Selasa, 10 April 2018

Helmy Faishal Zaini: Jihad Melawan Narkotik


Jihad Melawan Narkotik
Oleh: A. Helmy Faishal Zaini

Dalam hemat saya, ada tiga kejahatan yang sangat serius mengancam kita: kriminalitas atau radikalisme cyber, narkotik, dan terorisme. Ketiganya saya urutkan dari yang paling cepat menyebarkan gerakannya sampai yang paling lambat. Pengelompokan ini bermanfaat untuk memetakan pola gerakan, tindakan, dan pencegahannya.

Radikalisme cyber melalui penyebaran media online sungguh sangat cepat. Beberapa kali Presiden Jokowi menegaskan bahwa media sosial memiliki dua sisi mata pisau: baik dan buruk. Watak kecepatannya itulah yang membuat kita kerap kewalahan. Belum ada negara yang tercatat sukses mengontrol media sosial. Celakanya, jaringan radikalisme tumbuh dengan subur melalui jaringan online. Sebabnya mudah, sebuah isu bisa bergulir dan menggelinding begitu saja lewat media sosial. Fenomena mutakhir menunjukkan bagaimana orang berbondong-bondong berdemonstrasi, beraksi, dan bahkan persekusi hanya gara-gara isu yang tak jelas.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin berkonsentrasi untuk menguak ancaman kedua, yakni narkotik. Ini persoalan yang sangat serius dan mendesak untuk segera dirumuskan langkah dan penanganannya agar ia tidak semakin berkembang biak meracuni generasi masa depan bangsa.

Berbagai berita mengabarkan bahwa para bandar narkotik telah melakukan regenerasi pecandu. Ini merupakan alarm merah untuk kita semua. Menurut catatan Badan Narkotika Nasional, jumlah pecandu narkotik memiliki tren naik setiap tahun. Kenaikan itu juga dibarengi dengan perubahan usia pemakai. Generasi muda sudah semakin banyak yang terjangkiti. Bahkan polanya sudah berubah. Anak sekolah dasar pun sudah "dicekoki" narkotik dengan harapan dewasa kelak mereka sudah menjadi pecandu.

Ada tiga kata kunci yang bisa dijadikan arsenal untuk menghalau penyebaran narkotik: pendidikan, keluarga, dan agama. Ketiganya harus berjalan bergandeng dan seirama. Jika salah satu elemennya patah, bisa dipastikan yang lain akan berjalan terseok-seok.

Pemenang Nobel Perdamaian, Malala Yousfazai (2015), pernah mengatakan bahwa "dengan senjata kita dapat membunuh teroris, tapi dengan pendidikan kita bisa membunuh terorisme". Lebih dari itu, pendidikan yang baik juga akan dengan ampuh membunuh dan mengamputasi peredaran dan jaringan narkotik yang sudah menggurita.

Pendidikan itu tentu saja bukan selalu soal sosialisasi bahaya narkotik, penyuluhan, dan kegiatan sejenis. Lebih dalam dari itu semua, yang perlu ditekankan adalah pendidikan yang membentuk karakter dan membangun spirit siswa. Ini pendidikan yang berbasis pada apa yang disebut sebagai penguatan mental.

Tapi pendidikan kita masih sangat kering akan nilai-nilai keteladanan. Padahal esensi utama pendidikan adalah perubahan perilaku. Transformasi perilaku adalah indikator keberhasilan pendidikan. Maka, tugas lembaga pendidikan ibarat mesin giling. Ia mengolah gandum, jagung, dan beras yang digiling menjadi bahan-bahan yang "berkarakter" dan siap untuk disajikan kepada masyarakat.

Di kutub yang berbeda, saya sepakat pada apa yang dikatakan oleh filsuf Jerman, Nietszche (1987), bahwa "pendidikan berlangsung di sekolah, rumah, dan antara sekolah dan rumah". Belajar bisa di mana saja. Rumah atau keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk merawat persemaian karakter yang sudah dibangun di sekolah. Keluarga yang baik adalah keluarga yang mengarahkan anak-anaknya untuk menemukan dirinya.

Yang perlu disoroti adalah lubang kosong untuk penyemaian karakter itu. Lubang itu adalah ruang dan waktu antara rumah dan sekolah. Pada bentangan inilah kita acap kecolongan. Pendidikan kita kerap tidak hadir dan alpa di titik ini. Akibatnya, anak bisa bergaul dengan siapa pun, kalangan mana pun. Kondisi inilah yang membuat kita kesulitan dan kewalahan untuk mengidentifikasi masalah. Sangat mungkin dari sinilah akar penyebaran narkotik itu bersemi.

Terakhir, soal agama. Agama memiliki lima prinsip utama, yakni menjaga nyawa, agama, harta, martabat, dan keturunan. Prinsip ini dalam Islam dikenal sebagai kulliyatul khoms. Narkotik itu melanggar dua prinsip: menjaga nyawa dan keturunan. Narkotik jelas berbahaya karena mengancam nyawa dan kelangsungan masa depan bangsa. Maka, memeranginya sama saja dengan jihad.

Tiga aspek itu-pendidikan, keluarga, dan agama-harus bahu-membahu bersama pemerintah melakukan pencegahan dan tindakan. Usaha-usaha yang sifatnya preventif lebih baik dibanding upaya penanggulangan. Dalam kaidah fikih hal ini disebutkan ad daf’u aqwa minar raf’u. Menolak atau mencegah lebih baik daripada menghilangkan atau mengobati. Prinsip inilah yang harus tetap kita pegang.

Generasi muda adalah kekuatan dan tiang yang bisa dijadikan jaminan tegaknya suatu bangsa dan negara. Jika generasi muda sebuah bangsa baik, masa depan bangsa tersebut juga baik. Begitu pula sebaliknya. Michel Lahti (2013) pernah menulis dalam bukunya, Athfalul Yaum, Rijalul Ghad, bahwa anak-anak masa kini adalah pemimpin masa depan. Kita harus menyiapkan mereka sebaik-baiknya. []

TEMPO, 6 April 2018
A. Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar