Mengambil Pendidikan Luhur
dari Isra’ Mi’raj
Coba kita membayangkan diri kita dalam sebuah
kondisi yang sangat menyulitkan dan mengancam keselamatan. Setiap hari kita
dimusuhi oleh para tetangga, disakiti orang-orang sekitar dengan berbagai
tindakan dan ucapan, dicemooh, dikucilkan dan lain sebagainya tanpa ada satu
kesalahan pun yang kita perbuat kepada mereka. Semua hanya karena salah paham
dan ketidaktahuan mereka tentang kita. Adakah Anda merasa betah hidup di
lingkungan yang demikian?
Pada kondisi seperti itu tiba-tiba ada
seorang yang dipandang mulia, berkedudukan tinggi, berpengaruh luas di
masyarakat, mengundang Anda untuk hadir ke rumahnya. Di sana Anda dijamu bak
raja dan diperlakukan dengan sangat manusiawi. Segala kebaikan yang sedikitpun
tak pernah Anda rasakan di kampung Anda kini Anda raih dari orang yang luar
biasa baik ini. Apa pun yang Anda butuhkan pasti akan dipenuhinya dengan segala
hormat. Dan bila Anda diberi kesempatan untuk memilih, akankah Anda memilih
tetap tinggal bersamanya atau pulang kembali ke rumah Anda dengan risiko akan
kembali menghadapi berbagai kesusahan dan ancaman keselamatan?
Gambaran yang demikian itu yang dihadapi oleh
Baginda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum dan ketika ia
berisra’ mi’raj. Para ahli sejarah menuturkan bahwa ia di-isra’ mi’raj-kan oleh
Allah di sebuah masa yang oleh mereka disebut ‘âmul huzni, tahun kesedihan.
Dinamakan demikian karena pada saat itu Rasulullah mengalami beberapa peristiwa
yang menjadikan ia sangat terpukul dan mengalami kesedihan yang teramat sangat.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadikan
alasan tahun itu disebut sebagai tahun kesedihan. Pertama, pada tahun itu paman
beliau, Abu Thalib, meninggal dunia. Bagi Rasulullah sang paman adalah perisai
dakwahnya. Ia yang selama ini membentengi sang rasul dari tindakan-tindakan
keji yang akan dilakukan oleh kaum kafir quraisy atas dakwah yang dilakukannya.
Karena kedudukan dan kehormatan sang paman di kalangan penduduk Makkah mereka
segan untuk menyakiti nabi. Maka ketika Abu Thalib meninggal dunia kaum kafir Quraisy
bergembira. Tak ada lagi orang yang menghalangi usaha-usaha mereka untuk
menghentikan dakwah Nabi Muhammad. Tidak adanya Abu Thalib berarti tidak adanya
lagi orang tua yang membela dan melindungi Rasul dalam menyampaikan risalah
Tuhan.
Kedua, pada tahun yang sama istri Rasulullah,
Sayidatina Khadijah, meninggal dunia. Kepergian istri tercinta ini dirasa
sangat berat oleh ia. Baginya Khadijah bukan saja seorang istri tercinta. Ia
adalah pendamping dakwah sang suami yang selalu membuat tenteram hati ketika
berbagai rintangan ditemui. Dukungannya terhadap dakwah rasul tak hanya
ditunjukkan dengan sikap sebagai istri, tapi juga dengan segala kemampuan harta
benda yang dimiliki sebagai seorang yang kaya raya di masanya. Kehilangannya
adalah kemarau yang merenggut setiap sumber air kehidupan.
Ketiga, sebelum isra’ mi’raj kaum kafir
quraisy mengisolasi seluruh keluarga Rasul yang terkumpul dalam Bani Hasyim.
Mereka melarang setiap orang berhubungan dengan Bani Hasyim dalam segala hal.
Tak ada komunikasi, transaksi jual beli, dan berbagai bentuk hubungan lainnya
dengan Bani Hasyim. Ini menjadikan Rasulullah beserta segenap keluarga besarnya
mengalami kesulitan hidup yang luar biasa.
Dalam masa kesedihan dan kesusahan seperti
itulah Allah meng-isra-mi’raj-kan Rasulullah, memperjalankannya dari Masjidil
Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu menuju sidratul
muntaha untuk bertemu langsung dengan-Nya. Ketika Rasul sampai di sidratul
muntaha ia disambut penuh hangat oleh Allah dan terjadi dialog yang akrab di
antara keduanya.
Tentu apa yang dialami oleh Rasul ini sangat
berkesan dan menjadi pelipur lara baginya. Bila sebelumnya di bumi ia menerima
cacian, hinaan, dan perilaku tidak baik lainnya, maka kini di langit ia
menerima kemuliaan dan segala perilaku hormat yang luar biasa dari Dzat yang
maha luar biasa.
Namun semua kemuliaan yang diterima ini tak
membuat Rasulullah lupa diri. Enak dan tenteramnya berada di sisi Allah tak
membuatnya enggan untuk kembali lagi ke bumi. Sebagai seorang kekasih,
barangkali, andai saja ia meminta kepada Allah untuk terus berada di langit
dengan segala kenikmatannya tentulah permintaan itu akan dipenuhi. Namun hal
itu tidak dilakukannya. Ia lebih memilih untuk kembali turun ke bumi dengan
segala risiko yang akan dihadapi. Baginya setiap kenikmatan yang didapatkan
saat bersama Tuhan di langit mesti dibagi dan ditebarkan sebagai rahmat di muka
bumi.
Sikap ini menjadi pendidikan luhur bagi umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Naik dan bertemunya Rasulullah
dengan Allah adalah sebuah gambaran seorang yang sedang atau telah berada pada
posisi atas, baik dalam hal ruhani atau lainnya seperti status sosial, ekonomi,
dan pangkat jabatan. Sedang turunnya beliau ke bumi adalah cerminan sikap
tidak melalaikan dan mau berbagi kebahagiaan kepada mereka yang kebetulan
berada pada posisi bawah.
Sedekat apa pun seorang Muslim dengan
tuhannya tidak semestinya ia lebih suka berasyik masyuk dalam sejumlah ritual
ibadah lalu lupa berbaik-baik dengan masyarakat di sekitarnya. Kedekatannya
dengan Allah semestinya juga menjadikannya dekat dan baik terhadap sesama
makhluk-Nya. Kebaikan yang ia hasilkan dari kedekatannya dengan tuhan
semestinya tidak ia nikmati sendiri, namun semestinya ia bagi dalam bentuk
baiknya hubungan dengan sesama makhluk baik manusia, binatang, pepohonan,
jalanan, sungai-sungai, dan lingkungan sekitar pada umumnya.
Seorang yang secara ekonomi sedang atau telah
berada di atas semestinya kemampuan ekonominya itu tidak ia nikmati sendiri.
Dengan kemampuan ekonominya ia semestinya juga memampukan orang-orang yang ada
di sekitarnya. Mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi
semestinya tidak memanfaatkan kedudukan dan jabatannya itu hanya untuk
kepentingan diri dan keluarga, namun juga untuk memberikan sebesar-besar
kemanfaatan dan kemaslahatan lingkungannya.
Tidak dipungkiri memang, bahwa untuk turun
memberikan sebanyak dan sebesar manfaat dan maslahat bagi mereka yang ada di
bawah berbagai rintangan mesti dihadapi, cobaan mesti dilewati, dan pengorbanan
mesti dilakoni. Sebagaimana Rasulullah juga menyadari bahwa beribu rintangan,
cobaan dan pengorbanan telah menantinya bila turun kembali ke bumi untuk
menebar rahmat bagi semesta ini. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar