KH Asmoeni Iskandar,
Tokoh IPNU Angkatan 54
Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) didirikan pada tanggal 24 Februari 1954. Mereka, yang
menjadi generasi awal dalam proses berdirinya IPNU disebut juga sebagai tokoh
angkatan ’54, mengacu pada tahun berdirinya organisasi pelajar NU itu.
Salah satu dari tokoh
Angkatan ’54 tersebut, berasal dari Kediri, KH Asmoeni Iskandar. Nama Asmoeni
Iskandar, pada awalnya kami temukan pada keterangan sebuah foto yang terdapat
pada buku biografi Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
(Caswiyono, dkk., 2009). Pada keterangan foto tersebut, Asmoeni Iskandar
berdiri nomor dua dari sebelah kiri, diapit dua perwakilan dari Jombang dan
Yogyakarta, M.S Cholil dan Moh Djamhari.
Berdasarkan
keterangan pada foto tersebut, mulailah penulis melakukan penelusuran melalui
wasilah media sosial ke beberapa aktivis IPNU Kediri. Kemudian, singkat cerita,
penulis akhirnya mendapatkan sebuah kontak nomor ponsel milik salah satu kader
PAC IPNU Gurah Kabupaten Kediri, Muhammad Irhason.
Dari penuturan
Irhason, kemudian diketahui bahwa selama ini, sosok KH Asmoeni Iskandar sebagai
salah satu pendiri IPNU di Kediri, dikenal kepada kader sebagai salah satu
peserta Konferensi Lima Daerah di Surakarta pada tahun 1954.
“KH Asmoeni bin
Iskandar bin Munsyarif, kita tahu beliau dari materi Lakmud. Kebetulan makam
beliau di daerah saya, tepatnya di Pucang Anom. Setiap tanggal 9, kami dari PAC
IPNU dan IPPNU Gurah mengadakan kegiatan ziarah ke makam beliau,” ungkap
Irhason.
Dari Irhason pula,
kami kemudian mendapatkan kontak Ibnu, salah satu putra KH Asmoeni Iskandar.
Ibnu merupakan putra keempat sekaligus terakhir dari KH Asmoeni.
Pendiri PERPENO
Asmoeni Iskandar yang
kelak mendirikan PERPENO (Persatoean Peladjar Nahdlatoel Oelama) di Kediri pada
tanggal 5 Agustus 1933 di Dusun Pucanganom, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Asmoeni merupakan putra dari pasangan H. Iskandar
Munsyarif dan Hj. Aminatun.
Masa remajanya, diisi
dengan menempuh pendidikan formal Sekolah Rakyat, kemudian dilanjutkan
Pendidikan Guru Agama (PGA) serta menjadi santri Pondok Pesantren Hidayatul
Mubtadiin Lirboyo Kediri.
“Saat mendirikan
PERPENO tanggal 13 Juni 1953 beliau masih aktif sebagai santri di Pondok
Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Liboyo Kediri,” terang Ibnu.
Tak sampai setahun,
PERPENO yang dirintisnya kemudian ikut melebur ke dalam IPNU, seiring dengan
diresmikannya pendirian IPNU. Asmoeni pun kemudian ikut menjadi bagian dari
pertemuan Konferensi Panca Daerah (Konferensi Segi Lima) pada 30 April-1 Mei
1954.
Pertemuan yang
diikuti perwakilan dari lima daerah, yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, Jombang,
dan Kediri ini sebagai tindak lanjut setelah disahkannya pendirian IPNU tanggal
24 Februari 1954 pada Konferensi Nahdlatul Ulama Ma’arif di Semarang.
Selain Asmoeni
Iskandar, beberapa tokoh perwakilan yang hadir dan kemudian dikenal sebagai
Tokoh Angkatan ’54 yaitu Moh. Tolchah Mansoer, M. Djamhari AS, Ach. Alfatih AR
(Yogyakarta), M. Shufyan Cholil, Sochib Bisri (Jombang), Mustahal Ahmad (Solo)
dan Abdul Ghony Farida (Semarang), Abd Chaq, dan nama-nama lainnya.
Kepala Desa pejuang
NU
Usai berjuang di
IPNU, KH Asmoeni Iskandar tetap meneruskan perjuangannya di dunia pendidikan
dan dakwah. Pada tahun 1961, ia mendirikan Madrasah Diniyah Salafiyah
Syafi’yah, yang sekarang dikenal menjadi Madrasah Ibtida’iyah “Diponegoro”
Pucanganom Sukorejo Gurah.
Kemudian, pada tahun
1967 ia bersama para Kyai dan tokoh NU lainnya se-Kecamatan Gurah mendirikan
Yayasan Pendidikan “Sunan Gunung Jati” Gurah Kediri. Lembaga ini terus
berkembang pesat, yang pada awalnya hanya lembaga Pendidikan Guru Agama,
sekarang menjadi 3 lembaga pendidikan Madrasah Dinyah, Madrasah Tsnawiyah, dan
Madrasah Aliyah.
Di tahun yang sama,
KH Asmoeni Iskandar diberikan kepercayaan dan tugas oleh KH Machrus Aly Lirboyo
Kediri untuk berjuang dan mengabdi di masyarakat menjadi Kepala Desa Sukorejo
Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri. Ia pun dipercaya masyarakat untuk memimpin
bahkan hingga 20 tahun lebihm (1967-1990).
Yang menarik, jabatan
kepala desa yang ia emban, tak menyurutkan langkahnya dalam berjuang bersama
NU. Tercatat ia pernah aktif di NU, mulai dari tingkatan ranting hingga cabang.
“Kami sebagai putra
beliau sangat bangga atas perjuangannya dalam masyarakat danterutama perjuangan
beliau dalam kepengurusan NU. Apalagi pada masa Orde Baru, di mana seorang
kepala desa dalam tanda kutip tidak boleh aktif dalam organisasi NU, akan
tetapi beliau tetap gigih dalam mengabdi di organisasi NahdlatulUlama,” tutur
Ibnu.
KH Asmoeni Iskandar
wafat di usia 72, pada Kamis, 9 Desember 2004, pukul 15.00 WIB. Jenazah salah
satu tokoh perintis IPNU tersebut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Dusun
Mantren Desa Tengger Kidul Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
KH Asmoeni Iskandar
dan para pendiri IPNU telah memberikan sebuah kontribusi penting, dengan
mendirikan sebuah organisasi pelajar NU, yang keberadaan dan manfaatnya masih
bisa kita saksikan dan rasakan hingga saat ini. Lahumu al-fatihah! *****
Sumber:
1. Wawancara Ibnu
(putra KH Asmuni Iskandar), Selasa (20/2/2018)
2. Wawancara M
Irhason (Aktivis IPNU PAC Gurah Kediri), Senin (12/2/2018)
3. Caswiyono, dkk,
"KH Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan",
Pustaka Pesantren (2009).
[]
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar