Jihad Melawan Narkotik
Oleh: A. Helmy Faishal Zaini
Dalam hemat saya, ada tiga kejahatan yang sangat serius mengancam
kita: kriminalitas atau radikalisme cyber, narkotik, dan terorisme. Ketiganya
saya urutkan dari yang paling cepat menyebarkan gerakannya sampai yang paling
lambat. Pengelompokan ini bermanfaat untuk memetakan pola gerakan, tindakan,
dan pencegahannya.
Radikalisme cyber melalui penyebaran media online sungguh sangat
cepat. Beberapa kali Presiden Jokowi menegaskan bahwa media sosial memiliki dua
sisi mata pisau: baik dan buruk. Watak kecepatannya itulah yang membuat kita
kerap kewalahan. Belum ada negara yang tercatat sukses mengontrol media sosial.
Celakanya, jaringan radikalisme tumbuh dengan subur melalui jaringan online.
Sebabnya mudah, sebuah isu bisa bergulir dan menggelinding begitu saja lewat
media sosial. Fenomena mutakhir menunjukkan bagaimana orang berbondong-bondong
berdemonstrasi, beraksi, dan bahkan persekusi hanya gara-gara isu yang tak
jelas.
Dalam tulisan singkat ini, saya ingin berkonsentrasi untuk menguak
ancaman kedua, yakni narkotik. Ini persoalan yang sangat serius dan mendesak
untuk segera dirumuskan langkah dan penanganannya agar ia tidak semakin
berkembang biak meracuni generasi masa depan bangsa.
Berbagai berita mengabarkan bahwa para bandar narkotik telah
melakukan regenerasi pecandu. Ini merupakan alarm merah untuk kita semua.
Menurut catatan Badan Narkotika Nasional, jumlah pecandu narkotik memiliki tren
naik setiap tahun. Kenaikan itu juga dibarengi dengan perubahan usia pemakai.
Generasi muda sudah semakin banyak yang terjangkiti. Bahkan polanya sudah
berubah. Anak sekolah dasar pun sudah "dicekoki" narkotik dengan harapan
dewasa kelak mereka sudah menjadi pecandu.
Ada tiga kata kunci yang bisa dijadikan arsenal untuk menghalau
penyebaran narkotik: pendidikan, keluarga, dan agama. Ketiganya harus berjalan
bergandeng dan seirama. Jika salah satu elemennya patah, bisa dipastikan yang
lain akan berjalan terseok-seok.
Pemenang Nobel Perdamaian, Malala Yousfazai (2015), pernah
mengatakan bahwa "dengan senjata kita dapat membunuh teroris, tapi dengan
pendidikan kita bisa membunuh terorisme". Lebih dari itu, pendidikan yang
baik juga akan dengan ampuh membunuh dan mengamputasi peredaran dan jaringan
narkotik yang sudah menggurita.
Pendidikan itu tentu saja bukan selalu soal sosialisasi bahaya
narkotik, penyuluhan, dan kegiatan sejenis. Lebih dalam dari itu semua, yang
perlu ditekankan adalah pendidikan yang membentuk karakter dan membangun spirit
siswa. Ini pendidikan yang berbasis pada apa yang disebut sebagai penguatan
mental.
Tapi pendidikan kita masih sangat kering akan nilai-nilai
keteladanan. Padahal esensi utama pendidikan adalah perubahan perilaku.
Transformasi perilaku adalah indikator keberhasilan pendidikan. Maka, tugas
lembaga pendidikan ibarat mesin giling. Ia mengolah gandum, jagung, dan beras
yang digiling menjadi bahan-bahan yang "berkarakter" dan siap untuk
disajikan kepada masyarakat.
Di kutub yang berbeda, saya sepakat pada apa yang dikatakan oleh
filsuf Jerman, Nietszche (1987), bahwa "pendidikan berlangsung di sekolah,
rumah, dan antara sekolah dan rumah". Belajar bisa di mana saja. Rumah
atau keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk merawat persemaian
karakter yang sudah dibangun di sekolah. Keluarga yang baik adalah keluarga
yang mengarahkan anak-anaknya untuk menemukan dirinya.
Yang perlu disoroti adalah lubang kosong untuk penyemaian karakter
itu. Lubang itu adalah ruang dan waktu antara rumah dan sekolah. Pada bentangan
inilah kita acap kecolongan. Pendidikan kita kerap tidak hadir dan alpa di
titik ini. Akibatnya, anak bisa bergaul dengan siapa pun, kalangan mana pun.
Kondisi inilah yang membuat kita kesulitan dan kewalahan untuk mengidentifikasi
masalah. Sangat mungkin dari sinilah akar penyebaran narkotik itu bersemi.
Terakhir, soal agama. Agama memiliki lima prinsip utama, yakni
menjaga nyawa, agama, harta, martabat, dan keturunan. Prinsip ini dalam Islam
dikenal sebagai kulliyatul khoms. Narkotik itu melanggar dua prinsip: menjaga
nyawa dan keturunan. Narkotik jelas berbahaya karena mengancam nyawa dan
kelangsungan masa depan bangsa. Maka, memeranginya sama saja dengan jihad.
Tiga aspek itu-pendidikan, keluarga, dan agama-harus bahu-membahu
bersama pemerintah melakukan pencegahan dan tindakan. Usaha-usaha yang sifatnya
preventif lebih baik dibanding upaya penanggulangan. Dalam kaidah fikih hal ini
disebutkan ad daf’u aqwa minar raf’u. Menolak atau mencegah lebih baik daripada
menghilangkan atau mengobati. Prinsip inilah yang harus tetap kita pegang.
Generasi muda adalah kekuatan dan tiang yang bisa dijadikan
jaminan tegaknya suatu bangsa dan negara. Jika generasi muda sebuah bangsa
baik, masa depan bangsa tersebut juga baik. Begitu pula sebaliknya. Michel
Lahti (2013) pernah menulis dalam bukunya, Athfalul Yaum, Rijalul Ghad, bahwa
anak-anak masa kini adalah pemimpin masa depan. Kita harus menyiapkan mereka
sebaik-baiknya. []
TEMPO, 6 April 2018
A. Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar