rp 500 juta per bulan!), serta biaya memuaskan syahwat duniawi lainnya seperti
foya-foya, beli mobil mewah, rumah, jalan-jalan yang merupakan modus
penggelapan dan pencucian uang.
Ini modus
umum yang diketahui khususnya oleh regulator travel umroh. Lantas, apa yang
sudah dilakukan untuk antisipasi ke depan?
Antrian
naik haji yang semakin panjang dan lama membuat ibadah umroh menjadi pilihan
menarik agar umat Islam tidak terlalu lama menunggu kalau mau ke Tanah Suci.
Maka, bisnis ini pun punya masa depan yang menggiurkan dan permintaan pasar
yang terus meningkat. Apalagi Saudi sendiri, setelah jatuhnya harga minyak
dunia, akan makin fokus menata ziarah umroh sebagai kekuatan sumber ekonomi
baru.
Tapi,
masalahnya pada peran pemerintah sebagai regulator jangan sampai menyia-nyiakan
prospek yang bagus ini. Umroh selain ibadah juga bisa dilihat sebagai sumber
ekonomi baru, yang masa depan dan pasarnya sedang bagus-bagusnya. Jangan sampai
kita seperti ayam yang mati di lumbung padi. Karena kebodohan dan kelalaian
memanfaatkan padi yang penuh di lumbung, malah tikus-tikus yang memakan dan
memanfaatkannya. []
DETIK, 29
Maret 2018
Mohamad
Guntur Romli | Calon
anggota legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar